SI BADUNG JADI PENGAWAS by: Enid Blyton Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2002 Djvu: kiageng80 Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net DAFTAR ISI 1. Arabella 2. Kembali ke Whyteleafe 3. Empat Orang Anak Baru 4. Rapat Besar 5. Arabella Terlibat Kesulitan 6. Arabella Melapor 7. Rapat Besar Memutuskan 8. Elizabeth Memasang Jebakan 9. Kejutan untuk Elizabeth 10. Pertengkaran 11. Muslihat Julian 12. Elizabeth Mendapat Malu 13. Rahasia Arabella 14. Obat Bersin 15. Rapat yang Mengguncangkan 16. Elizabeth Menghadap Rita dan William 17. Berhati Emas 18. Julian Berlaku Sangat Lucu 19. Julian Mendapat Guncangan Batin 20. Julian Berikrar 21. Pengakuan Martin 22. Martin Semakin Mengherankan 23. Pertandingan Sekolah dan Hal-hal Lain 24. Martin Memperoleh Kesempatan 25. Pengalaman Elizabeth 26. Akhir yang Membahagiakan 1. Arabella Pertengahan liburan Natal, Elizabeth sudah hampir bosan. Ia telah menonton pantomim, sirkus, tiga kali menghadiri pesta.... Ia sudah ingin kembali ke sekolahnya, Sekolah Whyte-leafe. Setelah terbiasa tinggal di asrama, maka kehidupan di rumah sebagai anak tunggal memang membuatnya sangat kesepian. Ia rindu pada suara tawa dan senda gurau riuh rendah yang terjadi pada setiap pertandingan apa pun. "Ibu, aku memang senang tinggal di rumah," katanya pada ibunya, Nyonya Allen. "Tetapi aku sudah sangat rindu pada Kathleen, Belinda, Nora, Harry, John, dan Richard. Masih untung Joan agak sering kemari. Tetapi kini kemenakannya datang mengunjunginya, jadi takkan mungkin ia datang lagi." Dan Ibu memberinya suatu berita yang tak terduga. "Aku tahu kau kesepian," kata Ibu, "karenanya telah kuatur agar seseorang akan datang kemari, menemanimu selama dua minggu terakhir dari masa liburan ini." "Oh, Ibu! Siapa?" seru Elizabeth heran. "Seseorang yang kukenal?" "Bukan," jawab Ibu. "Seorang anak yang akan bersekolah pula di Sekolah Whyteleafe semester depan ini. Namanya Arabella Buckley Aku yakin kau akan menyukainya." "Ceriterakanlah tentang dia," kata Elizabeth, masih keheran-heranan. "Mengapa Ibu tidak bercerita sebelum ini?" "Keputusan tentang itu saja baru dibuat, tergesa-gesa!" kata Ibu. "Kau tahu Nyonya Peters, bukan? Nah. Saudara perempuannya akan pergi ke Amerika, tetapi anaknya akan ditinggal di sini. Ia ingin agar anak itu di asramakan saja selama setahun atau mungkin lebih lama." "Dan ia memilih Sekolah Whyteleafe!" seru Elizabeth. "Tepat sekali. Itulah sekolah terbaik di dunia ini, menurut pendapatku." "Aku pun berkata begitu pada Nyonya Peters," kata Ibu, "dan ia bercerita pada saudaranya-Nyonya Buckley. Nyonya Buckley langsung menemui kedua guru kepala di sekolahmu, Bu Belle dan Bu Best...." "The Beauty and the Beast," kata Elizabeth sambil menyeringai. "Dan jadilah, Arabella akan bersekolah di Whyteleafe semester ini," kata Ibu. "Karena Nyonya Buckley harus segera berangkat ke Amerika, aku mengusulkan agar untuk sementara Arabella tinggal di sini saja-selain agar bisa menemani kau, juga agar kau bisa berceritera padanya tentang Sekolah Whyteleafe." "Ibu, kuharap saja ia seorang anak yang menyenangkan," kata Elizabeth. Menghabiskan liburan dengan seseorang hanyalah menggembirakan kalau kita senang pada orang itu." "Oh, aku telah melihat Arabella," kata Ibu. "Cantik sekali, ringkah lakunya juga sangat halus, sopan santun. Pakaiannya selalu rapi dan bagus-bagus." "Oh," kata Elizabeth, yang sering sekali tak rapi berpakaian dan terlalu tak sabaran untuk bisa berlaku sopan. "Ibu, kukira aku takkan bisa menyukainya. Biasanya anak yang terlalu bagus berpakaian tak bisa melakukan suatu permainan atau kegiatan lainnya." "Tunggu saja nanti," kata Ibu. "Bagaimanapun, dia akan datang besok. Sambutlah ia baik-baik dan ceriterakanlah tentang Whyteleafe padanya. Ia pasti senang mendengarkannya." Mau tak mau Elizabeth mengharap-harap juga kedatangan Arabella, walaupun anak itu kedengarannya sok aksi. Elizabeth menaruh bunga di kamar yang akan ditempati Arabella, dan di samping tempat tidurnya diletakkannya beberapa buah buku kesayangannya. "Alangkah senangnya menceritakan tentang Sekolah Whyteleafe kepada seseorang," pikir Elizabeth. "Aku begitu bangga akan Whyteleafe. Sungguh asyik sekolah di sana. Dan oh- semester depan ini aku akan jadi Pengawas!" Si Penaik Darah yang tak sabaran itu memang telah terpilih untuk jadi Pengawas dalam semester yang akan datang. Ini di luar dugaannya, dan membuatnya sangat bahagia. Sering ia memikirkan hal itu. Diam-diam ia merencanakan akan menjadi Pengawas yang baik, bijaksana, dan terpercaya dalam semester yang akan datang itu. "Aku takkan bertengkar dengan siapa pun, tak akan berandalan, tak boleh mengamuk!" Elizabeth berjanji dalam hati. Ia tahu benar sifat-sifatnya sendiri. Dan memang setiap anak di Sekolah Whyteleafe belajar untuk mengenali diri mereka sendiri lebih baik, agar bisa memperbaiki bila mereka memiliki sifat-sifat yang tidak baik-tanpa mengetahui sifat-sifat seseorang, bagaimana kita bisa tahu ada hal yang harus diperbaiki? Keesokan harinya Elizabeth menunggu kedatangan Arabella dari balik jendela. Menjelang sore hari, sebuah mobil yang tampak mewah memasuki pekarangan dan berhenti di depan pintu. Sopirnya keluar, membukakan pintu belakang. Dan keluarlah seorang gadis kecil yang lebih mirip seorang putri daripada seorang murid. "Astaga!" seru Elizabeth pada dirinya sendiri, memperhatikan seragam biru yang dipakainya. "Astaga! Aku takkan pernah bisa menandingi Arabella!" Arabella memakai mantel biru yang indah, dengan leher berlapis bulu putih lembut. Ia memakai sarung tangan bulu, dan topi bulu berwarna putih pula menutupi kepalanya yang berambut pirang ikal. Matanya sangat biru, bulu matanya lentik melengkung ke atas. Gayanya agak angkuh saat ia melangkah keluar dari mobil. Ia melihat rumah Elizabeth seolah-olah rumah tersebut tak berkenan di hatinya. Sopir membunyikan bel, dan meletakkan sebuah ko-por besar dan sebuah tas di depan pintu. Tadinya Elizabeth merencanakan untuk berlari turun dan menyambut hangat Arabella. Tadinya ia merencanakan untuk memanggil Arabella "Bella", sebab ia berpikir Arabella sebuah nama yang agak tolol, mirip nama boneka. Tetapi kini ia mengubah pikirannya. Rasanya tak patut Arabella dipanggil "Bella". "Arabella lebih pantas," pikir Elizabeth. "Ia memang agak mirip boneka dengan rambut keemasan, mata biru, mantel indah, dan topinya. Kukira aku takkan menyukainya. Terus terang saja-aku sedikit takut padanya!" Aneh. Biasanya Elizabeth tak pernah takut pada apa pun atau siapa pun. Tetapi memang ia belum pernah bertemu seseorang seperti Arabella Buckley. "Walaupun ia tak lebih tua dariku, ia tampak seperti orang dewasa, berjalan seperti orang dewasa, dan aku tahu pasti ia juga berbicara seperti orang dewasa. Oh, tidak! Aku tak mau menjemputnya!" pikir Elizabeth. Elizabeth tidak turun menjemput Arabella. Seorang pelayan membukakan pintu. Kemudian Nyonya Allen bergegas keluar untuk menyambut tamu itu. Nyonya Allen mencium Arabella, dan bertanya apakah perjalanannya melelahkan. "Oh, tidak, terima kasih," jawab Arabella dengan suara jelas dan ucapan sempurna. "Mobil kami sangat nyaman dan aku membawa cukup penganan untuk makan di perjalanan. Sungguh baik hati Anda mau menerimaku di sini, Nyonya Allen. Kudengar Nyonya memiliki seorang anak sebaya dengan aku." "Ya," kata Nyonya Allen, "mestinya ia sudah turun untuk menyambutmu. Elizabeth! Elizabeth, di mana engkau? Arabella sudah tiba!" Elizabeth terpaksa turun. Ia berlari menuruni tangga seperti kebiasaannya, dua-dua, dan mengentakkan kaki keras-keras sewaktu tiba di lantai bawah. Diulurkannya tangannya pada Arabella yang seakan sangat terkejut oleh kemunculannya yang begitu tiba-tiba. "Elizabeth, cobalah biasakan dirimu turun tangga dengan baik," kata Nyonya Allen. Setiap hari paling sedikit Nyonya Allen harus mengucapkan kalimat itu dua belas kali. Elizabeth selalu melupakannya, selalu tak bisa naik atau turun atau pergi ke mana pun di dalam rumah tanpa mengeluarkan suara ribut. Nyonya Allen berharap agar Arabella yang manis, sopan, serta lembut ini bisa menularkan kesopanan serta kelembutannya pada Elizabeth. "Halo!" sapa Elizabeth. Arabella mengulurkan lemah tangannya. "Selamat sore," katanya. "Apa kabar?" "Ya ampun," pikir Elizabeth. "Rasanya seolah-olah ia itu seorang putri yang sedang mengunjungi salah seorang rakyatnya yang melarat! Jangan-jangan sehabis ini ia akan menganugerahkan semangkuk sup hangat dan syal tebal untukku!" Tetapi-mungkin juga kekakuan itu hanya karena Elizabeth merasa malu. Elizabeth berpikir lebih baik ia memberi Arabella kesempatan untuk menunjukkan pribadinya sebelum menjatuhkan keputusan. "Kan sudah sering aku menentukan bagaimana pribadi seseorang yang kukenal-dan ternyata dugaanku itu sangat meleset," pikirnya lagi. "Aku sudah berbuat begitu banyak kesalahan dalam menilai pribadi orang, di masa dua semesterku di Whyteleafe. Kini aku akan hati-hati." Maka ia hanya tersenyum pada Arabella, dan mengajaknya ke atas, ke kamarnya, untuk mencuci muka, dan bercakap-cakap. "Aku yakin kau sangat bersedih ditinggalkan ibumu ke Amerika," kata Elizabeth ramah. "Sayang sekali kau tak ikut, ya. Tetapi untung juga kau akan bersekolah di Whyteleafe. Aku yakin kau akan senang di sana." "Aku bisa menentukan sendiri apakah aku senang di sana atau tidak nanti bila aku sudah di sana," kata Arabella. "Kuharap saja anak-anak di sana cukup baik." "Tentu saja, walaupun misalnya ada yang datang ke Whyteleafe dengan tabiat buruk, biasanya tak lama bersama-sama kami berhasil mengubah tabiat buruk itu," kata Elizabeth. "Dulu, misalnya, ada satu-dua anak cowok yang nakal. Tapi kini mereka telah menjadi sahabat baikku." "Anak cowok?" seru Arabella seolah sangat takut. "Kukira Whyteleafe itu khusus untuk anak perempuan saja! Aku benci pada anak-anak cowok!" "Memang... Sekolah Whyteleafe sekolah campuran, anak laki-laki dan perempuan jadi satu," kata Elizabeth. "Cukup menyenangkan. Kau takkan membenci anak cowok bila sudah terbiasa." "Kalau ibuku tahu Whyteleafe sekolah campuran, pasti aku takkan dikirimkannya ke sana," kata Arabella dengan suaranya yang jernih bernada angkuh. "Anak-anak cowok hanyalah makhluk-makhluk bertabiat kasar, tidak sopan, kotor, tidak rapi, dan selalu heboh." "Oh, ya, tetapi anak perempuan kadang-kadang begitu juga," kata Elizabeth sabar. "Soal heboh itu, tunggu saja nanti. Lihat aku kalau sedang menonton pertandingan. Aku akan lebih heboh dari anak cowok!" "Kedengarannya sekolah itu sungguh mengerikan," kata Arabella. "Tadinya aku sudah berharap Ibu akan mengirimkan aku ke Grey Towers. Sekolah yang bagus. Dua orang temanku bersekolah di sana. Mereka mempunyai kamar tidur yang indah. Makanan yang enak. Pokoknya mereka diperlakukan sebagai putri!" "Kalau kau beranggapan kau akan diperlakukan sebagai putri di Whyteleafe, maka kau salah besar," kata Elizabeth tajam. "Kau akan diperlakukan sewajarnya, seperti apa adanya, seperti seorang anak yang bersekolah karena ingin belajar! Dan kalau kau sok aksi di sana, kau akan segera menyesal, Nona Besar." "Kau sungguh tidak sopan berkata begitu padaku, padahal aku baru saja datang," kata Arabella mengangkat muka dengan gaya yang membuat Elizabeth merasa sangat marah. "Kalau begitu tingkah laku yang diajarkan di Whyteleafe, aku yakin aku takkan tahan di sana. Mungkin takkan sampai satu semester." "Aku harap kau takkan sampai seminggu di sana," tukas Elizabeth, tetapi ia segera menyesal karena kehilangan kesabaran. "Ya ampun!" pikirnya. "Sungguh suatu permulaan buruk bagiku. Aku harus hati-hati!" 2. Kembali ke Whyteleafe Arabella dan Elizabeth ternyata memang tidak cocok menjadi teman dekat. Tak ada yang disukai Elizabeth pada diri Arabella, dan agaknya bagi Arabella, Elizabeth adalah makhluk yang wajib dibenci segala-galanya. Sialnya Nyonya Allen sangat menyukai Arabella-dan harus diakui gadis cilik itu memang tingkah lakunya sangat sopan. Bila Nyonya Allen memasuki kamar di mana ia berada, Arabella cepat-cepat berdiri menghormat, membukakan atau menutupkan pintu untuknya, mengambilkan atau membawakan barang-barangnya dengan memberi kesan sangat manis serta sopan. Semakin sopan Arabella, semakin kasar tingkah laku Elizabeth. Dan melihat itu Nyonya Allen mulai menegurnya dan ini membuatnya sangat marah. "Kalau saja kau mau meniru tingkah laku sopan santun Arabella, anakku," kata Nyonya Allen. Atau, "Kuharap tingkahmu lebih halus, seperti Arabella itu, Elizabeth, dan tidak selalu ribut saja." Atau "Kuharap kau sudi menungguku sampai selesai berbicara, tidak memotong begitu saja...," Semua ini membuat Elizabeth geram, muram, murung. Ini dilihat oleh Arabella, dan sengaja ia mempertajam perbedaan dirinya dengan Elizabeth, dengan tingkahnya yang lemah-lembut serta sangat sopan. Seminggu berlalu. Semua orang di rumah Elizabeth sangat menyukai Arabella. Bahkan Nyonya Jenks juga, juru masak yang biasanya sangat pemarah. "Nyonya Jenks menyukaimu hanya karena kau menjilat dia," kata Elizabeth cemberut saat Arabella datang dari dapur dan berkata bahwa juru masak itu sedang membuatkan dia kue kesukaannya. "Aku tidak menjilat," kata Arabella dengan lagu suara lemah lembut seperti biasanya. "Dan Elizabeth, kurasa sangat tidak sopan berbicara seperti itu. Menjilat! Benar-benar suatu perkataan yang sangat menjijikkan!" "Oh, tutup mulutmu!" tukas Elizabeth dengan kasar. Arabella menghela napas panjang. "Sungguh menyesal aku diharuskan masuk Whyteleafe. Kalau semua muridnya seperti kau, aku yakin aku takkan senang tinggal di sana." Elizabeth bangkit. "Dengar, Arabella," katanya, "aku akan berceritera tentang sekolahku itu. Dengar baik-baik agar kau tahu benar apa yang akan kaualami nanti di sana. Aku yakin kau takkan menyukai sekolahku, dan sekolahku pun takkan menyukaimu. Maka kuharap kau sudah cukup merasa kuperingatkan, agar kau bisa lebih mempersiapkan diri," "Baik. Coba ceriterakan, " kata Arabella, tampak agak ketakutan. "Apa yang akan kuceriterakan pasti akan membuat banyak anak senang," kata Elizabeth. "Semuanya serba masuk akal dan adil. Tetapi aku yakin Nona Besar seperti kamu tak akan menyukai semuanya." "Jangan panggil aku seperti itu!" kata Arabella gusar. "Pokoknya dengarkanlah," kata Elizabeth. "Di Whyteleafe ada seorang Ketua Murid Laki-laki, yaitu William, dan seorang Ketua Murid Perempuan, bernama Rita. Mereka anak-anak yang cerdas dan pandai serta berkelakuan sangat baik. Kemudian ada juga dua belas orang Pengawas." "Siapa mereka itu?" Arabella mendengus seakan-akan para Pengawas itu menyiarkan bau yang tak enak "Para Pengawas adalah anak-anak yang dipilih oleh murid-murid seluruh sekolah untuk menjadi pemimpin," kata Elizabeth. "Mereka dipilih karena dipercaya, dan dianggap baik hati dan bijaksana. Mereka mengawasi agar murid-murid lain mengikuti semua peraturan yang ada. Mereka juga mengikuti peraturan-peraturan tersebut dan mereka membantu William dan Rita untuk memutuskan hukuman atau hadiah yang diberikan pada murid-murid dalam setiap Rapat Besar." "Apakah Rapat Besar itu?" Arabella membelalakkan mata keheranan. "Semacam DPR atau Parlemen sekolah. Kami mengadakan sidang setiap minggu. Semua murid harus hadir," Elizabeth bangga sekali bisa berceritera pada Arabella. "Dan dalam tiap sidang kami memasukkan semua uang kami ke sebuah kotak uang.... Begitulah peraturannya...." "Apa? Memasukkan semua uang kita pada kotak uang sekolah?" Arabella sangat heran. "Uangku banyak sekali. Aku takkan mau memberikan semua uangku...! Sungguh peraturan gila!" "Memang bisa saja kaupikir begitu, mula-mula...," kata Elizabeth, teringat betapa ia juga sangat membenci peraturan tersebut pada mulanya. "Tetapi sesungguhnya itu suatu peraturan yang sangat baik. Sungguh tidak adil bukan, kalau ada murid-murid yang punya uang saku banyak sekali, sementara murid yang lain hampir tak punya sama sekali?" "Mengapa tidak adil, kan itu uang kita sendiri," bantah Arabella, yang tahu benar ia pasti termasuk di antara beberapa orang anak yang terkaya di sekolah itu. "Kita membuat peraturan yang sangat adil," kata Elizabeth. "Semua uang kita kumpulkan, kemudian tiap minggu kita akan diberi uang saku masing-masing dua shilling, diambilkan dan kotak uang tadi. Kita boleh membelanjakannya semau kita. Dan dengan begitu semua murid punya uang saku yang sama." "Hanya dua shilling?!" seru Arabella sangat ngeri. "Kalau kau memerlukan untuk suatu keperluan yang sangat mendesak, maka kau mesti mengatakannya pada ketua murid. Mereka memutuskan apakah keperluanmu itu memang bisa mereka setujui. Bila disetujui, maka kau akan menerima uang yang kauperlukan, bila tidak, yah, kau takkan memperolehnya." "Apa lagi yang kaulakukan dalam Rapat Besar itu?" tanya Arabella. "Kedengarannya kok semakin mengerikan. Apakah guru-kepala menentukan sesuatu?" "Kalau kita minta," kata Elizabeth. "Para guru memang ingin agar kita membuat peraturan kita sendiri, merencanakan hukuman yang harus dilakukan atau penghargaan yang harus diberikan. Misalnya saja, Arabella, misalnya kau bersikap terlalu angkuh untuk apa saja... maka kami akan mencoba menyembuhkanmu dengan jalan...." "Jangan coba-coba menyembuhkanku atau berbuat sesuatu padaku," tukas Arabella. "Kaulah sesungguhnya yang harus disembuhkan dari banyak hal. Heran, mengapa tidak dari dulu para Pengawas itu menyembuhkanmu. Mungkin semester ini mereka akan tahu tentang dirimu." "Aku telah dipilih menjadi Pengawas," kata Elizabeth bangga. "Aku salah satu anggota dewan juri. Kalau sampai ada keluhan tentang dirimu, maka aku punya kekuasaan untuk mempertimbangkan keluhan tersebut, serta ikut menentukan apakah kau harus dihukum atau tidak...." "Anak berandalan seperti kau mengadili aku?" Arabella merah mukanya. "Kau tak tahu cara berjalan yang baik, kau tak mengerti sopan santun, kau tertawa terlalu keras...." "Oh, tutup mulutmu," kata Elizabeth. "Memang aku tidak selemah lembut dan sehalus kau, tapi aku tidak menjilat pada semua orang dewasa yang kujumpai, aku tidak suka berpura-pura hanya untuk mengambil hati orang, aku tidak bertingkah dan berpakaian berlebihan seperti boneka yang berkata 'Mama' setiap kali kita tarik talinya...." "Elizabeth Allen!" seru Arabella. "Kalau saja aku berandalan seperti kamu, sudah pasti kulempar kepalamu karena berkata seperti itu!" Ia mengentakkan kaki marah. "Aku lebih suka kalau kau melempar kepalaku," kata Elizabeth. "Bagiku kau lebih bagus jadi apa saja, kecuali boneka kesayangan Mama seperti sekarang ini." Arabella menghambur ke luar kamar, dan untuk pertama kalinya lupa sopan santun, mengempaskan pintu keras-keras. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya sebelumnya. Elizabeth menyeringai. Tetapi kemudian ia termenung berpikir-pikir. "Kau harus hari-hari, Elizabeth Allen," ia berkata pada dirinya sendiri. "Kau paling pandai mencari musuh, tetapi kau tahu benar bahwa bermusuhan hanyalah memberikan pertengkaran serta kesedihan. Arabella memang anak tolol-angkuh, dungu, tak berotak-tetapi biarkan Whyteleafe menanganinya, jangan mencoba bertindak sendiri. Cobalah bersikap bersahabat dengannya. Bantulah dia." Maka Elizabeth mencoba melupakan bahwa ia sangat tidak senang pada si Angkuh Arabella, boneka hidup yang selalu bersolek itu. Tetapi tak urung ia merasa sangat lega waktu tiba hari berangkat ke sekolah. Sungguh tak menyenangkan untuk setiap hari berteman dengan seseorang seperti Arabella. Di sekolah ia akan dikelilingi oleh lusinan anak lain, yang gembira ria bersahabat. Di sekolah ia takkan terpaksa harus berbicara dengan Arabella seorang. "Ia lebih tua dariku," pikir Elizabeth sambil mengenakan seragamnya dengan gembira. "Mungkin ia akan masuk ke kelas yang lebih tinggi dariku." Seragamnya sangat apik rasanya. Mantel biru tua dengan tepi bergaris kuning pada ujung lengan serta leher. Topinya juga biru tua berpita kuning. Stocking-nya berwarna cokelat, demikian pula sepatunya. "Menyebalkan sekali seragam berwarna gelap begini ini," kata Arabella seakan jijik. "Suram benar! Di Grey Towers, sekolah yang sesungguhnya sangat kuinginkan, semua anak perempuannya diperbolehkan memakai apa saja yang mereka sukai." "Betapa tololnya peraturan itu," dengus Elizabeth. Diperhatikannya Arabella. Dengan memakai seragam sekolah, dan bukannya pakaian mewah indah seperti biasanya, Arabella tampak lebih manis dan segar. "Aku lebih suka melihatmu memakai seragam," kata Elizabeth. "Dengan memakai seragam kau seperti anak-anak biasa." "Elizabeth, kau selalu berkata aneh," Arabella berkata dengan wajah heran. "Aku toh memang anak biasa...." "Kukira tidak begitu," kata Elizabeth memandang tajam pada Arabella. "Kau yang asli tersembunyi di balik tingkah laku sopan santun yang kaubuat-buat itu. Bahkan aku tak yakin apakah kau punya pribadi atau tidak." "Kau ini sungguh aneh!" kata Arabella. "Anak-anak... kalian sudah siap?" seru Nyonya Allen. "Mobil sudah menunggu kalian di pintu gerbang!" Mereka turun ke lantai bawah, membawa tas-tas jinjingan. Semua murid memang terpaksa membawa tas* jinjingan kecil berisi pakaian yang segera mereka perlukan, sebab kopor besar mereka pasti baru akan selesai dibuka dan diambil isinya keesokan harinya. Mereka juga menjinjing tongkat lacrosse dan hockey, walaupun Arabella sesungguhnya berharap agar ia tak wajib melakukan kedua permainan itu. Ia memang tidak menyukai permainan olahraga apa pun. Mereka naik kereta api ke London. Dan di stasiun besar kota itu mereka bertemu dengan murid-murid Whyteleafe yang juga akan kembali ke sekolah. Bu Ranger, wali kelas Elizabeth, telah berada di situ juga dan menyapa Elizabeth. "Ini Arabella Buckley," Elizabeth memperkenalkan Arabella. Semua berpaling memperhatikan Arabella. Betapa rapi dan manisnya anak itu. Tak selembar rambut pun keluar dari jalurnya, tak ada satu kerutan pun di stocking-nya, tak ada setitik noda pun di pipinya. "Halo, Elizabeth!" tiba-tiba terdengar seseorang berseru. Joan! Dan sahabat Elizabeth itu langsung merangkulnya. "Halo, Elizabeth! Halo, Elizabeth!" Satu per satu para sahabat akrab Elizabeth muncul, menyapanya dengan riang. Mereka sangat girang bertemu kembali dengan si cewek yang dahulu pernah menjadi cewek paling badung di sekolah. Harry menepuk punggungnya. Begitu juga Robert. John bertanya apakah ia berkebun selama liburan ini. Kathleen mendekat dengan pipi kemerah-merahan serta lesung pipit yang tampak manis. Richard melambaikan tangan padanya, saat ia memasuki gerbang dengan membawa tempat biolanya. "Oh, sungguh senang kembali ke sekolah," pikir Elizabeth. "Dan dalam semester ini... aku jadi Pengawas! Aku harus lebih berhasil lagi. Akan kubuat si Sok Aksi Arabella itu meng-hormatiku." "Ayo, cepat naik ke gerbong!" seru Bu Ranger. "Cepat berpamitan dan masuk semua!" Petugas meniup peluit. Kereta mendesis bergerak. Mereka berangkat ke Whyteleafe! 3. Empat Orang Anak Baru Salah satu hal yang paling menarik di awal suatu semester adalah pertanyaan: apakah ada anak baru? Siapa mereka? Bagaimanakah pribadi mereka? Masuk ke kelas berapa? Semua murid lama mencari-cari anak baru. Arabella, tentu. Dan ada tiga orang lagi, dua laki-laki dan seorang perempuan. Elizabeth sebagai seorang Pengawas merasa bahwa adalah salah satu tugasnya untuk membuat anak-anak baru itu segera merasa betah tinggal di Whyteleafe. Begitu mereka semua tiba di Whyteleafe, ia segera mengatur segalanya. "Kathleen, tunjukkan kamar tidur Arabella, dan katakan padanya peraturan-peraturan yang ada. Aku akan membantu ketiga anak lainnya itu. Robert, kau bisa membantuku, bukan? Hari ini kau harus mengurus dua orang anak baru." "Baiklah," jawab Robert, menyeringai. Tampaknya ia tumbuh dengan cepat selama liburan ini. Kini ia bertubuh tinggi dan besar. Ia sangat gembira kembali ke Whyteleafe, sebab di sini ia bisa merawat kuda-kuda yang sangat dicintainya. Ia berharap semester ini ia diperbolehkan merawat kuda-kuda tersebut seperti pada semester sebelumnya. Elizabeth berpaling pada anak-anak baru. Arabella telah pergi dengan Kathleen, dengan tampak sedikit ketakutan. Tiga orang anak baru lainnya berkumpul kikuk. Salah seorang di antaranya menirukan ayam berkotek. Persis sekali! "Hei, sungguh-sungguh seperti ayam!" seru Elizabeth heran. "Seolah-olah kau baru saja bertelur!" Anak itu tersenyum. "Aku bisa menirukan hampir semua suara binatang," katanya. "Namaku Julian Holland. Kau siapa?" "Elizabeth Allen," kata Elizabeth. Ia sangat tertarik pada anak baru itu. Seorang yang paling tidak rapi yang pernah dilihatnya! Rambutnya panjang tak terurus, terjurai ke dahi, matanya hijau tua, bersinar-sinar bagaikan mata kucing. "Tampaknya ia sangat cerdas," pikir Elizabeth. "Aku yakin dengan mudah ia bisa merebut nomor satu, bila berada di kelas Bu Ranger." Julian menirukan suara ayam kalkun. Pak Lewis guru musik, yang kebetulan lewat, tampak sangat terkejut, melihat ke sana kemari. Julian menirukan suara biola sedang dicoba, dan Pak Lewis bergegas ke ruang latihan, mengira ada yang bermain biola di tempat itu. Elizabeth tertawa terpingkal-pingkal. "Oh, kau sungguh pandai!" katanya. "Mudah-mudahan kau sekelas denganku." Anak baru yang seorang lagi, Martin, sangat berlawanan dengan Julian. Martin tampak begitu bersih dan rapi. Rambutnya disisir rapi, matanya biru jernih. Mata tersebut letaknya berdekatan, tetapi memberi kesan menyenangkan. Elizabeth segera menyukainya. "Namaku Martin Follet," Martin memperkenalkan diri dengan suara yang menyenangkan. "Dan aku Rosemary Wing," kata anak baru yang perempuan, malu-malu. Wajahnya cantik, bibirnya seakan selalu tersenyum, tetapi matanya sedikit kekecilan serta tampaknya tak berani menatap pandangan anak lain. Elizabeth mengira pastilah anak ini sangat pemalu. Tetapi hal itu pasti akan segera hilang di sini. "Robert, tolong antar Julian dan Martin ke asrama putra," kata Elizabeth. "Aku akan mengantarkan Rosemary. Terangkan segala sesuatunya pada mereka, jangan tinggalkan mereka sampai keduanya mengerti arah-arah yang benar di sini, misalnya tempat ruang makan dan hal-hal seperti itu...." "Baiklah, Pengawas," Robert menyeringai lebar. Elizabeth merasa bangga. Sungguh hebat rasanya jadi Pengawas. "Oh, apakah kau seorang Pengawas?" tanya Rosemary, berlari-lari kecil di samping Elizabeth. "Itu suatu kedudukan-khusus, bukan?" "Ya, begitulah," kata Elizabeth. "Aku adalah Pengawas-mu, Rosemary. Jadi kalau kau mendapat kesulitan atau persoalan, datanglah padaku. Aku akan mencoba dan berusaha untuk membantumu." "Bukankah kita harus membawa persoalan kita ke Rapat Besar?" tanya Rosemary yang agaknya telah mendengar tentang itu dari percakapan di kereta api tadi. "Oh, ya, tetapi lebih baik kalau sebelum kaubawa ke Rapat Besar, kaurundingkan dulu dengan aku," kata Elizabeth. "Sebab kita hanya boleh membawa persoalan yang benar-benar sulit ke Rapat Besar. Lagi pula, bukannya pengaduan karena sakit hati. misalnya. Mungkin kau tak bisa membedakan mana yang bisa diajukan dan mana yang tidak." "Benar juga. Kukira itu cukup baik bagiku," kata Rosemary. "Manis benar anak ini," pikir Elizabeth, sementara ia mengajari anak itu di mana dan bagaimana harus menyimpan barang-barangnya di kamar tidur. "Di atas meja rias tak boleh ada benda lebih dari enam buah. Ingat itu, Rosemary. Kau harus memilih mana yang akan kautaruh di atasnya." Sungguh menyenangkan bahwa kini dialah yang menuturkan berbagai peraturan. Elizabeth teringat saat dulu Nora, Pengawasnya, menerangkan berbagai peraturan tersebut dan bagaimana ia langsung berusaha untuk melanggarnya. Misalnya saja, ia menaruh sebelas benda di meja rias, dan bukannya enam! Betapa tololnya dia waktu itu, betapa beraninya memberontak! "Baik, Elizabeth," kata Rosemary sambil mulai mengatur barang-barangnya. Di kamar tidur sebelah, Kathleen sedang mendapat kesulitan dari Arabella yang sama sekali tak mau menerima semua peraturan yang ada. "Toh tak banyak peraturan yang harus kau-turuti," kata Kathleen kemudian. "Dan lagi kita sendirilah yang membuat semua peraturan tersebut, jadi kita harus mematuhinya. Kalau perlu biar kupanggilkan Elizabeth. Ia seorang Pengawas, dan pasti bisa lebih jelas lagi menerangkan semuanya." "Aku tak ingin bertemu dengan Elizabeth," kata Arabella segera. "Sudah lebih dari cukup aku tinggal bersamanya liburan ini. Mudah-mudahan ia tak sekelas denganku." Kathleen sangat mengagumi Elizabeth, walaupun semester sebelumnya ia pernah sangat membenci anak itu. Mendengar kata-kata Arabella itu, meluap juga perasaan Kathleen. "Jangan bicara seperti itu tentang para Pengawas," katanya tajam. "Kami memilih mereka berdasarkan rasa senang serta kekaguman kami pada mereka. Lagi pula, sungguh kau tak tahu adat berkata seperti itu tentang orang yang pernah kautemui." Belum pernah Arabella dikatakan tak tahu adat, maka sekejap itu juga wajahnya jadi pucat dan tak tahu harus berkata apa. Dipandangnya Kathleen dan dalam hati ia memutuskan tak mau berkawan dengan anak itu. Sesungguhnya, tak ada seorang pun di sekolah ini yang patut menjadi kawannya. Kecuali si Kecil Manis Rosemary yang juga anak baru itu. Arabella merasa yakin Rosemary akan kagum pada cerita tentang kekayaannya. Tentang pakaian yang indah-indah dan liburan di luar negeri. Hari-hari pertama berlalu cepat. Murid-murid baru mulai betah. Pada mulanya beberapa orang memang begitu rindu rumah, tetapi Sekolah Whyteleafe mengerti sekali akan kebutuhan semua muridnya. Lagi pula persahabatan di antara mereka begitu erat, sehingga tak lama anak-anak baru mulai merasa betah juga. Tak lama suara tawa dan percakapan hangat terdengar di mana-mana. Semua anak baru ternyata masuk ke kelas Elizabeth. Bagus! Sungguh senang punya kawan baru. Dan dengan menjadi seorang Pengawas, Elizabeth merasa akan bisa membuat anak-anak baru itu kagum padanya. Joan telah naik kelas, sehingga yang menjadi Pengawas di kelas itu tinggal Elizabeth. Bu Ranger, wali kelas, segera menilai anak-anak baru tadi dan membicarakannya dengan Mam'zelle. "Julian anak malas," katanya. "Sungguh sayang, sebenarnya ia berotak cemerlang. Banyak yang bisa dilakukannya, di luar pelajarannya. Tangannya bisa membuat apa saja. Pernah saya lihat ia memamerkan pesawat terbang kecil yang dibuatnya-bisa terbang melayang dengan indah! Kapal terbang itu mutlak hasil karyanya sendiri, dari pemikiran awal sampai pembuatannya. Tak ada yang mencontoh sedikit pun! Begitulah. Berjam-jam ia menghabiskan waktu untuk membuat permainan. Tetapi untuk menghabiskan satu menit saja untuk belajar ilmu bumi atau sejarah, ia tak mau!" "Ah si Julian itu," kata Mam'zelle dengan gaya putus asa, "saya tak suka padanya. Selalu membuat suara-suara aneh." "Suara aneh?" Bu Ranger heran. "Sampai saat ini ia belum pernah bersuara aneh dalam pelajaran saya, tetapi saya yakin suatu saat ia akan melakukannya juga di kelas saya." "Kemarin, waktu pelajaran saya, tiba-tiba terdengar suara seperti anak kucing tersesat," kata Mam'zelle. '"Ah, kasihan sekali,' kata saya, 'anak kucing itu tersesat masuk ke kelas kita,' Dan selama sepuluh menit saya mencarinya. Tetapi ternyata yang mengeong adalah si Julian itu." "Apa betul?" tanya Bu Ranger, sambil dalam hati berpikir bahwa ia takkan memberi kesempatan pada Julian melakukan hal itu di kelasnya. "Terima kasih atas keterangan Anda. Saya akan memberi perhatian khusus pada Julian." Pembicaraan beralih pada Arabella. "Ia bagaikan sebuah boneka yang kepalanya kosong," kata Bu Ranger. "Saya berharap kita bisa mengubah pribadinya dan menuntunnya agar menjadi anak pandai. Dari usianya seharusnya ia sudah berada di kelas yang lebih tinggi. Tetapi cara berpikirnya agak lambat, sehingga harus didorong dahulu agar bisa mengikuti pelajaran di kelas selanjutnya. Agaknya ia juga sangat bangga akan penampilannya. Selalu merapikan rambut atau pakaian. Atau memamerkan tingkah laku sopannya." "Tetapi ia tak begitu buruk," kata Mam'zelle yang sangat senang pada Arabella, karena Arabella pernah tinggal di Prancis dan dapat berbahasa Prancis dengan baik "Di negeriku, Bu Ranger, anak-anak bertingkah lebih sopan daripada anak-anak di sini. Dan sungguh senang untuk melihat ada anak yang sesopan Arabella." "Hmm," kata Bu Ranger, yang tahu bahwa Mam'zelle jarang sekali berbicara tidak baik tentang anak-anak yang bisa berbahasa Prancis dengan baik. "Bagaimana pendapat Anda tentang Martin... dan Rosemary?" "Oh, mereka manis-manis," kata Mam'zelle, yang sangat senang akan sikap Rosemary yang selalu ingin membuat senang gurunya dengan mematuhi apa saja yang diperintahkan padanya. "Si Martin kecil itu... ia begitu baik, selalu berusaha keras." "Aku tak begitu yakin tentang dia," kata Bu Ranger. "Kalau Rosemary, ya. Tetapi ia berkepribadian lemah. Akan buruk akibatnya kalau ia mempunyai sahabat yang tidak baik. Mudah-mudahan ia bersahabat dengan Elizabeth Allen atau Jenny." Begitulah. Guru-guru menilai murid baru. Murid lama juga berbuat serupa. Julian sangat berhasil dalam pergaulan. Ia seorang yang pemberani dengan berbagai macam kepandaian yang bisa digunakannya kapan saja ia mau. Otaknya cemerlang, cerdas dan sering menemukan hal-hal yang baru. Selalu ada saja ulah yang dilakukannya di kelas, yang membuat seisi kelas tergelak-gelak atau terheran-heran. "Sayang sekali dalam hal nilai pelajaran kau begitu rendah, Julian," kata Elizabeth di akhir minggu itu. "Kau sesungguhnya sangat pandai. Seharusnya kau berada di kedudukan puncak." Julian menatap Elizabeth dengan mata hijaunya yang bersinar. "Untuk apa?" katanya. "Siapa yang sudi menghapalkan tanggal-tanggal peristiwa yang sudah lewat? Toh kelak bila aku dewasa aku takkan bisa hidup dengan pelajaran sejarah, misalnya. Untuk apa aku mempelajari gunung tertinggi di dunia? Toh aku takkan mendakinya. Semua pelajaran tak ada gunanya. Membosankan semua." Elizabeth teringat bahwa ia seorang Pengawas. Ia berkata sungguh-sungguh pada Julian, "Kau harus rajin belajar, Julian. Cobalah untuk mengejar ketinggalanmu." Julian tertawa. "Kau mengatakan hal itu hanya karena kau merasa bahwa dirimu seorang Pengawas! Kau takkan bisa menjeratku dengan nasihat muluk-muluk. Kau harus memberikan suatu alasan yang bisa kumengerti, mengapa aku harus bekeja keras, baru kemudian aku akan bekerja keras." Merah wajah Elizabeth. Ia tak senang dikatakan memberi nasihat muluk-muluk. Ia berpaling meninggalkan Julian Julian mengejarnya. "Jangan marah, aku hanya menggodamu," katanya. "Dengar, Elizabeth. Joan, sahabat karibmu, telah pindah ke kelas di atas kita. Bagaimana kalau aku menggantikan sebagai sahabatmu? Otakmu paling cerdas di kelas kita, setelah otakku, tentu. Dan kau menyenangkan. Jadilah sahabatku." "Baiklah," kata Elizabeth, sedikit bangga karena Julian yang cerdas dan luar biasa ini ingin jadi sahabatnya. 'Baiklah. Jadilah sahabatku. Pasti menyenangkan bersahabat denganmu." Memang menyenangkan bersahabat dengan Julian. Tetapi di samping itu juga mengundang banyak persoalan! 4. Rapat Besar Arabella dan anak-anak baru lainnya menunggu Rapat Besar mereka yang pertama dengan berdebar-debar. Di sekolah mereka sebelumnya mereka tak mengenal parlemen sekolah seperti yang ada di Whyteleafe ini, di mana anak-anak mengatur sendiri kehidupan di sekolah mereka. Tak habis-habisnya mereka membayangkan dan mengira-ngira bagaimana Rapat Besar itu. "Kukira ini suatu peraturan yang bagus," kata Martin. "Benar," kata Rosemary dengan suaranya yang lembut. Ia selalu membenarkan kata orang lain, tak peduli apa sesungguhnya yang mereka katakan. "Peraturan tolol," tukas Arabella. Ia selalu meremehkan apa saja yang ada di Whyteleafe, karena sesungguhnya ia lebih senang pergi ke sekolah mewah yang dikunjungi oleh sahabat-sahabatnya dulu. Baginya Whyteleafe yang menganut tata cara menurut akal waras itu sama sekali tak masuk hitungan. Di luar dugaan, Julian menyetujui pendapat Arabella. Biasanya ia sama sekali tak ambil pusing tentang Arabella, dengan keangkuhan dan tingkah sombongnya. "Harus kukatakan di sini, aku sama sekali tak peduli pada Rapat Besar itu," kata Julian. "Tak ada bedanya bagiku, apa pun yang diputuskan. Asal aku bisa melakukan apa yang kuiingini, aku takkan menghalangi anak lain melakukan kesenangannya." "Oh, Julian, kau pasti tak bermaksud seperti itu," kata Kathleen. "Kau kan mesti marah bila ada seseorang merusak barang-barang buatanmu. Kau pasti marah kalau seseorang memfitnahmu. Kau pasti mengamuk!" Julian tak senang bila pendapatnya dibantah. Dikibaskannya rambutnya yang panjang, di-kerutkannya hidungnya seperti biasa dilakukannya bila ia gusar. Saat itu ia sedang membuat sebuah perahu dengan sepotong kayu kecil. Bagaikan sulap saja benda itu muncul di tangannya. "Aku tak peduli ada anak yang memfitnah aku," kata Julian. "Aku tak peduli tentang apa pun, asalkan aku bisa melakukan apa saja yang kusukai." "Kau memang lucu, dan aneh," kata Jenny. "Kalau tidak jadi anak yang paling bodoh, kau pasti jadi anak yang paling pandai- cuma hal ini jarang sekali. Tak pernah kau setengah-setengah." "Pernahkah ia benar-benar jadi yang terpandai?" tanya Joan yang kini tidak sekelas dengan mereka itu. "Waktu itu sedang pelajaran mencongak," Jenny bercerita, "dan di pelajaran matematika ini biasanya Julian tak pernah menjawab dengan benar. Tapi entah kenapa, mungkin sedang ingin pamer, saat itu ia menjawab semua soal dengan tepat dan cepat. Begitu Bu Ranger selesai mengucapkan soalnya, langsung Julian menjawab. Sampai-sampai anak lain tak mendapat kesempatan!" "Ya... dan Bu Ranger jadi sangat heran," kata Belinda. "Beliau lalu membuat soal-soal yang makin lama makin sulit, soal-soal yang biasanya baru bisa kita jawab setelah berpikir dua-tiga menit. Tetapi Julian masih juga bisa menjawab dengan cepat. Sungguh aneh waktu itu." "Tetapi justru karena itulah Bu Ranger marah besar padanya. Karena di mata pelajaran matematika berikutnya, ia sama sekali tak bisa menjawab satu soal pun!" kata Kathleen. Julian menyeringai. Ia memang anak luar biasa. Semua anak menyukainya. Ada-ada saja ulahnya. Semua memintanya untuk menirukan suatu suara di mata pelajaran Bu Ranger, tapi ia menolaknya. "Bu Ranger sudah bersiap-siap untuk itu," katanya. "Aku tahu itu. Sungguh tak menyenangkan untuk berbuat sesuatu bila orang segera tahu bahwa yang berbuat itu aku. Sebaliknya bila orang sama sekali tak tahu... nah, itu baru lucu. Seperti waktu pelajaran Mam'zelle dulu itu. Tunggu dululah. Suatu hari aku akan berbuat sesuatu untuk Bu Ranger. Setiap ulahku harus tepat dengan siapa orang yang jadi sasaran." Elizabeth juga mengharap kedatangan Rapat Besar pertama itu. Ia ingin sekali berjalan menuju meja juri, kemudian duduk di meja itu bersama para Pengawas lainnya, di hadapan seluruh isi sekolah. Bukannya ia sombong, melainkan ia sangat bangga. Dan itu wajar. "Bukankah itu suatu kehormatan," pikirnya. "Artinya aku dipercayai oleh seluruh murid, dan semua berpendapat bahwa aku patut menjadi Pengawas. Oh, semoga semester ini berjalan dengan baik-baik saja, tanpa persoalan apa-apa." Waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Anak-anak mulai mengalir memasuki bangsal senam. Dan masuklah kedua belas Pengawas yang dengan wajah bersungguh-sungguh duduk di meja juri, di depan anak-anak lain. Dengan rasa benci Arabella melirik pada Elizabeth. Si Berandal tak tahu adat itu jadi Pengawas! Sungguh sinting! Kemudian masuklah William dan Rita, Ketua Murid yang akan bertindak sebagai hakim. Semua anak berdiri memberi hormat. Di tempat duduk paling belakang duduklah pimpinan sekolah: Bu Best, Bu Belle, dan salah seorang guru, Pak Johns. Mereka selalu tertarik pada apa yang terjadi di Rapat Besar, tetapi mereka tak pernah ikut campur. Ini rapat anak-anak- Di sini berlaku peraturan yang dibuat anak-anak. Dan anak-anak juga yang memberi hukuman atau penghargaan bagi mereka yang patut menerimanya. Tak banyak yang harus dibicarakan di Rapat Besar pertama itu. Setiap anak diberitahu untuk memasukkan semua uang yang mereka punyai ke dalam kotak uang sekolah. Dengan penuh perhatian Elizabeth melihat pada Arabella, saat ia mengedarkan kotak untuk mengumpulkan uang. Ia ingat Arabella pernah berkata takkan mau menyerahkan uangnya. Apakah itu yang akan dilakukannya nanti? Arabella duduk angkuh tak peduli. Waktu kotak uang itu sampai padanya, ia memasukkan selembar uang sepuluh-shilling dan dua-shilling. Ia sama sekali tidak melihat pada Elizabeth. Sebagian besar anak-anak itu mempunyai uang cukup banyak. Memang begitu biasanya pada awal semester. Anak-anak pergi ke sekolah dibekali hadiah uang dari orangtua, bibi, atau paman mereka. Kotak uang terasa cukup berat waktu dibawa kembali oleh Elizabeth ke depan, diberikan pada William dan Rita. "Terima kasih," kata William. Anak-anak kini agak ribut berbicara. William mengetuk meja. Semua segera hening. Tetapi... terdengar suara air menggelegak! Suara tersebut seolah-olah datang dari dekat Jenny, Julian, dan Kathleen. William tampak keheran-heranan. Ia mengetuk mejanya sekali lagi. Tetapi suara tadi masih terdengar. Malah lebih keras. Elizabeth segera tahu bahwa suara tadi ulah Julian. Dipandangnya anak itu. Tetapi Julian tampak tenang-tenang saja, dan mulutnya tak bergerak sama sekali. Bagaimana ia bisa bersuara tanpa menggerakkan mulut? Elizabeth hampir tak bisa menahan geli. "Aku tak boleh tertawa pada saat duduk di sini sebagai Pengawas," katanya dalam hati. "Ampun! Semoga Julian segera berhenti. Suaranya persis air mendidih!" Satu-dua anak mulai tertawa. William mengetuk meja lebih keras. Elizabeth bertanya-tanya dalam hati, apakah lebih baik ia mengatakan bahwa Julian yang mengganggu rapat itu. "Tetapi tak mungkin. Dia sahabatku. Aku tak mau dia mendapat hukuman, walaupun aku adalah Pengawas-nya," katanya dalam hati. Ia mencoba menarik perhatian Julian, agar anak itu berpaling padanya. Dan berhasil. Julian melihat Elizabeth. Elizabeth melotot padanya, kemudian mengerutkan kening. Sekali lagi Julian membuat suara air mendidih. Kemudian diam. William sama sekali tak tahu siapa yang membuat gaduh tadi. Ia melihat berkeliling. "Cukup lucu juga untuk mengganggu jalannya Rapat Besar sekali saja," katanya, "tetapi bila diulang maka sudah tidak lucu lagi. Kini kita sampai pada acara pembagian uang." Masing-masing murid maju untuk mengambil uang saku mereka yang dua shilling dari para Pengawas. William telah membawa banyak sekali uang kecil dan menukarnya dengan uang kertas yang ada di kotak uang. Setelah semua menerima bagiannya, William berkata lagi, "Anak-anak baru mestinya sudah mengetahui bahwa dengan uang mereka yang dua shilling itu mereka boleh membeli prangko, permen, pita rambut, kertas, atau apa saja yang mereka kehendaki. Jika mereka memerlukan uang tambahan, maka mereka harus menyatakan untuk apa uang tambahan tersebut. Apakah ada yang minta uang tambahan?" John Terry berdiri. Ia mendapat tugas mengurus kebun sekolah, dan ia sangat rajin serta tekun bekerja. Dengan dibantu beberapa orang anak, John melengkapi keperluan sekolah dalam hal sayur-mayur dan bunga-bungaan. Semua sangat kagum akan hasil pekerjaan John. "William, kami memerlukan gerobak dorong kecil," kata John. "Di semester ini ada beberapa orang anak kecil yang menyediakan diri untuk bekerja di kebun. Dan bagi mereka, gerobak dorong besar terlalu berat." "Berapakah harga gerobak dorong kecil?" tanya William. "Saat ini memang uang kita banyak, tetapi kita tak bisa terlalu banyak membelanjakannya." John mengeluarkan selembar daftar harga. Dibacanya harga beberapa gerobak dorong. "Cukup mahal juga, yah," kata William. "Kalau begitu mungkin aku akan mengusulkan agar kita menunggu dulu, John. Kau tahu anak-anak kecil. Suatu saat mereka penuh semangat, pada saat lain mereka telah bosan. Buang uang percuma saja kalau kita membeli gerobak dorong dan ternyata akhirnya tak ada yang menggunakannya." John tampak agak kecewa. "Ya, terserahlah, William," katanya. "Tetapi aku yakin anak-anak itu bersungguh-sungguh. Paling tidak aku yakin Peter bersungguh-sungguh. Aku tak bisa berbuat banyak tanpa bantuannya sekarang. Dan ia telah mengajak dua orang temannya untuk membantu. Si Kecil Peter sungguh bangga mendapat pujian dari John seperti itu. Dan kedua orang temannya langsung memutuskan untuk terus bekerja di kebun agar John juga senang pada pekerjaan mereka dan memuji mereka seperti Peter. "Ada pendapat lain tentang gerobak dorong itu?" tanya Rita. Tak ada yang menjawab sampai terdengar suara Julian yang bernada berat. "Ya Cukup wajar bila anak-anak kecil itu memperoleh sebuah gerobak dorong. Biarlah aku yang membuatnya." Julian tidak berdiri. Enak saja duduk bermalas-malasan di kursinya. "Berdirilah bila kau berbicara," kata Rita. Beberapa saat Julian tampaknya mau bersikeras duduk. Tetapi akhirnya ia berdiri dan mengulangi tawarannya. "Aku akan membuat gerobak dorong ukuran kecil," katanya. "Kalau aku boleh masuk gudang, maka bisa kucari sendiri bahan-bahannya. Dengan begitu kita takkan mengeluarkan uang sedikit pun." Semua merasa tertarik. Dan Elizabeth segera berkata, "Oh, benar juga, William. Biarkan Julian membuat gerobak itu. Ia pandai sekali. Ia bisa membuat apa saja!" "Baiklah. Terima kasih, Julian," kata William. "Kerjakan pekerjaan itu segera setelah kau bisa. Kini... ada hal lain yang bisa kita bicarakan?" Tak ada. William menutup Rapat Besar, dan anak-anak pun bubar. "Bagus, Julian," kata Elizabeth menggandeng tangan sahabatnya itu. "Aku yakin gerobak dorong yang kaubuat nanti akan menjadi gerobak yang paling bagus di dunia!" 5. Arabella Terlibat Kesulitan Anak-anak baru mulai merasa betah, saat hari-hari mulai berlalu. Julian memulai pembuatan gerobaknya seakan ia tukang kayu berpengalaman. Diselidikinya semua gudang yang ada. Dan ia antara lain menemukan sebuah roda karet yang dahulunya adalah roda sepeda roda tiga. Dan dengan membawa bahan-bahan lainnya, papan serta tetek bengek lain, ia pergi ke ruang pertukangan kayu. Dari luar anak-anak mendengar ia bersiul-siul, sementara palunya berdentam-dentam. Dan tak lama terdengar suara gerobak dorong berjalan hilir mudik. "Astaga! Cepat benar ia bekerja!" Harry berpandangan dengan yang lain, sangat keheranan. "Sungguh ajaib!" Tetapi ternyata yang bersuara tadi bukannya gerobak melainkan mulut si Julian. Julian tertawa waktu anak-anak mengintip di pintu. Anak-anak itu pun tertawa, mengelilinginya dengan rasa kagum. "Julian! Pandai sekali kau! Aku yakin gerobak yang kau buat juga sangat bagus nanti!" "Siapa bilang aku pandai?" Julian tertawa. "Aku jadi juru kunci minggu ini. Apakah kau tak tahu itu?" "Tetapi gerobak ini pasti bagus, sebagus gerobak yang dijual orang," kata Belinda penuh keyakinan. Julian tidak peduli akan pujian ataupun celaan. Ia menawarkan diri membuat gerobak itu bukan karena merasa kasihan pada anak-anak yang bekerja di kebun. Ia membuatnya hanya karena ia tahu ia bisa, dan ia tahu ia akan merasa senang mengerjakannya. Julian sangat disukai, walaupun ia selalu bersikap tak peduli. Tetapi Arabella ternyata kurang mendapat sambutan. Agaknya ia juga tak mau sembarangan bersahabat. Yang dipilihnya hanyalah si Lembut Hati Rosemary. Bagi Rosemary, Arabella yang selalu cantik dan sopan santun itu adalah seorang putri. Diikutinya terus ke mana saja, didengarnya baik-baik semua ceritanya, dan disetujuinya semua pendapatnya. "Kupikir ini sekolah tolol," berulang kali Arabella berkata pada Rosemary. "Pikirkan saja betapa gilanya peraturan yang ada. Lebih gila lagi karena peraturan-peraturan itu dibuat sendiri oleh murid-muridnya!" Sebelum itu Rosemary berpendapat bahwa Sekolah Whyteleafe sangat baik karena semua peraturannya dibuat sendiri oleh murid-murid. Tetapi karena Arabella berkata begitu, maka ia setuju saja. "Ya. Memang ini sekolah tolol!" katanya. "Terutama peraturan yang mengharuskan mengumpulkan semua uang kita untuk keperluan bersama," kata Arabella. Sesungguhnya peraturan yang ini juga tak banyak berarti bagi Rosemary yang hanya punya uang dua shilling dan enam penny untuk dimasukkan ke dalam kotak uang. Memang keluarganya tak begitu berada dan tak bisa memberinya banyak uang. Jadi walaupun peraturan itu menguntungkannya karena ia akan menerima dua shilling setiap minggu, tapi tetap saja ia setuju dengan pendapat Arabella. "Ya, sungguh tolol," katanya, "terutama bagi anak seperti kau, Arabella, yang terpaksa menyumbangkan begitu banyak! Kulihat kau memasukkan sepuluh-shilling dan uang logam dua-shilling. Banyak sekali!" Arabella menatap Rosemary, dalam hati bertanya-tanya apakah ia bisa mempercayai anak ini. Sebab sesungguhnya Arabella punya suatu rahasia: ia tidak memasukkan semua uangnya! Masih ada uangnya, selembar uang pounds-terling. Jadi kini uangnya, dengan uang saku mingguan dari sekolah, ada dua puluh dua shilling! Takkan diberikannya pada siapa pun, disembunyikan dengan rapi di dalam lipatan saputangannya, di dalam kotak saputangan. "Tidak," pikir Arabella, "aku takkan mengatakannya pada Rosemary. Ia belum kukenal dengan baik. Walaupun ia sahabatku, kadang-kadang sikapnya sungguh tolol. Tidak. Lebih baik rahasiaku itu tetap rahasia." Maka ia tak bercerita pada siapa pun. Tetapi hari itu ia dan Rosemary turun ke desa untuk membeli prangko, dan Rosemary ingin membeli jepit rambut. Dan Arabella tak tahan untuk tidak membelanjakan uangnya! "Pergilah ke kantor pos dulu, untuk membeli prangko. Aku akan membeli cokelat di toko kue," Arabella berkata pada Rosemary. Ia tak ingin Rosemary tahu ia membeli cokelat yang mahal. Maka sementara Rosemary pergi ke kantor pos, Arabella masuk ke dalam toko kue yang terbesar dan membeli setengah kilo permen cokelat kegemarannya. Ia juga membeli permen. Wah, enak sekali! Dan karena Rosemary belum juga datang, ia pun masuk ke toko sebelah untuk membeli buku bacaan. Kedua anak itu kemudian berjalan-jalan beberapa saat sebelum pulang ke sekolah. "Ini salah satu peraturan tolol lagi," kata Arabella, menggandeng tangan Rosemary. "Apa untungnya melarang anak-anak turun ke desa sendirian? Mengapa harus pergi berdua, kalau kita bukan seorang Pengawas atau sudah di kelas tertinggi?" "Sungguh tolol," kata Rosemary setuju. Arabella membuka bungkusan besar permen cokelatnya, menawarkannya pada Rosemary, "Ambillah." "Ooooh, Arabella! Betapa indahnya cokelat-cokelat ini!" seru Rosemary sangat kagum. "Astaga, pasti telah kauhabiskan uangmu yang dua shilling itu, hanya untuk sekali belanja!" Sambil mengunyah permen cokelat, mereka memasuki halaman sekolah. Sungguh enak memang. Arabella menutup kantong permen itu dan memasukkannya ke dalam saku mantel musim dinginnya. Ia tak ingin ada yang tahu bahwa ia punya begitu banyak permen. Ia takut kalau ada yang curiga dan mengetahui bahwa uangnya lebih dari dua shilling. Waktu ia akan menyimpan topi dan mantel, Jenny muncul untuk memakai mantelnya. Dilihatnya buku yang baru dibeli Arabella di bangku dekat mereka. Jenny mengambil buku tersebut. "Wah, inilah buku yang ingin kubaca. Aku pinjam, ya, Arabella?" pinta Jenny. "Aku belum membacanya," kata Arabella. "Baru saja kubeli tadi." Jenny melihat harga buku yang tercetak di sampul depan. "Wbw! Buku ini harganya tiga setengah shil-ling. Bagaimana kau bisa membelinya dengan uang sakumu?" tanyanya heran. "Aku membelinya di toko barang bekas" kata Arabella setelah tertegun beberapa saat. Wajahnya memerah seketika dan ini tampak oleh Jenny yang bermata tajam. Jenny tak berkata apa-apa lagi, meninggalkan tempat itu. "Si Jahat itu," pikirnya, "pasti ia tak memasukkan semua uangnya ke dalam kotak!" Kesulitan Arabella bertambah ketika tak sengaja Rosemary memberitahukan pada semua anak bahwa Arabella baru membeli permen cokelat. Tentu saja ini tak sengaja. Anak-anak itu sedang berkumpul di ruang bermain saat pembicaraan berkisar pada permen dan kembang gula. Mereka berbicara tentang apa saja yang mereka beli dengan uang mingguan mereka. "Kukira permen lunak paling murah kalau dihitung-hitung," kata Jenny. "Oh, tidak... permen bening jauh lebih tahan lama," kata Belinda. "Tidak, kalau kau mengunyahnya," kata Harry. "Permen lunak bila hanya dikulum saja, tanpa dikunyah sedikit pun, bisa lama sekali. Begitupun permen bening. Asalkan tidak dikunyah, akan sulit menentukan mana yang lebih tahan lama." "Kalau begitu mari kita buktikan, kita buat pertandingan," kata John. "Asal jangan aku saja yang harus bertanding," kata Jenny. "Aku selalu mengunyah apa saja dan langsung kutelan." "Aku yakin yang paling murah adalah permen cokelat," kata Rosemary tiba-tiba, dengan suaranya yang lembut. Semua tertawa mengejek. "Tolol," kata Julian. "Enam pence hanya dapat lima, masa itu murah? Permen cokelat paling mahal!" "Tak mungkin," kata Rosemary. "Arabella, coba tunjukkan pada mereka permen cokelat yang kaubeli tadi. Satu kantong besar!" Tentu saja Arabella tak mau memenuhi permintaan Rosemary itu. Dengan pandang marah ia melotot pada Rosemary. Omong kosong!" katanya. "Aku cuma dapat beberapa butir. Memang mahal." Rosemary tercengang. Bukankah tadi ia mengambil sendiri dari sebuah kantong besar yang penuh permen? Ia membuka mulut akan mengatakan sesuatu, tetapi tak jadi melihat pandang marah Arabella. Yang lain memperhatikan ini semua. Mereka menarik kesimpulan bahwa Arabella membelanjakan sejumlah besar uang untuk permen cokelat itu. Dan Jenny teringat akan buku baru Arabella. Ia memandang tajam pada anak itu. Tetapi kini Arabella telah bersikap tenang. Bahkan angkuh. "Kau cuma pura-pura saja sopan santun," pikir Jenny, "tetapi hatimu pendusta! Aku yakin permen cokelat itu kau-sembunyikan di suatu tempat, agar anak lain tak tahu bahwa kau telah membelanjakan uang lebih dari uang sakumu. Dan aku pasti dapat menemukan permen tersebut!" Tak lama setelah itu, Arabella bangkit dan keluar. Dan segera pula ia masuk kembali dengan membawa sekantong kertas berisi enam atau tujuh butir permen cokelat. "Inilah yang kubeli tadi," katanya. "Sayang sekali takkan cukup untuk semua orang. Tetapi kita bisa membaginya separo-separo." Tetapi tak ada yang mau menerima tawaran Arabella itu, kecuali Rosemary. Ada semacam peraturan tak tertulis di Whyteleafe yang mengatakan bahwa bila kau tak menyukai seseorang, maka kau tak pantas menerima apa pun dari dia. Rosemary yang mengambil satu merasa heran. Apakah ia salah lihat? Tadi kantong permen itu begitu besar.... Jenny menyeringai diam-diam. Agaknya Arabella mengira semua anak yang di situ tolol semua, percaya saja bahwa ia hanya membeli sedikit permen karena yang ditunjukkan hanyalah sedikit. Tetapi si tolol Rosemary itu tak bisa berdusta, dan pasti perkataannya tadi benar. Di mana Arabella menyembunyikan permennya? Jenny yakin ia tahu. Arabella ikut pelajaran musik dan ia mempunyai tas musik yang besar sekali. Sore tadi Jenny melihat Arabella masuk ke ruang musik, padahal waktu itu bukan waktu pelajaran musik. Dan Arabella juga tidak berlatih. Mengapa? "Pasti ia ke ruang musik untuk menyimpan permennya," pikir Jenny, Ia menyelinap keluar, ke ruang musik Diambilnya tas Arabella, diintipnya isinya. Benar juga. Banyak sekali permen di dalamnya. Agaknya Arabella tergesa-gesa menuangkan permen cokelatnya Tepat saat itu Richard masuk. "Lihat, Richard," kata Jenny dengan nada gusar, "Arabella ternyata tidak menyerahkan semua uangnya. Dia membeli begini banyak permen. Dan sebuah buku mahal. Berdusta lagi." "Laporkan saja ke Rapat Besar," kata Richard tak acuh, mengambil tasnya dan keluar. Jenny tertegun sejenak "Apakah laporan tentang ini nanti bisa dianggap fitnah?" pikirnya. Ia harus bertanya dulu pada yang lain. Mestinya ia harus bertanya pada Elizabeth, karena ia Pengawas-nya. Tetapi Arabella pernah tinggal di rumah Elizabeth, pastilah Pengawas baru itu tak bebas bertindak terhadap Arabella. Tidak. Lebih baik Elizabeth jangan diberitahu lebih dahulu. Jenny mengatakan penemuannya kepada yang lain, pada saat Elizabeth, Arabella, dan Rosemary tidak ada. Mereka semua merasa gusar. "Aku yakin ini termasuk pengaduan yang sah," kata Harry. "Tetapi memang kurang menyenangkan bila seorang anak baru langsung mendapat tuduhan berat di awal semester. Lebih baik kita tunjukkan pada Arabella bahwa tindakannya itu salah, bahwa kelakuannya sungguh sangat busuk. Ia bisa mengira-ngira apa sebabnya. Dan aku yakin ia akan sadar, sehingga di Rapat Besar mendatang ia menyerahkan uangnya." Demikianlah. Arabella mulai mengalami kesulitan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan betapa buruknya berada di antara anak-anak yang tidak menyukainya serta tidak merasa ragu-ragu untuk menunjukkan kebencian itu! 6. Arabella Melapor Sejak semula Arabella memandang rendah pada semua murid Whyteleafe. Ia pernah berkata pada Rosemary bahwa ia tak peduli apakah mereka menyukainya atau tidak Tetapi sulit juga untuk tidak peduli bila ternyata semua anak mencibir padanya! Bagi Arabella, ia merasa punya kedudukan lebih tinggi dari semua anak, karena ia memandang rendah mereka. Tetapi perasaan itu jadi berubah kalau dialah yang dipandang rendah oleh semua anak Dan anak-anak itu sesungguhnya tidak sepenuh hati mengucilkan Arabella. Tetapi tingkah Arabella sebelumnya sudah sangat keterlaluan, sehingga kini mereka menganggap perlakuan itu semacam tindakan balas dendam. "Mereka memperlakukanku seolah-olah aku berbau busuk!" keluh Arabella pada Rosemary yang setia. "Bahkan si Goblok Julian itu betul-betul menekap hidungnya bila aku lewat!" Ini memang betul. Setiap kali dekat dengan Arabella, Julian selalu menekap hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjuk. Ini membuat Arabella sangat gusar. Ia sudah terbiasa dikagumi dan dihormati oleh anak-anak lain, begitu sering dipuji-puji oleh orang dewasa. Ia tak mengerti mengapa kini seperti itu tanggapan anak-anak. Ini membuatnya sangat marah. Arabella sama sekali tidak bisa menduga mengapa anak-anak itu bersikap begitu. Tak terlintas pada pikirannya bahwa itu karena ketidakjujurannya. Ia merasa dirinya sudah serapi mungkin menyembunyikan rahasianya. Ia tak tahu bahwa Jenny telah memeriksa tas musiknya serta melihat permen cokelatnya. Jenny menambah lagi cara menggoda Arabella dengan jalan menirukan cara tutur sapa gadis itu. Tepat seperti Arabella, dengan lagu yang dibuat-buat, ia berceritera tentang kekayaannya, tentang masa-masa liburannya. Jenny sangat pandai menirukan suara dan gerak-gerik seseorang, cara berkata maupun cara tertawa. Anak-anak lain tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya sewaktu ia menirukan cara Arabella berbicara-bahkan pada waktu Arabella hadir di tempat itu. "Dan, teman-temanku sayang," kata Jenny, "liburan kemarin paling menarik! Bayangkan saja, kami terpaksa membawa tiga buah mobil-mobil yang terakhir khusus hanya membawa pakaian-pakaian pestaku. Oh, dan harus kuceritakan pada kalian tentang waktu aku tinggal di rumah nenekku. Beliau mengizinkan aku mengikuti jam makan malam resmi, untuk orang dewasa! Ya ampun! "Dan tiap malam beliau mengadakan makan malam yang mirip pesta besar. Bayangkan saja, kalau makan malam paling sedikit ada lima belas hidangan yang berbeda-beda, dan empat jenis... empat jenis rasa limun...." Semua tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Jenny dan kata-katanya. Hanya Arabella saja yang tidak tertawa. Ia sama sekali tak tahu di mana letak lucunya. Sungguh anak-anak ini anak udik semua! Di sekolahnya yang dulu setiap anak dengan senang hati dan penuh kagum, selalu mendengarkan cerita tentang pesta dan liburannya. Kenapa di sekolah sialan ini anak-anak malah mengejeknya? Ada lagi yang membuat kesal Arabella. Bila kebetulan ia sedang ikut duduk di ruang bermain, entah menjahit atau membaca atau menulis, tiba-tiba saja Jenny atau seseorang lainnya berkata minta perhatian, misalnya, "Lihat! Ada pesawat terbang!" atau, "Hei, binatang apa ini?" atau apa saja, menunjukkan sesuatu di luar jendela, di atap, di langit-langit-pokoknya di suatu tempat yang agak jauh. Anak-anak lain segera berpaling atau berkerumun ke arah yang dikatakan tadi. Arabella juga, sebab ia tak ingin ketinggalan dalam menyaksikan sesuatu. Celakanya, bila kemudian ia berpaling pada pekerjaannya kembali... selalu ada saja alat-alat yang sedang dipakainya lenyap. Entah gunting, pena, atau kertas... apa saja. Ia jadi kebingungan mencari benda-benda tadi, heran bagaimana ia bisa lupa. Sampai kemudian seseorang mulai tertawa diikuti oleh yang lain. Barulah ia tahu bahwa ia telah dipermainkan. Barang-barangnya itu disembunyikan seseorang pada waktu ia sibuk ikut melihat apa yang kebetulan ditunjukkan. Akhirnya tak tahan juga Arabella, dan berkata pada Rosemary tentang itu semua. Rosemary mendengarkan penuh perhatian, kemudian berkata, "Kasihan betul, kau, Arabella. Aku tak tahu mengapa mereka berbuat seperti itu." "Tanyakan saja pada mereka," tanya Arabella. "Tetapi ingat, jangan sampai mereka tahu bahwa aku yang menyuruhmu bertanya." Suatu kali ketika Arabella tidak berada di ruang bermain, Rosemary mengumpulkan keberanian dan bertanya pada Jenny. "Mengapa sih kalian begitu jahat pada Arabella?" "Karena ia pantas diperlakukan begitu," jawab Jenny. "Pantas bagaimana?" "Apakah kau tak merasa betapa palsunya pribadinya?" tanya Jenny kembali. "Aku tahu kau selalu mengikutinya bagaikan anjing peliharaannya, tetapi mestinya kau tahu juga bukan, bahwa sungguh tidak jujur untuk menyimpan uang sendiri, dan tak menyerahkannya ke kotak sekolah? Membelanjakan uang tersebut dan kemudian berdusta tentangnya?" Mata Jenny yang tajam menatap Rosemary yang pemalu. Rosemary terpaksa menundukkan muka tak berani membalas pandangan tersebut. Ia terlalu lemah untuk membela sahabatnya, atau paling sedikit mengatakan ia tak tahu apa-apa tentang perbuatan Arabella itu. Atau, ia masih tidak bisa memutuskan apakah perbuatan Arabella itu melanggar peraturan atau tidak. "Ya, memang ia salah," akhirnya terpaksa Rosemary berkata, tak tahan dipandang terus oleh Jenny. "Apakah karena itu kalian memperlakukannya sedemikian buruk?" "Seharusnya ia tahu hal itu," kata Jenny tidak sabar. "Kukira ia tidak begitu bodoh sehingga tak mengerti mengapa kami mengucilkannya." Rosemary tak berani mengatakan pada Jenny bahwa Arabella benar-benar tak tahu mengapa dirinya dimusuhi. Tetapi ia juga tak berani mengatakan pada Arabella alasan sebenarnya anak-anak itu memusuhinya. Rosemary memang bagaikan daun melayang-layang ditiup angin sebentar ke sana, sebentar kemari. "Mestikah aku berterus terang pada Arabella?" tanyanya dalam hati. "Lebih baik, ya. Ah. Tidak. Ia akan marah padaku. Lebih baik tak kukatakan padanya. Tetapi bagaimana nanti? Mestinya kukatakan padanya. Tapi...." Akhirnya Rosemary tak mengatakan hal sebenarnya pada Arabella. Ia hanya menggelengkan kepala waktu Arabella bertanya tentang hasil penyelidikannya. "Mereka... mereka menggodamu hanya karena menganggap godaan mereka itu suatu lelucon," katanya. "Kukira itu semua karena pada dasarnya mereka memang anak nakal." "Oh!" merah padam wajah Arabella. "Kalau begitu aku akan melaporkan mereka pada Rapat Besar. Aku tak bisa berdiam diri begitu saja." "Oh, Arabella, jangan lakukan itu," Rosemary ketakutan. "Kau akan dianggap mengadu biasa saja, dan kau akan mendapat kesulitan yang lebih besar lagi. Bicarakan lebih dulu pada Pengawas kita, apakah hal itu patut kauajukan ke Rapat Besar." "Jelas aku takkan sudi membawa persoalan ini pada Elizabeth!" geram Arabella. "Minta nasihat dari dia? Nggak usah, ya!" Begitulah. Tanpa memikirkan apa yang bisa terjadi pada dirinya, hati Arabella menggelegak menanti datangnya saat Rapat Besar. Ia merasa begitu yakin bisa membalas perlakuan tak baik dari anak-anak itu. Akhirnya Rapat Besar tiba. Dengan bibir terkatup keras Arabella memandang geram pada anak-anak lain. "Tunggu saja nanti," matanya yang membara bagaikan berkata. "Tunggu saja nanti, dan kalian akan tahu rasa!" Kotak uang sekolah diedarkan. Tak banyak yang memasukkan uang. Arabella tak memasukkan sama sekali. Uang saku dibagikan. Kemudian acara biasa dimulai. "Ada permintaan tambahan?" "Bolehkah aku mendapat tambahan lima penny, William?" tanya Belinda, berdiri. "Aku menerima surat dari bibiku minggu ini. Agaknya ia lupa menempelkan prangko. Karenanya aku disuruh membayar denda biaya prangko, dua kali lipat. Dan aku harus membayar lima penny." "Lima penny untuk Belinda," kata William. "Bukan salahnya dia harus membayar denda." Lima penny diberikan pada Belinda yang kemudian duduk dengan perasaan puas. "Bolehkah aku memperoleh tambahan enam penny untuk membeli bola?" tanya seorang anak kecil yang berdiri dengan malu. "Bolaku terguling ke jalan kereta api dan kami tak boleh memasuki tempat itu." "Pergilah ke Eileen," kata William. "Ia akan menjual bola-bola bekas milik sekolah dengan harga dua penny untuk satu bola. Bayarlah dengan uangmu sendiri." Tak ada permintaan lagi. Anak-anak mulai berbisik-bisik William mengetuk meja. Semua hening. "Ada keluhan, pengaduan, atau laporan?" Arabella dan seorang anak perempuan lain berdiri hampir bersamaan. "Duduklah Arabella, Pamela lebih dulu. Apa yang ingin kauutarakan, Pamela?" tanya Rita. "Sesungguhnya ini keluhan tolol," kata Pamela. "Tetapi terpaksa kuajukan juga. Soalnya cukup mengganggu. Begini. Bilik tidurku terletak dekat jendela besar di kamar tidur kami. Pengawasku berkata jendela itu harus dibuka bila kami tidak berada di kamar. Dan tentu saja aku patuhi peraturan itu. Tetapi bila angin bertiup kencang, maka semua benda yang ada di meja riasku tertiup ke luar. Selalu saja aku. terpaksa mendapat teguran karena barang-barangku berada di luar kamar." Semua tertawa. Rita dan William tersenyum. Joan yang sekelas dengan Pamela dan menjadi Pengawas di kelas itu, berbisik pada Rita, "Pamela benar. Dari dulu jendela tersebut memang menjadi pengganggu bagi anak yang tinggal di bilik itu. Tetapi kukira kita bisa memindahkah tempat meja riasnya. Kalau Ibu Asrama setuju, tentu." "Baiklah. Akan kita tanyakan pada Ibu Asrama apakah meja rias itu boleh dipindah menjauhi jendela," kata Rita. Pamela duduk. "Kini giliranmu, Arabella," kata William yang melihat betapa di wajah Arabella tergambar rasa marah saat menunggu giliran. Arabella bangkit berdiri, tak melupakan gerakan lemah gemulai sopan santunnya walaupun ia sedang marah besar. "Begini, William," ucapnya dengan suara lemah lembut, namun kini sedikit gemetar oleh kegugupan dan kemarahan. "Aku ingin mengajukan suatu pengaduan berat." Hening seketika ruangan itu. Ini mungkin sesuatu yang sangat menarik. Pengaduan berat patut didengarkan dengan teliti. Teman-teman sekelas Arabella saling pandang. Apakah Arabella akan mengadukan mereka? Sungguh tolol! Sebab dengan begitu segala keburukannya akan tersiar! "Apakah yang ingin kauadukan, Arabella?" tanya William. "Begini," kata Arabella, "sejak kedatanganku di sekolah ini, semua murid di kelasku-semua, kecuali Rosemary-berlaku sangat buruk padaku. Bahkan aku tak tega menerangkan bagaimana perlakuan mereka kepadaku." "Tetapi harus kaukatakan di sini," kata William. "Sebab kalau tidak, kami tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tak bisa percaya bahwa seluruh kelasmu memperlakukan kau dengan buruk." "Tetapi memang begitu!" Arabella hampir menangis. "Julian yang paling buruk. Tiap kali lewat di dekatku ia menutup hidungnya!" Beberapa orang tertawa. Julian bahkan tertawa terbahak-bahak. Arabella melotot padanya. Elizabeth yang duduk di meja Pengawas terkejut. Ia satu-satunya anak di kelasnya yang tak tahu apa yang terjadi dengan Arabella. Ia berpendapat sungguh tolol anak itu untuk membawa persoalan seperti itu ke Rapat Besar. Ia tak tahu bahwa di balik perlakuan buruk terhadap Arabella ada sebuah alasan besar. Ia, Pengawas kelasnya, tak tahu! Arabella melanjutkan pengaduannya, "kemudian Jenny. Ia selalu menirukan gerak-gerikku. Aku di sini anak baru. Jadi sungguh kejam untuk menggodaku seperti itu. Aku akan terpaksa menulis surat pada ibuku tentang ini semua. Aku akan..." "Sudah!" tukas Rita tegas, melihat bahwa Arabella sudah mulai merengek-rengek. "Diamlah dulu, duduklah. Akan kita selidiki perkara ini dengan teliti. Kau nanti akan memperoleh kesempatan untuk berbicara lagi. Tetapi sebelum itu, bolehkah kutanya, apakah kau sudah membicarakan hal ini dengan Pengawas-mu?" "Tidak," kata Arabella cemberut, "sebab dia juga membenciku." Elizabeth merah mukanya. Memang benar. Ia telah menunjukkan dengan tingkah lakunya bahwa ia membenci Arabella. Dan karena itu Arabella tidak mau meminta nasihat padanya! Oh. Sungguh ini suatu kesalahan besar di pihaknya, sebagai seorang Pengawas. "Oh," Rita melirik pada Elizabeth. "Baiklah. Sekarang kita akan mendengarkan Jenny lebih dahulu. Jenny, bisakah kauterangkan mengapa kau bertindak buruk terhadap Arabella? Apakah ada alasan bagimu untuk berbuat serupa itu?" Jenny berdiri. Yah. Arabella sendiri yang memulai ini. Dan ia sendiri yang akan menanggung akibatnya. Ia-Jenny-akan menceritakan segalanya! 7. Rapat Besar Memutuskan "Begini," kata Jenny, "sebetulnya ini semua gara-gara Arabella sendiri. Ia tidak mematuhi peraturan sekolah kita. Kami tahu itu. Maka kami tidak menyukainya. Dan kami menggodanya." "Fitnah! Aku mematuhi semua peraturan!" tukas Arabella. "Arabella, diamlah," kata William. "Siapakah Pengawas Arabella? Oh, kau, Elizabeth Allen. Coba katakan, menurut pendapatmu, apakah Arabella mematuhi peraturan kita?" "Elizabeth tak tahu apa yang kami ketahui," Jenny menyela. "Kami tahu kepalsuan Arabella, Elizabeth tak tahu." Elizabeth gelisah. Bagaimana ia bisa tak mengetahui apa yang terjadi di kelasnya? Ia berkata pada William. "Menyesal sekali, aku memang tak tahu apa yang dikatakan Jenny," katanya. "Semestinya aku tahu, sebab aku seorang Pengawas dan wajib mengetahui apa yang terjadi di kelasku. Tetapi aku tak tahu tentang hal ini." "Terima kasih," kata William, berpaling lagi kepada Jenny. "Apa yang ingin kauadukan tentang Arabella, Jenny?" Arabella tampak bagaikan akan meledak karena marah. Kini ia sangat ketakutan pula. Apa yang akan dikatakan Jenny? Yang membuat pengaduan ini adalah dia, Arabella, tetapi kini agaknya keadaan berbalik: ia jadi yang diadukan! Dan terbukalah rahasia Arabella. "Arabella tidak memasukkan semua uangnya di "kotak uang," kata Jenny. "Kami tahu itu karena kami lihat Arabella membeli buku seharga tiga setengah shilling, dan banyak sekali permen cokelat yang mahal-mahal. Permen tersebut disembunyikannya di dalam tas musik Ia mengira kami tidak tahu. Ia berdusta pula tentang permen itu. Jadi, William, karenanya kami tidak menyukainya. Dan kami menunjukkan perasaan kami padanya. Kami kira dengan begitu ia akan merasa bahwa kami tahu rahasianya, dan ia akan menjadi jujur serta menyerahkan semua uangnya pada Rapat Besar berikutnya." "O, begitu?" kata William. "Duduklah, Jenny." Semua kini menoleh pada Arabella. Arabella tak tahu harus berkata apa. Ia menyesal telah mengajukan pengaduan. Kini dialah yang jadi terdakwa! "Arabella, bagaimana ini? Apakah betul apa yang dikatakan Jenny?" tanya Rita. Arabella diam saja. Tak bergerak sedikit pun. Setitik air mata muncul. Mengalir di pipinya. Ia merasa kasihan pada dirinya sendiri. Mengapa ibunya mengirimkannya ke sekolah yang keji ini? EH mana setiap minggu diadakan Rapat dan setiap kesalahan bisa diungkapkan di depan umum? "Arabella, berdirilah," kata Rita. "Dan jawablah." Kaki Arabella gemetar. Tetapi ia berhasil memaksakan diri untuk berdiri. "Ya," katanya hampir tak kedengaran, "beberapa di antaranya benar. Tidak semua. Soalnya... aku tidak begitu mengerti mengapa aku harus menyerahkan semua uangku. Maka kuserahkan saja sebagian besar dari uangku. Aku ingin bertanya tentang hal ini pada Pengawas-ku, Elizabeth. Juga tentang banyak hal lain. Tetapi agaknya ia juga membenciku... dan... dan...." Elizabeth marah. Arabella agaknya ingin menimpakan kesalahan padanya. Ia memandang marah pada Arabella dan semakin tidak menyukai anak itu. "Itu omong kosong," kata Rita tegas. "Elizabeth akan selalu menerangkan apa saja yang kauingini, tak peduli apakah ia senang atau tidak padamu. Kini dengarlah, Arabella, kau telah berlaku salah dan sesungguhnya kau sendirilah yang menyebabkan perlakuan buruk atas dirimu itu. Kau harus berusaha segafanya jadi beres kembali." Ketua Murid Perempuan itu berpaling pada William. Keduanya berunding beberapa saat dengan berbisik-bisik. William mengangguk. Rita berbicara lagi. "Memang kadang-kadang sangat sulit bagi anak-anak baru untuk mengerti serta memahami peraturan kita," kata Rita dengan suara jernih. "Tetapi setelah mereka berada di sini agak lama, biasanya cepat sekali mereka menyesuaikan diri. Toh semua peraturan itu adalah buatan kita sendiri, untuk kita sendiri. Tak mungkin bukan kita membuat peraturan yang tidak baik? Lagi pula tak begitu banyak peraturan kita. Tak sulit untuk mengikutinya." "Aku mengerti sekarang," kata Arabella yang masih juga berdiri, "aku menyesal telah melanggar peraturan, Rita. Kalau saja anak-anak yang lain langsung menegurku, sudah pasti aku akan segera memperbaiki kesalahanku. Tetapi mereka tidak menegurku. Mereka hanya berlaku buruk padaku. Mana aku bisa mengerti apa kesalahanku?" "Sehabis Rapat Besar ini kau harus menemui Pengawas-mu, menyerahkan semua uang yang ada padamu padanya. Minggu ini kau hanya diperbolehkan menerima enam penny untuk membeli prangko. Toh kamu sudah punya uang banyak sekali minggu lalu." Arabella duduk. Pipinya merah padam lagi. Memberikan semua uangnya pada Elizabeth! Oh, betapa malunya! Rita belum selesai. Dengan tajam ia berbicara kepada seluruh kelas satu kini, kelas Elizabeth. "Tak ada perlunya bagi kalian untuk menangani sendiri semua persoalan, apalagi menjatuhkan hukuman," katanya. "Toh kalian punya Pengawas untuk memberi nasihat, dan kita punya Rapat Besar untuk memutuskan segalanya. Kalian dari kelas satu belum cukup bijaksana untuk menangani perkara seperti ini. Mestinya kalian pergi ke Elizabeth." Anak-anak kelas satu jadi gelisah malu-malu. "Sesungguhnya ini berpangkal pada suatu perkara kecil," kata William. "Arabella anak baru dan tak mengerti betapa pentingnya peraturan-peraturan kita. Kini dia telah mengerti dan akan mematuhinya." Masih ada beberapa persoalan lagi, kemudian Rapat Besar dibubarkan. Elizabeth segera menemui Jenny. "Mengapa kau tak menceritakan padaku tentang Arabella?" tanyanya. "Aku merasa bagaikan orang tolol saja duduk di depan, di meja Pengawas, tak tahu apa pun tentang yang terjadi di kelasku!" "Ya, mestinya kami mengatakannya padamu," kata Jenny. "Maaf, tapi kami tahu Arabella tinggal bersamamu waktu liburan, jadi kami kira dia sahabat baikmu. Kami takut kalau kau akan tersinggung bila kami katakan dia berbuat curang." "Dia bukan sahabatku," kata Elizabeth dengan gusar. "Aku tak tahan melihat tingkah lakunya. Ia merusakkan liburanku yang dulu itu," "Ssst, tutup mulut," bisik Kathleen. Arabella muncul, dan pasti bisa mendengar apa yang dikatakan Elizabeth tadi. "Arabella, lebih baik kauambil uangmu sekarang dan berikan padaku," kata Elizabeth cepat-cepat, sambil berharap mudah-mudahan Arabella tak mendengar apa katanya tadi, "sementara kotak uang masih berada di luar." Arabella sedikit pucat. Ia tak berkata sepatah pun, bergegas ke kamarnya. Diambilnya semua uangnya yang disembunyikannya di berbagai tempat. Kemudian ia turun. Elizabeth mengulurkan tangan dengan kikuk. Arabella mengempaskan semua uangnya ke tangan Elizabeth. Sakit terasa dan beberapa keping uang logam jatuh. "Nih, anak jahat!" kata Arabella ketus dan marah, sementara matanya berkaca-kaca. "Aku yakin kau gembira melihat aku dipermalukan di Rapat Besar. Tapi kau sendiri mestinya malu-kau satu-satunya anak yang tak tahu apa-apa! Sayang sekali aku merusak liburan-mu, tapi harus kauketahui bahwa aku sama sekali tak suka berlibur di rumahmu. Aku benci rumahmu dan apa saja yang ada di dalamnya, terutama kamu!" Elizabeth tertegun. Dan amat marah. Dibelalakkannya matanya pada Arabella dan ia berkata tajam, "Ambil uang yang jatuh itu. Dan jangan berkata dengan sikap begitu bila berhadapan dengan seorang Pengawas. Walaupun kita saling membenci, paling tidak kau bisa bersikap wajar!" "Heran sekali anak sekurang ajar kau bisa jadi Pengawas!" dengus Arabella. "Berandal jahat, aku benci padamu!" Arabella bergegas keluar, mengempaskan pintu keras-keras. Elizabeth terpaksa memunguti uang yang jatuh dan memasukkannya ke dalam kotak uang. Ia sangat heran akan kegalakan Arabella. Dan ia pun merasa khawatir. "Ya ampun, sulit benar jadi Pengawas di kelas satu, bila perkara seperti ini sering terjadi," pikirnya. Sewaktu berlari ke lorong ruangan, Arabella bertemu dengan Rita. Ketua murid itu melihat wajah Arabella yang penuh air mata dan menghentikannya, mencoba menghiburnya dengan lembut, "Arabella, kita semua bisa saja berbuat salah. Apalagi pada awal suatu keadaan. Jangan terlalu dalam memikirkannya, dan biasakan pergi ke Pengawas-mu bila memperoleh kesulitan. Elizabeth seorang yang sangat bijaksana, walaupun masih kecil. Ia bisa bersikap tepat dan adil. Aku yakin dia akan bisa membantumu." Pada mulanya Arabella sangat gembira Rita menghiburnya. Tetapi pujian terhadap Elizabeth kembali membuat harinya sakit. Ia tak sudi pergi ke Elizabeth untuk meminta nasihat. Rita melanjutkan perjalanannya. Ia sangat khawatir memikirkan Arabella Gadis itu tampaknya tidak begitu menyesali kesalahannya. Kalau seseorang tahu dirinya bersalah dan menyesal karenanya, maka ia akan bisa memperbaiki kesalahannya itu. Tetapi kalau ia tidak menyesal, hanya merasa marah karena kesalahannya ketahuan, maka keadaannya akan semakin buruk. Elizabeth menemui Julian. "Hei, mestinya kau memberiku peringatan tentang Arabella," katanya. "Mengapa hal itu tak kaulakukan?" "Untuk apa? Aku tak peduli apakah ia memasukkan uangnya ke dalam kotak uang atau tidak," kata Julian. "Dan aku juga tidak peduli apakah ia digoda anak banyak atau tidak. Aku hanya melakukan apa saja yang kebetulan aku sukai, tak mau ikut campur urusan orang lain. Biarkanlah orang lain berbuat semau mereka." "Tetapi, Julian, kau harus tahu bahwa kita tak bisa melakukan apa saja yang kita senangi sendiri, sebab kita hidup bersama banyak sekali anak lain... dan lagi...." "Sudahlah, jangan sok aksi dengan nasihatmu!" kata Julian segera. "Ada satu hal yang tak kusenangi pada dirimu, Elizabeth, yaitu bahwa kau seorang Pengawas. Agaknya dengan begitu kau merasa berhak untuk memberiku kuliah atau petuah atau nasihat. Kau merasa berhak untuk mengubah aku menjadi anak baik-anak baik yang berarti aku harus memenuhi apa saja yang kauinginkan." Kecewa Elizabeth memperhatikan Julian. "Julian! Keterlaluan kau! Aku merasa bangga menjadi seorang Pengawas. Keterlaluan kau kalau kau berkata bahwa kau membenciku karena jabatan Pengawas itu. Padahal jabatan itulah yang paling kubanggakan." "Aku lebih senang kalau mengenalmu saat kau masih menjadi si Badung Bandel Bengal. Aku yakin aku akan lebih menyukaimu bila kau masih senakal dulu." "Tak mungkin," tukas Elizabeth. "Waktu itu aku begitu tolol. Lagi pula, toh dulu atau sekarang aku sama saja. Hanya sekarang aku lebih bijaksana, karena aku jadi Pengawas." "Mulai lagi," Julian mengeluh panjang. "Kau tak pernah bisa melupakan bahwa kau salah satu di antara anak-anak yang begitu agung, perkasa, bijaksana-seorang Pengawas!" Dengan gusar Julian pergi. Elizabeth lama terpaku di tempatnya, marah. Sungguh tolol seseorang yang sangat membenci apa yang dibanggakan sahabatnya. Julian kadang-kadang memang keterlaluan menjengkelkannya. 8. Elizabeth Memasang Jebakan Kehidupan sekolah berlangsung menyenangkan pada semester Paskah itu. Berbagai pertandingan dilakukan. Ada yang dimenangkan oleh Whyteleafe, ada yang kalah. Mereka yang suka berkuda tiap pagi menjelajahi bukit sebelum sarapan. Robert selalu berkuda berdua dengan Elizabeth, bercakap-cakap terus sepanjang perjalanan. "Kau senang jadi Pengawas, Elizabeth?" tanya Robert suatu pagi, tak lama setelah Rapat Besar kedua. "Mhhh," Elizabeth tak segera menjawab. "Lucu juga, Robert, dahulu aku sangat bangga karena terpilih menjadi Pengawas. Sekarang pun aku masih bangga. Tetapi rasanya menjadi Pengawas membuatku tak bebas bergaul dengan yang lain. Dan ini aku tak suka. Seperti Julian itu, ia selalu mengatakan aku sok aksi saja jadi Pengawas." "Aku tahu kau bukannya pasang aksi saja," kata Robert menyeringai. "Tetapi begini, Elizabeth. Aku memang belum pernah jadi Pengawas atau pemimpin apa pun. Tetapi sering kudengar dari pamanku bahwa bila kita mempunyai kedudukan yang menonjol, yang memisahkan kita dari yang lain, memang kita akan merasa gelisah-sampai nanti kau terbiasa oleh kedudukan barumu itu." "Aku tak senang merasa dikucilkan dalam perkara Arabella itu," kata Elizabeth. "Aku merasa dikucilkan! Kalau saja aku bukan Pengawas, maka aku akan berada di tengah kalian dan paling tidak bisa mencium adanya ketidakberesan itu. Mestinya seseorang memberi-tahu aku tentang itu." "Lain kali kau pasti kami beritahu," kata Robert. Elizabeth bekerja keras di kebun sekolah, membantu John Terry. Bunga-bunga krokus yang mereka tanam dahulu, kini telah berkembang. Ratusan muncul di awal musim semi. Indah sekali. Mula-mula yang kuning muncul. Terbuka menyambut sinar matahari. Kemudian disusul oleh yang ungu dan putih. Gerobak dorong Julian sangat membantu. Memang bentuknya aneh, tetapi kuat dan bagus buatannya. Anak-anak kecil yang membantu John Terry sangat suka memakainya. "Terima kasih, Julian," kata John. "Hasil karyamu menghemat pengeluaran kita. Aku akan minta bantuanmu lagi bila ada sesuatu yang kami perlukan." Semester itu banyak sekali pekerjaan di kebun. Memang begitu di musim semi. Luas sekali tanah yang harus digali. Banyak sekali yang harus ditanam. Di bawah pengawasan John, anak-anak mulai menanamkan benih-benih kacang lebar. "Ya ampun, apakah kita memang harus menanam begitu banyak, John? Ribuan jumlahnya!" keluh si kecil Peter, meluruskan punggungnya. "Semua murid sangat menyukai kacang lebar," kata John. "Cukup menyenangkan, bukan, menanam sesuatu yang disukai orang banyak?" Murid-murid Whyteleafe diperbolehkan memelihara binatang, kecuali kucing dan anjing yang tak bisa dipelihara di dalam sangkar. Setiap anak yang memelihara binatang harus memelihara baik-baik. Kalau tidak, maka binatang peliharaan itu diambil dari mereka. Tapi ini jarang terjadi. Anak-anak itu sayang sekali pada peliharaan mereka dan bangga mempunyai tanggung jawab. Minggu-minggu pertama berlalu, dan Arabella tidak membuat persoalan lagi dengan Elizabeth. Tetapi ia juga tidak berbicara bila tidak sangat diperlukan. Ia selalu berdua dengan Rosemary, atau kadang-kadang dengan Martin Follett. Julian bersahabat dengan semua anak-atau lebih tepat: semua anak ingin bersahabat dengannya. Ia tak peduli apakah disenangi anak lain atau tidak. Anak-anak itulah yang menganggapnya sangat menyenangkan dan sangat cerdas. Sahabatnya yang sebenarnya adalah Elizabeth. Keduanya bisa tertawa dan bercanda sesering mungkin. Julian tak pernah lagi menggoda Elizabeth tentang kedudukannya sebagai Pengawas. Dan Elizabeth mulai terbiasa dengan kedudukannya yang memang harus berada di luar lingkungan anak-anak yang lain sebagai Pengawas. Tetapi memang makin lama ia makin sering lupa bahwa ia mempunyai kedudukan unik itu. Ia baru teringat akan hal tersebut saat Rosemary suatu hari mendatanginya dan berkata, "Elizabeth, bolehkah aku berbicara denganmu berdua?" "Oh, tentu saja," kata Elizabeth, segera teringat bahwa ia Pengawas dan harus menolong serta bertindak bijaksana. "Aku... aku sering kehilangan uang," kata Rosemary takut-takut. "Kehilangan uang?" tanya Elizabeth. "Kehilangan bagaimana?" "Mula-mula kukira hilang karena aku lalai," kata Rosemary. "Kukira sakuku berlubang atau yang semacam itu. Tetapi setelah kuperiksa, tak ada sakuku yang berlubang. Minggu lalu aku kehilangan dua penny. Kemarin enam penny. Dan kau tahu, itu cukup banyak bila diingat uang sakuku hanya dua shilling. Hari ini satu penny hilang dari mejaku. Elizabeth sangat heran. Dipandangnya Rosemary, seakan tak percaya akan telinganya. "Tetapi, Rosemary," katanya akhirnya, "kau tidak menuduh bahwa seseorang mengambil uangmu, bukan?" "Terpaksa aku berpikir begitu, Elizabeth," kata Rosemary. "Walaupun sesungguhnya rasanya itu tak mungkin. Sekarang aku tak punya uang lagi, tinggal tiga penny. Itu harus kupakai sampai Rapat Besar mendatang. Padahal aku masih harus membeli prangko." "Sungguh buruk ini," kata Elizabeth. "Ini suatu pencurian, Rosemary. Apakah kau merasa sangat yakin akan apa yang kaukatakan?" "Ya," kata Rosemary. "Apakah aku boleh membawa persoalan ini ke Rapat Besar mendatang?" "Tidak," jawab Elizabeth, merasa ini suatu kesempatan untuk membuktikan kebijaksanaannya. "Mungkin perkara ini bisa kuselesaikan sendiri. Nanti kalau sudah kita selesaikan, baru kita bawa ke Rapat Besar dan kita katakan bahwa perkaranya sudah selesai." "Baiklah," kata Rosemary yang merasa takkan sanggup berdiri dan berbicara di depan anak banyak. "Bagaimana caramu menyelesaikan perkara ini?" "Kita akan memasang jebakan," kata Elizabeth. "Akan kupikirkan nanti. Jangan katakan hal ini pada siapa pun." "Aku... aku telah berkata pada Martin Follett," kata Rosemary. "Terpaksa, sebab pada waktu aku sedang sibuk mencari uangku yang enam penny kemarin, ia datang dan bertanya. Ia baik hati. Ia ikut membantuku mencari. Lama sekali. Kemudian ia memberiku uang dua penny, sekadar untuk bisa kupakai dulu. Terpaksa aku ceritakan padanya apa yang terjadi dengan uangku. Tetapi belum pernah kuceritakan pada anak lainnya." "Jangan ceritakan," kata Elizabeth. "Kita harus memasang jebakan pada waktu tak seorang pun menduganya. Sungguh baik hati Martin memberimu dua penny." "Ya, ia memang pemurah," kata Rosemary "Ia juga telah membelikan satu pak benih kacang kerdil untuk John Terry. Katanya ia tak bisa bekerja di kebun, tetapi ingin membantu sedapat-dapatnya." "Siapa kira-kira yang begitu keji hingga berani mencuri?" pikir Elizabeth saat Rosemary telah pergi. "Jahat benar! Ini baru soal besar, dan harus kuselesaikan. Aku seorang Pengawas. Harus bisa kuputuskan." Ia berpikir keras. Ia harus menangkap si pencuri. Kemudian si pencuri akan diurusnya sebijaksana mungkin, untuk membuktikan bahwa ia memang patut jadi Pengawas. Tetapi bagaimana cara menangkapnya? "Aku tahu!" kata Elizabeth dalam hati. "Akan kutunjukkan uang shilling-ku yang kuterima dari kotak uang kemarin. Uang itu sangat baru. Akan kupamerkan pada semua anak. Kemudian akan kutaruh di mejaku. Tetapi kuberi tanda lebih dahulu. Jadi bila kemudian uang itu hilang, tinggal melihat di tangan siapa uang tersebut muncul." Keesokan harinya saat istirahat, anak-anak harus bermain di ruang senam. Di luar hari hujan. Elizabeth mengeluarkan keping uang shilling-nya dan memperlihatkan pada kawan-kawannya. "Lihat! Mengilap sekali, bukan?" katanya. "Mungkin baru saja keluar dari pabrik uang minggu lalu." Ruth juga mengeluarkan uangnya, sekeping uang penny yang mengilap bagaikan emas. Robert ikut memamerkan uang tiga penny-nya. "Sayang sekali kalau uangku ini hilang, lolos dari lubang sakuku, misalnya," kata Elizabeth. "Biar kusimpan saja di meja, di bawah tempat tinta. Aman di tempat itu." Sebelum ditaruhnya di tempat tersebut, Elizabeth memberi tanda silang dengan tinta Cina hitam pada mata uang tadi. Kemudian ditaruhnya di tempat botol tinta, di hadapan anak-anak lain, tepat sebelum Bu Ranger masuk ke dalam kelas. Ia melirik pada Rosemary. Gadis pemalu itu mengangguk, tanda mengerti apa yang dilakukan Elizabeth. "Kini kita tinggal menunggu," kata Elizabeth dalam hati, melihat berkeliling, untuk kesekian kalinya mengira-ngira siapa gerangan yang begitu jahat sehingga mau mencuri. Selesai pelajaran pagi, anak-anak berlarian ke kebun, bermain-main di sana sampai waktu untuk mencuci tangan dan makan siang. Elizabeth berlari ke kelasnya untuk melihat apakah uangnya masih ada. Dibukanya mejanya. Ya. Uang tersebut masih ada. Ia senang. Mungkin Rosemary salah terka. Pada waktu pelajaran sore, uang tersebut juga masih ada. Rosemary memandang ke arahnya. Elizabeth mengangguk sebagai tanda bahwa uang itu masih ada. Bagaimana kalau si pencuri sengaja tidak mengambilnya? Elizabeth harus merancang jebakan lainnya. Sehabis minum teh, uang itu juga masih ada. Rosemary mendekati Elizabeth, berkata, "Tak usah kautaruh lagi uangmu di tempat itu. Jangan-jangan hilang betulan-dan kau takkan memperolehnya kembali. Satu shilling hilang pasti sangat mengecewakan bagimu." "Kita tunggu saja sampai besok pagi," kata Elizabeth, "dan kita lihat hasilnya." Keesokan paginya, gadis cilik itu menyelinap masuk ke dalam ruang kelasnya. Dibukanya mejanya, diraba-rabanya tempat ia menyembunyikan uangnya. Uang tersebut tidak ada. Hilang. Walaupun ia setengah mengharapkan hal ini akan terjadi, tak urung Elizabeth terkejut juga. Jadi benar-benar ada pencuri di dalam kelas. Pencuri yang begitu jahat? Siapa? Yah. Tinggal tunggu saja. Di tangan siapa uang yang telah ia beri tanda. Dan ia bisa menentukan siapa pencurinya. 9. Kejutan untuk Elizabeth Mudah saja memberi tanda pada sekeping mata uang untuk mengenalinya lagi bila muncul kembali. Tetapi memerlukan suatu perencanaan lagi untuk bisa menemukan keping mata uang tersebut! Tak habis-habisnya Elizabeth berpikir bagaimana ia bisa melakukan itu. Sehabis minum teh hari itu, hujan masih turun. Anak-anak berkumpul di ruang bermain masing-masing kelas. Sebuah ruangan cerah dengan jendela lebar, perapian besar, gramofon, radio, dan laci-laci tempat anak-anak bisa menyimpan barang-barang mereka. Sore itu meriah suasananya. Radio berbunyi keras. Gramofon berbunyi keras. Berulang kali ada anak yang ingin membaca terpaksa mengecilkan atau mematikan kedua benda tersebut, tetapi tak lama seseorang akan menghidupkannya kembali. Akhirnya dibiarkan saja keduanya saling bersuara keras. "Hei, mari kita membuat suatu permainan," seseorang berseru. "Di sini ada lomba pacu kuda. Ayo, siapa ikut! Ada dua belas ekor kuda yang berlomba!" "Ayo! Aku ikut!" semua berseru gembira, memperhatikan Ruth membuka tempat pacu kudanya. Besar sekali, sehingga menutup seluas meja. Ribut sebentar saat para pemain berebut kuda, kemudian perlombaan pun mulai. Sungguh menyenangkan bermain bersama-sama seperti ini. Ramai sekali kuda-kuda saling mengejar di papan perlombaan yang luas itu. "Sial!" seru Harry, "kudaku masuk selokan. Aku harus mundur enam langkah. Satu- dua-tiga-empat-lima-enam!" Permainan itu makin seru, dan akhirnya Belinda yang menang, memperoleh hadiah sebatang cokelat. Kemudian Kathleen mengeluarkan permainannya, permainan gasing. Ada banyak sekali gasing kecil, berwarna-warni. Bisa berputar dengan sangat indah, sambil mengeluarkan bunyi merdu. Anak-anak itu beradu memutarkan gasing, adu lama berputar. Melihat gasing-gasing itu berputar, Elizabeth mendapat ilham. Ia mengetuk meja dan berkata, "Sekarang kita adu lama memutar uang! Siapa yang akan menang?" Anak-anak itu langsung mengambil uang dari saku masing-masing. Ada yang mengeluarkan uang penny. Ada yang setengah penny. Ada yang setengah shilling. Dan satu-dua diantara mereka mengeluarkan uang satu shilling. Sampai saat ini Julian menjadi juara dalam pemutaran gasing. Gasingnya bisa berlompat-lompatan di atas meja dengan cara yang amat aneh. Kini ia akan menunjukkan bahwa dalam memutar uang ia juga juara. "Lihat, uang penny-ku meloncat-loncat," serunya. Dengan tangkas ia memutarkan uang tersebut di muka meja yang licin. Uang tadi berloncatan, kemudian berputar cepat sekali. Tak ada yang bisa menirukan gaya bermain Julian ini. "Sekarang, lihat aku memutar uang shilling di atas gelas," kata Julian. "Tolong ambilkan gelas.... Suaranya aneh nanti." Sebuah gelas segera muncul. Semua memperhatikan. Mata hijau Julian bersinar-sinar merasakan begitu banyak pandangan kagum ditujukan padanya. Gelas tadi diletakkan terbalik. Dan Julian memutar uangnya pada alas gelas. Terdengar sebuah suara lucu! "Seperti suara nyanyian," kata Ruth. "Biarkan aku mencoba, Julian." Uang shilling itu jatuh. Ruth mengambilnya, mencoba memutarnya seperti Julian tadi. Tapi uang tersebut langsung jatuh dari gelas, menggelinding di atas permukaan meja dan jatuh di dekat Elizabeth. Elizabeth mengambilnya. Sekeping uang shilling yang sangat baru Elizabeth memperhatikannya. Aneh, ada uang shilling yang baru lagi. Dan saat diperhatikannya lagi-Elizabeth sangat terkejut. Dilihatnya tanda silang yang pernah dibuatnya. Kecil dan hitam. Tak salah lagi. Seketika ia merasa kecewa. Ini uangnya. Uang yang dahulu ditunjukkannya pada semua temannya. Yang kemudian ditaruhnya di mejanya. Dan kemudian hilang. "Ayo, Elizabeth-berikan uangnya!" kata Ruth tak sabar. "Dari caramu melihat, seperti kau belum pernah melihat uang shilling saja!" Elizabeth melemparkan uang tersebut kepada Ruth. Tangannya gemetar. Julian! Julian yang kini memiliki uangnya. Tetapi Julian sahabatnya. Tak mungkin ia yang mengambil- tetapi uang tadi betul berada di tangannya, tadi ia mengambilnya dari sakunya! Sedih sekali Elizabeth memperhatikan Julian yang sedang memperhatikan Ruth dengan rambut terurai di dahinya seperti biasanya. Rosemary telah memperhatikan wajah Elizabeth. Ia melihat Elizabeth memperhatikan keping mata uang itu. Ia tahu pastilah itu keping yang telah diberi tanda. Dan dengan heran ia pun memperhatikan Julian. Elizabeth tak ingin langsung menanyai Julian. Dengan tak sabar ia menunggu kesempatan agar ia bisa berbicara berdua saja dengannya. Ia menunggu terus malam itu, sambil terus memikirkan apa yang akan dilakukannya. "Tentu saja, seperti kata Julian ia bisa saja melakukan apa pun yang disukainya," pikir Elizabeth. "Ia sama sekali tak peduli tentang apa pun atau siapa pun. Tetapi aku toh sahabatnya. Semestinya ia peduli akan apa yang dilakukannya padaku. Kalau saja ia memintanya, pasti akan kuberikan. Bagaimana ia bisa berlaku seperti itu?" Tepat sebelum waktu tidur, saat yang ditunggunya itu tiba. Julian sedang dalam perjalanan dari perpustakaan, dan Elizabeth bertemu dengannya di gang. "Julian," tanya Elizabeth, "dari mana kauper-oleh uang shilling yang baru dan mengilap itu?" "Dari kotak uang sekolah, minggu lalu," kata Julian langsung. "Kenapa?" "Kau yakin?" tanya Elizabeth. "Oh, Julian, apakah kau benar-benar yakin tentang itu?" "Tentu saja, tolol, dari mana lagi aku bisa memperoleh uang?" tanya Julian heran. "Mengapa kau tampak gelisah? Ada yang tidak beres dengan uangku itu?" Elizabeth hampir saja berkata bahwa uang itu sebenarnya uangnya. Tetapi tidak Ia tak boleh mengatakan hal itu langsung. Itu sama saja dengan menuduh Julian mengambilnya. Ia sahabatnya. Tak boleh ia menuduh Julian dengan tuduhan begitu keji. Ia tak boleh memikirkan kemungkinan itu. "Tak apa-apa," katanya kemudian, merasakan betapa anehnya si Julian ini. "Baiklah kalau begitu, jangan bersikap aneh begitu," kata Julian tak sabar. "Uang itu uangku. Kudapat dan kotak uang sekolah. Begitulah." Dengan setengah gusar Julian meninggalkan Elizabeth. Agak lama Elizabeth termenung. Pikirannya kacau. Dari seluruh teman sekelasnya, satu-satunya yang tak bisa dicurigainya adalah Julian. Tetapi ternyata kini Julian yang berbuat! Elizabeth menyelinap masuk ruang musik, dan langsung memainkan sebuah lagu sedih pada piano. Richard yang kebetulan lewat, menjenguk ke dalam dengan penuh keheranan. "Ya ampun, Elizabeth! Mengapa kaumainkan lagu seperti itu?" tanya Richard. "Siapa pun yang mendengar akan mengira kau kehilangan satu shilling dan menemukan enam penny." Peribahasa kuno itu separo benar, dan Elizabeth tak sadar tertawa. "Yah... aku telah kehilangan satu shilling, tetapi belum menemukan yang enam penny," katanya. "Ya Tuhan! Masa hanya karena uang satu shilling saja membuatmu sedemikian sedih? Belum pernah kudengar lagu semurung itu tadi. Gembiralah!" kata Richard. "Dengar, Richard. Kau tahu, pasti aku tidak setolol itu, bersedih hati hanya karena kehilangan satu shilling'' kata Elizabeth. "Ada hal lain yang membuatku sedih." "Katakanlah padaku," kata Richard. "Kau tahu aku takkan mengatakannya pada orang lain." Ini benar. Elizabeth memandang Richard, berpikir bahwa mungkin Richard bisa membantunya. "Begini. Misalkan kau punya seorang sahabat akrab. Misalnya sahabatmu itu berbuat sesuatu yang amat buruk padamu. Apa yang akan kaulakukan?" tanya Elizabeth. Richard tertawa. "Kalau dia memang sahabatku, aku tak percaya dia bisa berlaku begitu buruk. Mungkin galah paham." "Oh, Richard, kau benar!" kata Elizabeth. "Mestinya aku juga tak mempercayainya!" Ia mulai memainkan piano lagi. Kini dengan lagu yang ceria. Richard menyeringai dan meninggalkan Elizabeth. Kini ia telah terbiasa dengan perangai gadis cilik itu. Dengan kesulitan yang selalu saja dihadapinya. "Richard benar," pikir Elizabeth. "Aku tak boleh percaya begitu saja. Mungkin uangku jatuh ke tangan Julian entah dengan cara bagaimana. Aku harus menyusun siasat lagi untuk mencari pencuri yang sebenarnya." Maka ia tak mengubah sikapnya terhadap Julian, masih tetap bersahabat. Ini membuat bingung Rosemary yang tahu akan apa yang telah terjadi. Ia menyatakan keheranannya pada Elizabeth. "Tetapi tak mungkin Julian yang berbuat," kata Elizabeth, "pasti anak lain. Ia memperoleh uang shilling itu dari kotak uang sekolah. Ia merasa yakin tentang itu. Pasti ada kekeliruan." Hari berikutnya Rosemary datang pada Elizabeth lagi. "Dengar," katanya, "tahu tidak apa yang terjadi? Arabella kehilangan uangnya! Bagaimana pendapatmu? Si pencuri turun tangan lagi?" "Ya ampun! Padahal aku berharap takkan terjadi pencurian lagi," kata Elizabeth. "Arabella kehilangan berapa?" "Enam penny," kata Rosemary. "Tadinya ditaruh di saku jas hujannya. Sewaktu akan diambilnya, sudah tidak ada! Dan, Elizabeth, Belinda juga kehilangan permen cokelat yang ditaruhnya di meja. Aneh, bukan?" "Ya, aneh, dan keterlaluan," kata Elizabeth. "Aku harus segera mengetahui siapa pencuri itu, untuk diseret ke Rapat Besar!" Waktu lain, yang hilang adalah beberapa permen di laci Elizabeth. Ketika Elizabeth membuka lacinya untuk mengambil permen, ternyata permen itu tidak ada! "Sial!" kata Elizabeth, marah dan terguncang hatinya. "Makin buruk saja ini keadaannya! Siapa gerangan yang mengambil permenku, ya?" Ia segera tahu. Di dalam kelas sore itu, Julian terlihat menahan diri untuk tidak bersin. Cepat-cepat ia menarik sapu tangan dari sakunya. Sesuatu ikut terjatuh. Sebutir permen. "Salah satu permenku!" pikir Elizabeth dengan marah. "Kurang ajar! Ia telah mengambil permenku! Jadi pasti ia juga yang mengambil uangku itu. Dan ia menyebut dirinya sahabatku!" 10. Pertengkaran Makin lama Elizabeth berpikir tentang uang dan permen yang hilang itu, makin marah ia kepada Julian. Pasti Julian yang berbuat. Tetapi kenapa ia berbuat seperti itu? "Ia selalu berkata akan melakukan apa saja yang disukainya," pikir gadis cilik itu. "Mungkin mengambil barang orang lain juga termasuk sesuatu yang disukainya? Jahat sekali dia. Ia pandai. Ia lucu. Tetapi ia jahat. Aku harus berbicara dengannya." Tak sabar ia menunggu sampai kelas sore selesai. Ia tak memperhatikan pelajarannya, dan Bu Ranger melirik padanya sekali dua kali. Elizabeth agaknya tak mendengar pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya, menatap langit-langit dengan pandang marah di matanya. "Elizabeth, kukira kau tahu, bukan, bahwa kau sedang berada di dalam kelas?" tanya Bu Ranger akhirnya. "Setengah jam terakhir ini kau tidak menjawab satu pun pertanyaan yang kuajukan padamu." "Maaf, Bu Ranger," kata Elizabeth cepat-cepat, "aku... aku sedang memikirkan sesuatu yang lain." "Sebaiknya kau memikirkan yang sedang kaukerjakan saja. Nak," kata Bu Ranger Elizabeth berusaha keras melupakan perbuatan Julian, dan berusaha keras memikirkan Mary, Ratu Skotlandia. Tetapi entah bagaimana pikirannya kembali lagi ke Julian. Ia memperhatikan anak itu, yang duduk di depannya. Ia sedang menulis. Rambut hitamnya terjurai ke keningnya. Setiap kali harus dikibaskannya ke samping. Mengapa ia tidak menggunting saja rambut yang mengganggu itu? Tiba-tiba Julian berpaling, tersenyum dan menyeringai padanya dengan mata hijaunya yang bersinar-sinar. Elizabeth tidak membalas senyuman itu, tunduk meneliti bukunya. Julian heran. Biasanya Elizabeth sangat murah senyum. Pelajaran selesai pukul empat. Semua berlarian ke luar, kecuali Elizabeth yang terpaksa menyalinkan sesuatu untuk Bu Ranger. Ia gusar sekali, tetapi tak bisa tidak itu harus dikerjakannya, sebab sepanjang pelajaran tadi ia tak bekerja sama sekali. Ia harus mencatat cepat-cepat kini, sementara pikirannya terus memikirkan tentang apa yang akan dibicarakannya nanti dengan Julian. Ia harus berbicara empat mata dengannya. Menjelang waktu minum teh baru ia selesai. Ia bergegas ke ruang makan, tetapi karena pikirannya kacau, nafsu makannya hilang sama sekali. Anak-anak lain yang melihat ini langsung menggodanya. "Mungkin ia sakit," kata Harry. "Belum pernah Elizabeth menolak makanan. Makanan apa pun! Pasti ada yang tak beres padanya." "Jangan melucu!" tukas Elizabeth marah. Harry terkejut. "Kau ini kenapa sih?" tanyanya. "Kau tak apa-apa?" Elizabeth mengangguk. Ya. Ia tidak apa-apa. Tetapi ada hal lain yang sama sekali tidak beres. Ia tak ingin menangani perkara Julian. Tetapi kalau ia tidak turun tangan, maka pikirannya takkan bisa damai sejenak pun. Selesai minum teh ia mendekati Julian. "Julian, aku ingin berbicara denganmu. Ini sangat penting." "Apakah tak bisa ditunda?" tanya Julian. "Aku masih punya pekerjaan." "Tidak Tak bisa ditunda. Ini sangat penting." "Baiklah. Aku akan mendengarkan hal yang sangat penting ini." "Datanglah ke kebun," kata Elizabeth. "Aku tak ingin pembicaraan kita didengar anak lain." "Mmm... marilah ke kandang kuda," kata Julian. "Takkan ada anak di sana. Kau begitu misterius, Elizabeth." Keduanya berjalan ke kandang kuda. Tak seorang pun terlihat. "Nah, apa yang ingin kaukatakan?" tanya Julian. "Cepatlah. Aku ingin segera mengerjakan pekerjaanku. Aku sedang memperbaiki sebuah sekop untuk John." "Julian, mengapa kau mengambil uang itu- dan juga cokelat dan permenku?" tanya Elizabeth. "Uang-dan permen?" Julian heran. "Oh, jangan berpura-pura tak tahu!" seru Elizabeth kehilangan kesabaran. "Kau mengambil uangku yang satu shilling. Pasti kau juga yang mengambil uang Rosemary Dan aku melihat salah satu permenku yang hilang jatuh dari sakumu sore ini waktu kau mengambil saputanganmu." "Elizabeth! Berani benar kau berkata seperti itu padaku!" seru Julian, mukanya merah, matanya yang hijau jadi berwarna gelap. "Aku berani berkata begitu karena aku Pengawas, dan aku tahu benar keburukanmu!" kata Elizabeth dengan nada geram. "Kauanggap dirimu sahabatku, tapi..." "Bagus sekali! Kauanggap dirimu sahabatku, dan kau menuduhku sekeji itu!" suara Julian semakin keras kini; ia juga sangat marah. "Hanya karena kau seorang Pengawas, kau merasa bebas saja seenaknya menuduh orang. Kau tak pantas jadi sahabat siapa pun! Kau bukan sahabatku lagi!" Dengan berang Julian melangkah pergi. Elizabeth mengejarnya, memegang lengan jasnya. Julian mengibaskan tangan Elizabeth. "Dengarkan, Julian!" Elizabeth hampir berteriak. "Kau harus mendengarkan aku! Apakah kau ingin semua ini dibicarakan di Rapat Besar mendatang?" "Kalau kau berani mengatakan hal ini pada siapa pun, akan kubalas kau dengan suatu cara yang pasti akan membuatmu menyesal seumur hidup!" desis Julian. "Semua anak perempuan sama saja. Tak punya rasa hormat sama sekali! Enak saja menuduh orang dan tak percaya bila diberitahu hal yang benar!" "Julian, aku tak ingin membawa perkara ini ke Rapat Besar!" seru Elizabeth. "Aku tak mau! Karenanya kau kuberi kesempatan untuk menerangkan padaku mengapa kau berbuat begitu! Mungkin aku bisa menolongmu! Kau selalu berkata bahwa kaulakukan apa saja yang kaumaui, jadi aku berpendapat bahwa kau bisa begitu saja mengambil milik orang lain...." "Elizabeth! Kulakukan apa yang kumaui. Tetapi banyak sekali yang tak kusukai, dan karenanya takkan mungkin kulakukan!" kata Julian dengan mata membara dan kening berkerut dalam. "Aku tak suka mencuri. Aku tak suka berdusta. Aku tak suka memfitnah! Jadi aku takkan melakukan itu semua. Sekarang aku akan pergi. Kini kau bukan lagi sahabat terbaikku, tapi musuhku yang paling kubenci! Aku takkan sudi bersahabat denganmu lagi!" "Aku bukan musuhmu! Aku ingin membantumu!" kata Elizabeth. "Aku melihat uangmu, yang ternyata uangku yang telah kutandai. Aku melihat permenku jatuh dari sakumu. Aku seorang Pengawas, jadi..." "Jadi kau berpikir kau bisa saja menuduhku, dan kaukira aku akan begitu saja mengakui sesuatu yang tak kulakukan. Kau kira aku akan menangis di hadapanmu, dan berjanji akan menjadi anak yang baik!" tukas Julian dengan nada keji. "Kau keliru, Elizabeth! Sungguh hanya orang sinting saja yang mengangkat anak seperti kau jadi Pengawas!" Ia berpaling lagi. Elizabeth kini sudah mencapai puncak marahnya. Ia mencengkeram lengan Julian untuk mengajaknya berbicara lagi. Tetapi Julian berpaling, memegang bahu Elizabeth dan mengguncangnya sehingga gigi gadis itu gemertak. "Kalau saja kau anak lelaki, kau akan merasakan apa akibat tuduhanmu ini!" geram Julian, kemudian melepaskan Elizabeth dan dengan gusar meninggalkan tempat itu dengan tangan terbenam dalam di saku, rambut berantakan, dan mulut membentuk garis tipis penuh amarah. Sekujur tubuh Elizabeth lemas. Ia bersandar ke dinding kandang kuda, terengah-engah. Ia ingin mencoba meluruskan pikiran, tapi tak berhasil. Mengerikan sekali kejadian tadi! Suara langkah kaki mendekat membuat ia terlompat kaget. Ternyata Martin Follet, keluar dari kandang kuda dengan wajah pucat pasi. "Elizabeth! Tak kusengaja kudengarkan semuanya. Aku tak ingin keluar dan menengahi, aku begitu bingung! Kasihan kau, Elizabeth. Tak pantas Julian berbuat begitu, padahal kau berusaha keras membantunya." Elizabeth merasa bersyukur atas kata-kata penghibur dari Martin, tetapi ia kecewa karena ternyata anak itu telah mendengarkan segalanya. "Martin, kau sama sekali tak boleh mengatakan kejadian ini pada siapa pun," katanya, berdiri tegak lagi, dan mengibaskan rambutnya yang ikal. "Ini sangat rahasia dan sangat pribadi. Kau berjanji?" "Tentu," kata Martin. "Tetapi biarkan aku ikut membantu sedikit Elizabeth. Ini, terimalah sedikit permen ini. Dan satu shilling ini, untuk mengganti milikmu yang hilang. Jadi sudah impas, bukan? Dan kau tak perlu memedulikan Julian lagi, tak perlu bertengkar dengannya lagi. Dan juga kau tak perlu membawa perkara ini ke Rapat Besar." "Oh, Martin, kau sungguh baik," kata Elizabeth, tiba-tiba merasa begitu lelah. "Tetapi bukan itu soalnya. Bukan uangku yang satu shilling itu atau permenku yang jadi persoalan. Tetapi kenyataan bahwa Julian telah mengambilnya. Ini tidak bisa diperbaiki hanya dengan mengembalikan benda-benda itu, bukan? Walaupun apa yang hilang dariku dikembalikan, tetapi sifat Julian yang suka mengambil milik orang lain takkan jadi sembuh karenanya. Mestinya kau mengerti hal itu." "Nah... beri dia kesempatan," kata Martin bersungguh-sungguh. "Jangan laporkan dia ke Rapat. Berilah dia kesempatan." "Yah. akan kupikirkan hal itu," kata Elizabeth. "Oh, alangkah senangnya kalau aku bukan seorang Pengawas. Alangkah senangnya bila aku bisa minta bantuan nasihat seorang Pengawas. Aku sama sekali tak tahu harus berbuat apa." Martin menggandeng tangannya. "Yuk kita ngobrol dengan John tentang kebunnya," katanya. "Itu akan menenangkan hatimu." "Kau sungguh baik, Martin," kata Elizabeth berterima kasih. "Tetapi aku tak ingin berbicara dengan John. Aku tak ingin berbicara dengan siapa pun. Aku ingin menyendiri. Pergilah. Dan, Martin, berjanjilah untuk tidak menceritakan hal ini pada siapa pun. Ini urusan Julian dan aku. Tak ada hubungannya dengan orang lain." "Tentu saja, aku berjanji," kata Martin menatap Elizabeth. "Kau bisa mempercayaiku, Elizabeth. Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi bila perlu aku akan selalu siap membantumu." Martin pergi. Elizabeth berpikir bahwa Martin sungguh baik hati. "Aku yakin dia tak akan menceritakan rahasia ini pada anak lain," pikirnya. "Sungguh buruk akibatnya bila yang lain tahu. Aku sama sekali tak tahu harus berbuat apa. Julian akan sangat membenciku kini. Oh. Semoga saja keadaan ini segera jernih kembali." Tetapi ternyata keadaan semakin memburuk Julian bukannya seseorang yang bisa begitu saja melupakan atau memaafkan sesuatu. Dan ia memang telah bertekad akan membalas perlakuan buruk Elizabeth. Semula Elizabeth memang sahabat baiknya, tetapi kini ia menjadi musuh terburuknya! Jadi, hati-hatilah, Elizabeth! 11. Muslihat Julian Semua anak segera mengetahui bahwa Julian tidak bersahabat lagi dengan Elizabeth. Elizabeth tampak selalu gusar, dan Julian menunjukkan bahwa ia tak memperhatikan Elizabeth lagi. Arabella merasa sangat senang. Ia menyukai serta mengagumi Julian karena cara-caranya yang selalu acuh tak acuh. Ia juga sangat sakit hati waktu ternyata Julian memilih Elizabeth sebagai sahabat karib. Ia ingin menggantikan kedudukan Elizabeth di mata Julian. "Otak Julian sungguh luar biasa," kata Arabella pada Rosemary. Rosemary yang tak begitu cerdas juga sangat mengagumi siapa saja yang berotak cemerlang. "Ia bisa melakukan apa saja," kata Arabella lagi. "Aku yakin bila dewasa kelak ia akan menjadi seorang penemu yang terkenal. Ia pasti menyumbangkan suatu penemuan pada dunia!" "Ya, aku juga berpikir begitu," kata Rosemary, seperti biasanya setuju pada apa saja yang dikatakan Arabella. "Entah kenapa Julian dan Elizabeth bertengkar. Sepanjang hari ini mereka sama sekali tak bertegur sapa. Dan setiap kali Julian memandang Elizabeth, maka pandangannya begitu menakutkan!" "Ya, aku juga ingin tahu mengapa mereka bertengkar," kata Arabella. "Mungkin bisa kutanyakan pada Julian. Mungkin Julian mau bersahabat dengan kita setelah kini ia bermusuhan dengan Elizabeth." Sore itu Arabella benar-benar bertanya pada Julian. "Julian, kulihat kau dan Elizabeth bertengkar. Ada apa sih?" tanyanya dengan suaranya yang paling manis. "Aku yakin itu karena kesalahan Elizabeth. Bolehkah kutahu mengapa?" "Maaf, Arabella. Ini urusanku sendiri," jawab Julian pendek. "Lebih baik katakan saja padaku," kata Arabella. "Aku selalu berada di pihakmu. Aku tidak pernah suka pada Elizabeth." "Aku tak pernah suka pihak-pihakan," kata Julian. Hanya itulah yang bisa didapat Arabella dari Julian. Ia gusar juga, tetapi semakin ingin tahu. Apa gerangan yang terjadi? Pasti sesuatu yang sangat serius, kalau tidak, Elizabeth tak akan tampak begitu khawatir. "Aku ingin sekali mengetahuinya," kata Arabella pada Rosemary. "Aku harus mengetahuinya." "Apa yang ingin kauketahui?" tanya Martin yang datang dari arah belakang keduanya. "Mengapa Elizabeth bertengkar dengan Julian," kata Arabella. "Kau tahu, Martin?" "Ya... sedikit," kata Martin. Arabella memandangnya dengan penuh harap. "Betulkah? Coba ceritakan!" "Tapi... ini rahasia. Kau tak boleh bercerita pada anak lain. Janji?" "Tentu saja," kata Arabella, walaupun dalam hati ia tak bermaksud memenuhi janji itu. "Siapa yang mengatakannya padamu, Martin?" "Elizabeth sendiri," kata Martin. "Kalau begitu kau bisa menceritakannya pada kami," kata Arabella segera. "Sebab bila Elizabeth mengatakannya padamu, sudah pasti ia juga mengatakannya pada anak lain." Maka Martin pun menceritakan rahasia itu, tentang bagaimana Elizabeth menuduh Julian mencuri uang dan permen, dan bagaimana Julian dengan marah membantah tuduhan itu. Arabella membelalakkan matanya lebar-lebar. Rosemary juga hampir tak percaya. "Oh, betapa kejinya Elizabeth!" seru Arabella. "Bagaimana ia bisa menuduh begitu pada Julian! Aku yakin walaupun Julian berandalan, tetapi ia jujur!" Segera saja rahasia itu menyebar. Seisi kelas tahu, semua tahu mengapa Julian bertengkar dengan Elizabeth. Semua berbicara tentang uang dan permen yang dicuri, tentang Elizabeth dan Julian. "Kupikir Julian harus mengetahui bahwa Elizabeth telah menyebarkan cerita tentang dirinya itu," kata Arabella pada Rosemary. "Ia harus tahu. Sungguh tidak adil." "Tetapi apakah yang menyebarkan cerita itu Elizabeth?" tanya Rosemary ragu-ragu. "Bukankah yang bercerita pada kita Martin?" "Ya, tetapi Elizabeth yang mengatakannya padanya. Dan kalau Elizabeth mau mengatakan pada Martin, maka ia pasti mau juga mengatakan pada semua orang," kata Arabella. "Buktinya semua anak kini telah tahu, jadi sudah pasti Elizabeth telah bercerita berulang-ulang!" Rosemary merasa sedikit khawatir. Ia tahu bahwa Arabella sendiri telah berulang-ulang bercerita pada anak-anak lain dan setiap kali ditambah dengan bumbu-bumbu. Tetapi Rosemary terlalu lemah untuk membantah sahabatnya itu. Ia tak berkata apa-apa. Hari berikutnya Arabella berkata kepada Julian. "Julian," katanya, "sungguh keji hati Elizabeth, menyebarkan cerita bahwa kau suka mengambil barang-barang milik anak lain. Uang, permen, dan entah apa lagi. Sungguh menjijikkan anak itu." Julian memandang heran pada Arabella. "Apa maksudmu?" tanyanya akhirnya. "Semua sudah tahu bahwa kau dan Elizabeth bertengkar karena ia menuduhmu mengambil barang-barang milik orang lain, dan kau membantahnya," kata Arabella, menggandeng tangan Julian. Julian tampak pucat seketika. "Jangan khawatir, Julian," kata Arabella lagi. "Kami semua tahu anak macam apa Elizabeth itu. Entah bagaimana ia bisa dipilih menjadi Pengawas. Siapa yang sudi datang padanya untuk minta tolong. Ia sama sekali tak bisa dipercaya." "Kau betul," kata Julian, "tetapi tadinya kukira dia bisa dipercaya. Tak pernah kuduga ia akan menyebarkan cerita seperti itu. Seorang Pengawas! Kurang ajar! Tak pernah kutahu bagaimana dulu aku bisa suka padanya." "Pasti, pasti kau takkan punya alasan untuk menyukainya," kata Arabella kegirangan. "Bayangkan saja, ia menyebarkan desas-desus yang begitu buruk tentang dirimu! Padahal kau tak berkata sepatah pun tentang dia." Tentu saja sebenarnya Elizabeth juga tak pernah mengatakan sepatah kata pun tentang pertengkarannya dengan Julian. Tetapi Julian tak tahu hal itu. Ia tak tahu bahwa Martin Follett telah mendengar percakapannya dengan Elizabeth di kandang kuda. Ia mengira percakapan itu hanya diketahui oleh Elizabeth dan dirinya, jadi kalau sampai menyebar, maka itu sudah pasti dilakukan oleh Elizabeth. Hatinya jadi sangat geram pada gadis kecil itu. "Aku akan membalas dendam padanya," desisnya pada Arabella. "Tentu saja, kau berhak untuk itu," kata Arabella. "Dan seperti yang kukatakan dulu, aku ada di pihakmu. Begitu juga Rosemary. Dan banyak kawan kita lainnya." Kali ini Julian tak berkata tentang pihak-memihak. Ia sakit hati. Ia marah. Satu-satunya keinginannya adalah melukai hati Elizabeth, ingin membalas dendam. Dan mulailah serangkaian peristiwa aneh terjadi pada Elizabeth. Julian menggunakan otaknya yang cerdas sepenuhnya untuk memikirkan berbagai muslihat guna mengganggu Elizabeth. Dan bila Julian benar-benar menggunakan otaknya, maka sesuatu pasti terjadi. Julian duduk tepat di hadapan Elizabeth di dalam kelas. Di suatu jam pelajaran, pelajaran sejarah, murid-murid diharuskan membawa buku banyak sekali, yang harus mereka tumpuk rapi-rapi di meja masing-masing untuk segera bisa digunakan bila diperlukan. Julian membuat suatu pegas yang aneh. Diputarnya pegas tersebut dengan suatu cara yang unik, sehingga memerlukan waktu yang agak lama bagi pegas tadi untuk kembali lurus. Dan diselipkannya pegas itu di bawah tumpukan buku Elizabeth. Pelajaran dimulai. Bu Ranger sedang galak hari itu, sebab ia sedang pening. Karenanya anak-anak berhati-hati sekali, tak berani bersuara sedikit pun. Tak ada yang berani menutup meja dengan bersuara atau menjatuhkan suatu benda apa pun. Julian menyeringai sendiri sambil belajar diam-diam di depan Elizabeth. Ia tahu bahwa pegasnya pelahan-lahan meluruskan diri di buku terbawah pada tumpukan Elizabeth. Pegas tadi sangat kuat. Bila mencapai satu titik putaran, maka ia akan terbuka lebar dan melontarkan buku-buku di atasnya dari meja. Tepat sekali. Kejadian itu terjadi lima menit setelah pelajaran mulai. Pegas itu selesai memutar dan mendorong buku yang menindihnya. Buku yang teratas bergerak, jatuh. Disusul yang lain. Selanjutnya terdengar bunyi gemuruh buku-buku Elizabeth berjatuhan ke lantai. Bu Ranger melompat kaget. "Buku siapa itu?" hardiknya. "Elizabeth? Bagaimana itu bisa terjadi?" "Aku tak tahu. Bu Ranger," Elizabeth heran. "Aku benar-benar tidak tahu." Julian membungkuk untuk ikut mengambilkan buku-buku yang jatuh di belakangnya itu. Tetapi sesungguhnya ia menaruh lagi sebuah pegas lainnya, sementara diambilnya pegas yang tadi dan dimasukkannya ke dalam sakunya. Lima menit kemudian, kembali terdengar keributan, satu per satu buku-buku Elizabeth berloncatan dan jatuh ke lantai! Bu Ranger melompat terkejut. Pulpen yang dipakainya untuk memeriksa pekerjaan anak-anak membuat setitik besar tinta di buku yang sedang diperiksanya. "Elizabeth! Apakah kau berbuat itu dengan sengaja!" teriak guru itu. "Kalau terjadi sekali lagi, kau harus keluar! Aku tak mau kau mengganggu pelajaran seperti ini!" Elizabeth kebingungan sekali. "Maafkan aku, Bu Ranger," katanya. "Aku tak tahu bagaimana... buku-buku ini tampaknya berloncatan sendiri dari mejaku!" "Jangan kekanak-kanakan, Elizabeth!" kata Bu Ranger. "Hanya anak TK saja yang mengajukan alasan seperti itu." Julian mengambilkan buku-buku itu sambil menyeringai. Elizabeth memandang marah padanya. Ia tak tahu Julian telah mempermainkannya, ia hanya tak suka melihat anak itu gembira karena ia kena marah. Dan ia tak tahu bahwa sekali lagi Julian memasang pegas di bawah buku-buku tersebut. Kemudian... kembali buku-buku Elizabeth berloncatan. Kali ini Bu Ranger kehilangan kesabaran. "Keluar kau!" bentaknya pada Elizabeth. "Sekali mungkin memang tak sengaja, dua kali masih dimaafkan, tetapi tiga kali... Aku malu punya murid seperti kau. Kau seorang Pengawas, mestinya mengerti bagaimana harus bertindak di dalam kelas." Dengan pipi memerah Elizabeth keluar. Dalam semester pertamanya di sekolah ini, ia memang sengaja berbuat sesuatu agar diusir dari kelas. Tetapi kali ini ia merasa sangat malu. Ia berdiri di depan kelasnya, hampir menangis karena malu dan marah. "Ini bukan kesalahanku!" pikirnya. "Buku-bukuku betul-betul berlompatan sendiri! Aku tidak menyentuh buku itu sedikit pun!" Dan kemudian, celaka! Pada saat itu muncullah Rita, Ketua Murid Perempuan! Dengan heran ia memandang Elizabeth yang berwajah merah di depan pintu kelas. "Mengapa kau berada di sini, Elizabeth?" tanyanya dengan nada dingin. 12. Elizabeth Mendapat Malu "Aku dikeluarkan dari kelas, Rita, tetapi percayalah, ini bukan karena kesalahanku," kata Elizabeth. "Jangan sampai terulang lagi, Elizabeth," kata Rita. "Kau seorang Pengawas, harus memberi contoh yang baik. Aku kecewa sekali dengan apa saja yang kudengar tentang dirimu dan anak-anak kelas satu di semester ini." Rita melanjutkan perjalanan, meninggalkan Elizabeth termenung, memikirkan apa gerangan yang diketahui oleh Rita. Tiba-tiba saja ia merasa sangat sedih dan kecewa. "Aku berharap semester ini akan sangat menyenangkan bagiku," pikirnya, "dan ternyata segalanya tak keruan!" Di akhir jam pelajaran ia dipanggil masuk, dan Bu Ranger mengucapkan beberapa perkataan keras padanya. Elizabeth tahu tak ada gunanya mengatakan bahwa buku-bukunya jatuh atas kehendak mereka sendiri. Karenanya ia diam saja. Muslihat berikutnya yang dipikirkan oleh Julian sangatlah luar biasa. Ia menyeringai kegirangan sewaktu ia memperoleh ilham untuk itu. Ia pergi ke laboratorium, tempat anak-anak melakukan berbagai percobaan ilmiah. Ia mencampur beberapa bahan kimia, dan-membuatnya menjadi beberapa butiran kecil, disimpannya di dalam sebuah kotak Kemudian sebelum jam pelajaran sore dimulai, ia memasuki ruang kelas yang kosong, menyingkirkan meja Elizabeth dan menaruh sebuah meja besar di tempatnya. Di atas meja itu ditaruhnya sebuah kursi, dan dengan berdiri di kursi tersebut ia bisa mencapai langit-langit. Dengan cepat diaturnya butir-butir yang dibuatnya tadi di langit-langit dan disemprotnya dengan suatu cairan yang baunya aneh. Cairan itu akan membuat butir-butir tadi lambat laun meletus dan meneteskan butiran besar air yang jatuh langsung ke bawah. "Pasti hebat jadinya nanti," pikir Julian melompat turun dari kursi. Dikembalikannya kursinya, dikembalikannya meja besar tadi. Dan diletakkannya meja Elizabeth tepat berada di bawah butir-butir di langit-langit tadi. Butir-butir tadi tak tampak, putih bagaikan langit-langitnya. Sore itu Mam'zelle mengajar bahasa Prancis. Elizabeth dan kawan-kawannya diberi tugas untuk mempelajari kata kerja dan menghapal-kan sebuah sajak. Mam'zelle akan mendengarkan mereka menghapal di depan kelas nanti. Semua berlatih menghapal sampai saat pelajaran akan mulai. Terdengar Mam'zelle datang. Elizabeth bangkit dari kursinya untuk membukakan pintu. Mam'zelle sedang senang hatinya. Anak-anak gembira melihat ini. Bu Ranger tidak akan marah bila tidak ada alasan yang kuat untuk itu, tetapi Mam'zelle sering marah tanpa sebab apa-apa. Tapi kali ini agaknya ia sedang tidak pemarah. "Sore ini kita akan belajar baik-baik," kata Mam'zelle dengan wajah berseri-seri. "Kalian harus mengucapkan semua hapalan tanpa kesalahan sedikit pun, sehingga aku tak perlu marah." Tak ada yang menyahut. Mereka semua berharap agar tak ada yang berbuat salah. Seorang saja berbuat salah, seluruh kelas bisa kena marah. Memang sulit. Hampir tak pernah ada jam pelajaran bahasa Prancis tanpa seorang murid berbuat salah. Julian telah bersiap-siap untuk pelajaran sore itu. Ia menggunakan otaknya sebaik mungkin. Semua kata kerja meluncur dari mulutnya dengan lancar dan tanpa kesalahan. Ia berbicara dengan Mam'zelle menggunakan bahasa Prancis yang nyaris sempurna. Dan Mam'zelle makin berseri-seri wajahnya, berseru gembira, "Ah, kau ini, Julian! Selalu kau pura-pura bodoh, tetapi sesungguhnya kau amat pintar! Kini coba ucapkan sajakmu. Ucapkan sajak yang bagus itu untukku, Julian." Julian mulai mengucapkan sajaknya. Lancar dan bagus sekali ucapannya. Tetapi baru saja mulai, sesuatu mengganggunya. Elizabeth. Saat itu Elizabeth sedang menunduk, mempelajari buku bahasa Prancis-nya. Tiba-tiba saja setetes besar air jatuh di kepalanya. Elizabeth terkejut. Tak terasa ia berseru kecil dan mengusap kepalanya. Kepalanya basah! "Kenapa, Elizabeth?" tanya Mam'zelle tak sabar. "Setetes air jatuh di kepalaku," kata Elizabeth kebingungan. Ia melihat ke langit-langit. Tetapi tak melihat apa-apa di sana. "Nakal sekali kau, Elizabeth," kata Mam'zelle. "Kaukira aku akan percaya pada kata-katamu itu?" "Tetapi benar-benar setetes air jatuh ke kepalaku," kata Elizabeth. "Aku merasakannya." Jenny dan Robert menahan tawa. Mereka mengira Elizabeth berpura-pura untuk memancing kelucuan. Mam'zelle mengetuk meja dengan keras. "Diam!" katanya. "Julian, lanjutkan hapalan-mu. Mulailah dari depan kembali." Julian mulai lagi, yakin bahwa sebentar lagi setetes air akan jatuh kembali ke kepala Elizabeth. Ia hampir tak bisa menahan tawa. "Oh, oh!" seru Elizabeth tiba-tiba. Dua tetes besar telah jatuh ke kepalanya. Elizabeth tak tahu harus berbuat apa. Diusapnya kepalanya. "Elizabeth! Sekali lagi kau mengganggu!" seru Mam'zelle. "Apakah kau ingin merusak jerih payah Julian? Kenapa lagi sekarang? Jangan berkata bahwa hujan turun di kepalamu!" "Tetapi, Mam'zelle, memang ada air menetes di kepalaku!" kata Elizabeth. Tangan yang meraba kepalanya merasa bahwa kepala itu basah. Anak-anak tertawa terbahak-bahak. Mam'zelle jadi sangat marah. "Semua diam!" hardiknya. "Aku tak mau ribut begini di kelasku. Elizabeth, aku sungguh heran padamu. Seorang Pengawas mestinya tidak berbuat seperti itu!" "Tetapi, Mam'zelle, benar-benar ada air menetes dari atas," kata Elizabeth. Dan setetes air menetes lagi. Elizabeth sampai melompat karena terkejut, dan memandang ke langit-langit. "Kau melihat ke langit-langit seolah itu langit betul? Kaupikir hari hujan? Kaupikir kau bisa menipuku?" Mam'zelle benar-benar marah. Semua anak kini memperhatikan dengan berdebar-debar. Bila marah Mam'zelle selalu melakukan gerakan yang lucu. "Bolehkah aku pindah tempat?" tanya Elizabeth putus asa. "Selalu ada saja yang jatuh dari atas sana. Aku tak mau ketetesan lagi!" "Kau boleh duduk di luar sana," kata Mam'zelle tegas. "Ini lelucon paling tolol yang pernah kudengar. Pasti sebentar lagi kau akan bertanya apakah kau boleh duduk di situ dengan membawa payung." Seisi kelas tak tahan untuk tidak tertawa. Mereka terpingkal-pingkal membayangkan Elizabeth duduk dengan memakai payung. Tetapi Mam'zelle tak bermaksud melucu. Dengan marah ia memukul-mukul meja. "Diam! Aku tidak melucu! Aku sangat marah! Elizabeth, keluarlah dari kelas!" "Oh, maaf, Mam'zelle, harap aku tidak dikeluarkan," pinta Elizabeth. "Aku tak akan mengganggu lagi. Tetapi percayalah bahwa tadi memang ada air menetes di kepalaku." Setetes air lagi jatuh di kepalanya. Tetapi kali ini ia diam saja. Ia tak mau Mam'zelle kehabisan kesabaran dan mengeluarkannya dari kelas. Dua kali dikeluarkan sudah keterlaluan! Biarlah ia basah kuyup asal tidak dikeluarkan. "Satu kali saja kau berseru mengganggu, kau harus keluar!" ancam Mam'zelle. Elizabeth dengan bersyukur duduk, berjanji untuk tidak terkejut kalau ada air menetes lagi di kepalanya. Tetapi tidak ada lagi tetesan air. Dan segera rambut Elizabeth kering kembali. Tak ada bekas basah sama sekali. Ia pun mendapat giliran untuk menghapalkan kata kerja dan sajak, serta diperkenankan untuk duduk terus di dalam kelas. Selesai pelajaran bahasa Prancis, anak-anak datang mengerumuninya, memandangnya kagum, "Elizabeth! Berani betul kau berbuat seperti itu tadi! Coba kulihat kepalamu." Tetapi sekarang rambut Elizabeth sudah kering, dan tak seorang pun percaya pada Elizabeth saat ia mengatakan berulang-ulang bahwa tadi memang ada tetesan air jatuh ke kepalanya. Mereka memeriksa kepala Elizabeth. Sama sekali tidak basah. Mereka jadi kurang senang. "Mengapa kau bersikeras mengatakan begitu pada kami? Toh kami tak akan mengadukan-mu," kata Harry. "Sebetulnya leluconmu tadi sangat lucu. Mengapa tidak kauakui?" "Tetapi itu tadi bukan lelucon," bantah Elizabeth. "Benar-benar terjadi!" Anak-anak pergi meninggalkannya. Mereka tak senang Elizabeth tak mau berterus terang pada mereka. "Ia berdusta," kata Arabella pada Rosemary. "Sungguh-sungguh aku tak mengerti, bagaimana anak seperti itu bisa jadi Pengawas." Beberapa orang setuju dengan pendapat Arabella. Mereka semua senang Elizabeth membuat lelucon di kelas, tetapi mereka kecewa Elizabeth tak mau berterus terang. Bu Ranger mendengar cerita tentang itu dari Mam'zelle saat guru-guru berkumpul di ruang istirahat. "Sungguh tidak seperti biasanya Elizabeth berbuat setolol itu," kata Mam'zelle mengakhiri ceritanya. Bu Ranger tampak sangat heran. "Aku tak mengerti tingkah Elizabeth," katanya. "Akhir-akhir ini memang luar biasa tingkah lakunya. Ia juga melakukan suatu lelucon tolol di kelasku, mendorong buku-bukunya sehingga jatuh berulang kali." "Tadinya kupikir ia baik sekali jadi Pengawas," kata Mam'zelle. "Aku sungguh kecewa pada Elizabeth." Sementara itu Arabella selalu menjelek-jelekkan Elizabeth pada setiap kesempatan. Dan banyak anak yang mulai percaya kata-katanya. Arabella memang sangat pandai bicara. "Tentu saja, aku senang lelucon," kata Arabella, "dan sungguh menyenangkan untuk berbuat lucu dalam sebuah pelajaran yang membosankan. Tetapi kurasa tak pantas seorang Pengawas berbuat seperti itu. Maksudku kita-kita ini memang wajar bersikap ugal-ugalan, tetapi seorang Pengawas tentunya tak pantas, bukan? Seorang Pengawas harus bisa memberi contoh yang baik. Kalau tidak, untuk apa ia dijadikan Pengawas?" "Dua semester yang lalu ia dijuluki Gadis Paling Badung di Sekolah, bukan?" sambung Martin. "Mungkin memang itulah sifat aslinya, dan sulit untuk ditinggalkannya. Kukira salah sekali menjadikannya seorang Pengawas!" "Coba saja. Ia menyebarkan desas-desus yang begitu keji tentang Julian," kata Arabella lagi. "Mestinya seorang Pengawas-lah yang mematikan desas-desus tersebut. Tetapi ini malah dia yang mulai. Yah, seperti kukatakan berulang-ulang, aku sama sekali tidak mengerti mengapa Elizabeth diangkat menjadi Pengawas." "Aku yakin ia tak bisa bertahan lama sebagai Pengawas," kata Martin. "Kukira tak boleh kita diam-diam saja punya Pengawas yang bertingkah seperti dia. Bagaimana kita bisa menghormatinya, bagaimana kita bisa meminta nasihat padanya, kalau dia sendiri bertingkah seperti itu? Ia harus diturunkan dari jabatannya sebagai Pengawas!" Kasihan sekali Elizabeth. Ia tahu teman-teman sekelasnya berbisik-bisik tentang dirinya. Dan ia tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan itu semua. 13. Rahasia Arabella Rapat besar datang dan berlalu tanpa Elizabeth mengatakan sesuatu. Ia begitu kecewa dan bingung, tak tahu harus berbuat apa, sehingga akhirnya ia tak mengatakan apa pun. Sementara itu hari ulang tahun Arabella tiba. Ibunya telah berjanji akan mengiriminya sebuah kue ulang tahun yang besar sekali. Dan ia diberi izin untuk memesan apa saja yang disukainya, makanan dan minuman, dari salah sebuah toko besar di London. Ibu Arabella memang masih berada di Amerika saat itu, jadi segalanya diserahkannya pada Arabella sendiri. Arabella sudah begitu sering membicarakan rencananya untuk ulang tahun ini. Ia sangat suka membual, dan dikatakannya pada teman-temannya apa saja yang akan dibelinya untuk ulang tahunnya. Kemudian ia mendapat suatu ilham. Suatu rencana bagus yang segera dikatakannya pada Rosemary. "Rosemary, bagaimana kalau kita mengadakan pesta tengah malam? Di sekolahku dulu kami pernah mengadakannya, dan sungguh asyik! Kita siapkan makanan dan minuman secukupnya. Betapa meriahnya nanti kita menikmati itu semua di tengah malam!" Rosemary setuju. "Tetapi mestikah kita mengadakannya tengah malam?" tanyanya. "Apa tidak lebih baik sore-sore saja? Siapa tahu kita ketahuan guru-guru." "Tak apa. Lebih serem tengah malam, kan?" kata Arabella. "Tak usah mengundang Elizabeth. Ia jahat sekali, jangan-jangan ia malah mengadukan rencana kita ini." "Lalu... siapa yang akan kauundang?" tanya Rosemary. "Siapa saja... kecuali sahabat-sahabat dekat Elizabeth... misalnya Kathleen, Robert, dan Harry. Mereka akan mendukung Elizabeth secara membabi buta. Lagi pula, walaupun diundang takkan mungkin Elizabeth datang. Ia pasti berpendapat pesta tengah malam sesuatu yang menyalahi peraturan. Jangan lupa, ia masih jadi Pengawas." Demikianlah. Sekali lagi anak-anak kelas satu mempunyai suatu rahasia. Dibisikkan dari saru anak ke anak lain. Elizabeth melihat betapa mereka berbisik-bisik, dan terdiam setiap saat dia mendekat. Ia berpikir mereka pastilah berbisik-bisik tentang dirinya lagi, dan ia semakin marah dan bersedih. Julian tentu saja diundang. Begitu juga Martin. Mata hijau Julian bersinar senang mendengar rencana itu. Sesuatu yang membutuhkan keberanian seperti itulah yang sangat disukainya. Anak-anak itu merundingkan di mana saja mereka akan menyembunyikan makanan-makanan untuk pesta tersebut. Mereka tak mau kalau guru-guru mencium adanya rencana pesta itu dengan melihat begitu banyaknya makanan dan minuman. "Kue ulang tahunnya bisa kita makan waktu jam minum teh," kata Arabella, "tetapi yang lainnya kita sembunyikan saja." "Sembunyikan limunnya di gudang kebun," usul Martin. "Aku tahu suatu tempat persembunyian yang baik Biarlah aku yang membawanya ke sana. Kalau waktunya datang, biar aku juga yang mengambilnya." "Dan sembunyikan kaleng biskuit di lemari olahraga di gang," kata Julian. "Lemari itu tak pernah dipakai. Tak seorang pun akan melihatnya. Mana, kusembunyikan sekarang saja." Dan makanan serta minuman itupun di-sebarlah, disembunyikan di sana-sini. Anak-anak yang ikut diundang berdebar-debar penuh harap menantikan saat yang mengasyikkan itu. Mereka yang tidak diundang-jumlahnya sangat sedikit-sama sekali tak tahu apa yang terjadi. Mereka hanya tahu bahwa ada suatu rahasia, dan rahasia itu milik Arabella. Arabella dengan sengaja selalu bercakap-cakap tentang pesta yang akan datang itu dengan suara rendah bila ia melihat Elizabeth mendatangi. Dan bila Elizabeth sudah dekat, ia pura-pura terkejut serta mengalihkan pembicaraannya. Ini membuat Elizabeth sangat gusar. "Tak perlu menduga bahwa aku ingin mengetahui rahasia tololmu itu," katanya pada Arabella. "Jadi bicaralah sesuka hatimu. Aku akan menutup kupingku." Betapapun sungguh tak enak untuk dikucilkan. Lebih tak enak lagi melihat betapa Julian makin lama tampak makin dekat dengan Arabella, berbicara hangat, tertawa ria. Elizabeth tak tahu bahwa Julian sengaja berbuat ini untuk melukai harinya. Sebetulnya Julian juga sangat tidak suka pada Arabella yang suka membual itu. Tetapi baginya apa saja yang bisa menyakiti hati Elizabeth akan dilakukannya dengan gembira. Ulang tahun Arabella tiba. Anak-anak mengucapkan selamat padanya, dan memberinya berbagai hadiah kecil. Arabella menerima itu semua dengan sikap sangat manis dan ucapan yang berbunga-bunga. Tak ragu lagi Arabella memang pandai bertindak kalau saja segalanya sesuai dengan kehendak hatinya. Elizabeth tidak memberi Arabella hadiah apa pun, bahkan mengucapkan selamat saja tidak. Ia melihat Julian memberi hadiah sebuah bros kecil yang dibuatnya sendiri. Lalu secara berlebihan Arabella mengucapkan terima kasih dan langsung memakai bros tersebut. "Oh, Julian, kau memang sahabatku yang terbaik," kata Arabella, mengetahui bahwa Elizabeth ada di dekatnya. "Terima kasih banyak!" Pesta tengah malam itu akan diadakan di ruang bermain. Ruang ini cukup jauh dari ruang tidur guru-guru. Dengan begitu dianggap cukup aman. Hari itu seisi kelas tampak gelisah tapi senang, sehingga Bu Ranger bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang terjadi. Secara kebetulan Elizabeth membuka lemari olahraga di gang untuk mencari bola lacrosse. Heran juga ia melihat sekantong biskuit di tempat itu. "Mungkin ini milik Bu Ranger," pikirnya. "Mungkin ia kelupaan. Baiklah nanti akan kukatakan padanya. Mungkin ia menyimpan biskuit ini di sini untuk dibagikan waktu istirahat." Tetapi Elizabeth kemudian lupa dan tak mengatakan apa yang dilihatnya pada Bu Ranger. Ia sama sekali tak tahu bahwa biskuit tersebut milik Arabella dan akan dimakan di pesta nanti malam. Rahasia Arabella terjaga dengan baik. Anak-anak yang diundang sama sekali tak membocorkannya sedikit pun pada Elizabeth, sebab Elizabeth adalah seorang Pengawas yang mungkin sekali akan menggagalkan rencana mereka. Karena itu Elizabeth dan beberapa anak lain sama sekali tak tahu. Waktu tengah malam tiba, semua anak sudah tidur, kecuali Arabella yang sudah berjanji akan jaga terus sampai waktu yang ditentukan tiba. Ia begitu penuh harapan, hingga tak sulit untuk tak memejamkan mata menunggu saat itu. Dan ketika didengarnya lonceng sekolah berdentang dua belas kali, ia bangkit, memakai gaun kamar, sandal, dan sambil membawa senter kecil membangunkan kawan-kawannya. Sekali sentuh mereka terbangun dan Arabella berbisik pada setiap anak, "Ssssh... jangan ribut, waktu pesta sudah tiba!" Elizabeth tidur nyenyak Begitu juga Kathleen. Mereka tak terbangun saat anak-anak perempuan keluar ke gang dan bergabung dengan anak-anak laki-laki yang juga keluar dari tempat tidur. Mereka berjingkat-jingkat menuju ruang bermain. Terdengar banyak sekali bisik-bisik serta suara-suara tawa yang tertahan. Bagaikan bayangan anak-anak tadi masuk ke ruang bermain dan menyalakan lilin. Mereka tak berani menyalakan lampu, takut kalau cahayanya terlihat dari luar. "Lagi pula lebih asyik pakai lilin," bisik Arabella riang. Inilah sesuatu yang sangat disukainya.... Ia menjadi ratu pesta! Memang cantik sekali ia memakai gaun kamar dari sutra, sandal biru juga dari sutra, dan ia tahu bahwa ia memang tampak cantik. Anak-anak mulai membuka makanan dan minuman. Banyak sekali! "Sarden! Oh, aku sangat suka sarden!" seru Ruth. "Buah persik kaleng! Ooooh... sedaaaaap!" "Sisihkan kue cokelat untukku! Rasanya pasti lezzatt!" "Minta sendoknya, sini, biar kubagikan buah persik ini...." "Jangan begitu ribut, Belinda! Sudah dua kali kau menjatuhkan sendok. Hati-hati, kalau tidak. Bu Ranger pasti datang kemari!" Pop! Sebotol limun dibuka tutupnya. Pop! Pop! Yang lain menyusul. Anak-anak saling pandang dengan hati riang. Ini sudah lewat tengah malam. Dan mereka tidak berada di kamar tidur. Mereka berpesta pora di ruang bermain! "Mana biskuitnya?" tanya Arabella. "Enak sekali bila buah persik ini dimakan dengan biskuit. Tapi mana biskuitnya?" "Oh, aku lupa!" seru Julian, bangkit. "Baiklah. Akan kuambil, Arabella. Tak lama. Hanya di lemari olahraga itu." Julian tidak membawa senter. Ia meraba-raba di kegelapan, di gang, mencoba bergerak tanpa suara. Tetapi tak terduga ia menubruk sebuah kursi yang langsung jatuh dengan mengeluarkan suara keras! Sesaat Julian mematung, memasang telinga. Tempat itu dekat kamar tidur Elizabeth. Dan Elizabeth terbangun! Elizabeth juga memasang telinga, bertanya dalam hati suara apa itu gerangan. "Baiklah kulihat saja," pikirnya kemudian. Ia turun dari tempat tidur, mengenakan gaun kamar dan memakai sandal. Tak diperhatikannya bahwa separo tempat tidur di kamarnya kosong. Ia menyelinap keluar, ke gang, dengan membawa senter. Tanpa menyalakan senter ia merayap sepanjang gang, berhenti sesaat, dan maju lagi. Ia mendengar ada suara seseorang agak jauh di depannya. Perlahan ia merambat maju terus. Seseorang itu berada di dekat lemari olahraga! Jelas Elizabeth mendengar pintu lemari berderit dibuka orang. Siapa itu? Apa yang dilakukannya? Elizabeth maju tanpa suara, dan tiba-tiba menyorotkan lampu senternya. Julian begitu terkejut hingga seakan-akan nyawanya terloncat dari tubuhnya. "Julian! Apa yang kaulakukan? Hei, sungguh jahat kau... kau mencuri biskuit! Sungguh menjijikkan kau ini! Cepat kembalikan!" "Ssssh," bisik Julian, "kau membangunkan semua orang, tolol!" Ia tak berusaha mengembalikan kantong biskuit yang telah diambilnya. Ia bermaksud akan membawanya kembali ke tempat pesta. Tetapi Elizabeth tak tahu tentang itu tentu saja. Ia berpikir bahwa Julian memang sedang mencuri. "Hah, kini kau tertangkap basah!" kata Elizabeth. "Tertangkap dengan barang bukti di tangan! Mana bungkusan itu!" Julian merebut kembali biskuitnya. Dan ini menyebabkan tutup lemari copot dan jatuh dengan suara sangat keras di lantai, suara yang terus menggema sampai jauh di gang. "Anak goblok!" bentak Julian kecewa. "Kini kau betul-betul membangunkan semua orang!" 14. Obat Bersin Jatuhnya tutup lemari itu benar-benar membangunkan banyak sekali orang. Terdengar langkah-langkah kaki dan pintu-pintu dibuka. Para guru pasti akan segera muncul. Julian kabur untuk memperingatkan kawan-kawannya, dan sempat mendorong Elizabeth keras-keras ke samping hingga hampir terjatuh. Elizabeth tak tahu ke mana Julian lari, maka ia pun lari kembali ke kamar tidurnya, dengan pikiran bahwa kini ia telah menangkap basah Julian. "Kini aku akan melaporkannya," pikir Elizabeth naik ke tempat tidur. "Aku harus melaporkannya." Julian masuk ke ruang bermain dan berbisik, "Cepat! Semua kembali ke kamar tidur! Elizabeth sambil memergoki aku waktu aku mengambil biskuit, dan membuat suara ribut sekali. Ayo, cepat! Kalau tidak, bisa tertangkap oleh guru-guru nanti!" Bergegas anak-anak memasukkan apa saja kembali ke laci-laci mereka di sepanjang dinding, atau ke dalam laci meja-meja yang kebetulan kosong. Kemudian lilin ditiup padam, dan mereka kabur sambil berharap semoga mereka tak begitu banyak meninggalkan sisa-sisa makanan. "Sialan Elizabeth," desis Arabella terengah-engah, menanggalkan gaun kamarnya dan naik ke tempat tidur. "Padahal sedang asyik-asyiknya! Merusakkan suasana saja anak itu!" Guru-guru saling tanya, suara apa yang mereka dengar itu. Mam'zelle yang kamar tidurnya paling dekat dengan asrama anak-anak kelas satu, selalu tidur lelap. Ia tak mendengar apa-apa dan tidur terus. Ia terkejut saat Bu Ranger membuka pintunya dan membangunkannya. "Mungkin anak-anak kelas satu saling mengganggu," jawab Mam'zelle mengantuk waktu ditanyai Bu Ranger. "Tolonglah lihat, Bu Ranger." Tetapi ketika Bu Ranger telah sampai ke asrama anak-anak dan menyalakan lampu-lampunya, semua telah sepi. Semua anak tampaknya telah tidur dengan lelap. Bahkan luar biasa lelapnya agaknya. Bu Ranger agak curiga juga. Dari tempat tidurnya Elizabeth melirik Bu Ranger yang menyalakan lampu di kamarnya. Haruskah ia mengatakan apa yang baru saja terjadi? Tidak. Tak usah. Lebih baik bila perkara itu diuraikannya di Rapat Besar besok, agar semua menaruh perhatian. Bu Ranger mematikan kembali lampu-lampu dan pergi ke kamar tidurnya. Ia tak bisa menerka suara apa yang didengarnya tadi. Mungkin kucing milik sekolah telah mengejar sesuatu dan menubruk sesuatu. Tak lama Bu Ranger telah tertidur kembali. Tetapi Elizabeth lama tak bisa tidur. Ia memikirkan Julian dan biskuit yang diambilnya. Kini ia yakin bahwa Julian memang seorang pencuri yang menjijikkan. Semboyannya untuk melakukan apa saja yang disukainya dan membiarkan orang lain melakukan yang disukainya ternyata hanya untuk menutupi kebiasaan buruknya. "Ia akan sangat terkejut nanti bila aku berdiri di Rapat Besar dan membeberkan segala perbuatannya," pikir Elizabeth. Anak-anak sementara itu sangat marah karena Elizabeth telah menggagalkan rencana mereka. "Apakah tidak patut kalau kita beri dia hajaran sepantasnya untuk itu?" kata Arabella dengan gusar. "Tapi... ia sesungguhnya tak tahu apa pun tentang pesta kita," kata Julian. "Mungkin ia keluar dari kamarnya karena heran melihat kalian semua meninggalkan tempat tidur." Elizabeth memang merasa heran-tetapi ia hanya berpikir bahwa anak-anak mengunjungi Arabella untuk bermain-main, sekadar merayakan ulang tahunnya. Ia sama sekali tak berpikir bahwa mereka akan berpesta pora. "Jangan bocorkan rahasia padanya," kata Julian. "Kita mungkin bisa melanjutkan pesta tadi malam itu nanti. Dan kalau ia tahu ia pasti akan mencegahnya lagi." Maka tak seorang pun berkata pada Elizabeth bahwa ia telah menggagalkan pesta mereka. Tak urung banyak sekali yang melontarkan pandangan sangat marah padanya, sehingga Elizabeth sangat heran. Julian merancangkan suatu siasat untuk membalas Elizabeth. Diceritakannya rencana itu pada anak-anak lainnya. "Dengar," katanya, "aku sudah membuat bubuk obat bersin. Akan kusebarkan di antara halaman buku bahasa Prancis Elizabeth. Dan nanti pada pelajaran Mam'zelle ia pasti akan bersin tak henti-hentinya." "Oh, bagus sekali!" seru anak-anak yang lain. Mereka gembira bisa membalas Elizabeth. Sebelum pelajaran sore hari, Julian menyelinap masuk ke dalam kelas. Diambilnya buku bahasa Prancis Elizabeth, dan pada halaman-halamannya disebarkan serbuk halus yang se-cara tak sengaja ditemukannya saat ia sedang mengadakan percobaan untuk membuat sesuatu. Serbuk itu akan membuat orang bersin tak henti-hentinya. Julian memang selalu berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru. sesuatu yang sama sekali belum pernah dipikirkan oleh orang lain. Setelah cukup banyak ia menaburkan bubuk obat bersin itu, hati-hati ditutupnya buku tersebut dan dikembalikannya ke meja Elizabeth. Sambil tersenyum sendiri ia keluar, memikirkan betapa Elizabeth akan mendapat suatu kejutan besar. Begitu juga Mam'zelle. Lonceng berbunyi. Anak-anak memasuki kelas masing-masing. "Bahasa Prancis!" keluh Jenny. "Ya ampun! Kalau sampai Mam'zelle nanti marah, pasti aku akan lupa semua yang telah kuhapalkan." "Aku begitu mengantuk," bisik Arabella pada Rosemary, yang juga tampak lelah karena pesta tengah malam itu. "Kuharap Mam'zelle tidak melampiaskan kemarahannya padaku kalau tiba-tiba ia murka. Kuharap ia akan marah pada Elizabeth. Oh, pasti lucu nanti kalau ia mulai bersin!" Sepuluh menit pertama pelajaran lisan. Kemudian Mam'zelle memerintahkan agar semua mengeluarkan buku bacaan. Elizabeth mengeluarkan bukunya, dan membukanya. Tak memakan waktu lama, obat bersin itu bekerja. Saat Elizabeth membuka-buka halaman bukunya, serbuk lembut halus terbang memasuki hidungnya, menggelitiknya. Ia merasa akan bersin dan cepat-cepat mengeluarkan sapu tangannya. "Hatt-tshi!" Elizabeth bersin. Mam'zelle tak memperhatikannya. "Hatt-tshii!" Elizabeth bersin lagi. Heran juga ia. Apakah ia masuk angin? "HATTTTTTTSHHIIIIII!" Mam'zelle mengangkat kepala. Elizabeth cepat-cepat menahan bersin berikutnya. Hening sejenak. Dan saat itu giliran Jenny membaca keras-keras. Ia sampai ke akhir halaman dan bersama dengan anak-anak lainnya membuka halaman tersebut. Karena membuka halaman itu, debu bubuk bersin di buku Elizabeth terbang lagi, memasuki hidungnya. Ia merasa akan bersin, lalu cepat-cepat mengambil saputangannya lagi. Tetapi ia tak bisa menahan bersin itu. "HATTT-TSHIIIII! HA1TTTT-TSHIIIII!" begitu keras ia bersin, sehingga suara Jenny tak bisa didengar. Satu-dua anak mulai tertawa geli. Mereka menunggu Elizabeth bersin lagi. Dan benar juga, kali ini begitu keras, sehingga Mam'zelle terkejut dan terlompat dari kursinya. "Cukup, Elizabeth!" seru Mam'zelle. "Kau tak boleh bersin lagi. Tidak perlu itu. Jangan ganggu yang lain seperti itu." "Aku tidak bisa hattttttttshi! Menahannya!" terengah-engah Elizabeth menahan bersin, air mata mengalir di pipinya sebab bubuk bersin itu memang sangat kuat. "Hattttttshiiii!" Mam'zelle jadi sangat marah. "Elizabeth! Minggu lalu kaubilang air jatuh dari langit-langit. Minggu ini kauhilang kau mesti bersin. Aku tak suka!" "Hattttttttt-ttttshiiiii!" Elizabeth bersin lagi. Makin banyak anak yang tertawa kini. Mam'zelle tak bisa menahan marahnya, meng-hantam-hantam meja, "Elizabeth! Kau seorang Pengawas, dan kau berlaku seperti ini! Hentikan bersinmu segera!" "Hatttt-TTTSHIII!" Lagi-lagi Elizabeth bersin. Tak tahan lagi seisi kelas tertawa sehingga air mata mereka bercucuran. "Keluar kau! Jangan kembali!" hardik Mam'zelle. "Aku tak mau kau berada di kelasku!" "Tetapi, oh, Mam'zelle, aku mohon... hattt-tttshi! Hattt-tssshi! Oh, Mam'zelle...," sia-sia Elizabeth meminta maaf. Mam'zelle telah mendorongnya ke pintu, mendorongnya ke luar dan menutupnya rapat-rapat. Mam'zelle menghadap ke seluruh isi kelas, dan berkata tegas, "Ini sama sekali tidak lucu. Sama sekali tidak lucu!" Seisi kelas malah tertawa semakin riuh rendah-mereka tak bisa menahan tawa, di sana-sini tertawa terhenti, tetapi di tempat lain muncul, dan akhirnya semua tertawa. Mam'zelle sangat marah. Seisi kelas dihukumnya dengan menyuruh mereka mencatat satu halaman sajak bahasa Prancis. Tetapi bahkan hukuman ini tidak menghentikan tawa mereka. Di luar kelas, Elizabeth bingung dan gusar. "Mengapa aku bersin-bersin seperti itu?" tanyanya dalam hati. "Mengapa di sini aku sama sekali tidak ingin bersin? Apakah aku selesma? Di dalam tadi aku sama sekali tak bisa berhenti bersin. Sungguh kejam Mam'zelle mengusirku, toh bukan salahku!" Dan saat itu muncullah William, Ketua Murid Laki-laki, bersama Pak Lewis, guru musik! Elizabeth bingung. Tapi tak sempat lagi menghindar. William telah melihatnya. William pasti tahu bahwa ia dikeluarkan dari kelas. "Elizabeth!" tegur William. "Kenapa kau? Dikeluarkan lagi? Kudengar dari Rita minggu yang lalu kau dikeluarkan juga. Apakah kau lupa bahwa kau seorang Pengawas?" "Tidak," sahut Elizabeth sedih, "aku tidak lupa. Mam'zelle mengusirku karena aku tak bisa berhenti bersin. Ia mengira aku sengaja berbuat begitu untuk melucu. Tetapi aku memang bersin betulan. Tak bisa kutahan lagi!" "Tetapi sekarang kau tak bersin-bersin," kata William. "Aku tahu. Begitu aku keluar dari kelas, bersinku reda." William melanjutkan perjalanan. Ia yakin Elizabeth sedang berbuat nakal. Ia harus berbicara dengan Rita tentang ini. Tak boleh ada Pengawas sampai dikeluarkan dari kelas. Tak pantas Pengawas memberi contoh buruk. Elizabeth sama sekali tak tahu bahwa ia menjadi korban ulah Julian. Ia hanya menyangka bahwa dirinya terserang flu pilek. Aneh juga bahwa akhirnya ia tidak apa-apa. "Biarlah, pokoknya malam ini aku akan melapor di Rapat Besar," pikirnya. "Sudah pantas Julian dibuka kedoknya di hadapan anak banyak. Aku yakin semua akan percaya pada laporanku. Aku toh seorang Pengawas!" 15. Rapat yang Mengguncangkan Anak-anak memasuki ruang senam. Rapat Besar akan dimulai. Elizabeth begitu tegang. Ia ingin agar Rapat segera selesai, agar semua persoalannya selesai. "Ada uang untuk kotak kita?" tanya William, seperi biasanya. Sepuluh shilling disumbangkan oleh seorang anak yang baru saja menerima wesel dari seorang pamannya. Arabella memasukkan dua pound uang hadiah ulang tahunnya. Ia telah mengerti kini, dan tak mau dilaporkan menyembunyikan uang lagi. Kemudian dua shilling dibagikan pada setiap anak. Dan setelah itu Rita dan William mempertimbangkan permintaan-permintaan uang tambahan. Elizabeth gelisah. Tak bisa duduk tenang. Ia melirik pada Julian. Anak itu tenang-tenang saja, rambutnya seperti biasa turun di dahi hampir menutupi mata. Dan berulang kali Julian harus menepiskan rambut itu ke samping. "Ada keluhan atau laporan?" seperti biasa William bertanya. Seorang anak kecil cepat berdiri sebelum Elizabeth sempat berdiri. "William," kata anak kecil itu, "anak-anak di kelasku selalu memanggilku si Dungu karena nilaiku selalu paling rendah. Kupikir hal itu tidak adil." "Kau sudah berbicara dengan Pengawas-mu?" tanya William. "Sudah," kata anak kecil itu. "Siapa Pengawas-mu?" tanya William. Seorang anak besar berdiri. "Aku," katanya. "Ya. James selalu diganggu temannya. Ia telah banyak ketinggalan pelajaran karena sakit. Tetapi aku telah berbicara dengan gurunya. Menurut gurunya ia bisa mengejar ketinggalannya kalau saja ia mau berusaha, sebab sesungguhnya otaknya cerdas." "Terima kasih," kata William. Pengawas itu duduk. "Nah, James, kaudengar apa kata Pengawas-mu," kata William lagi. "Kau sendiri sesungguhnya bisa mencegah agar tidak dikatakan dungu oleh teman-temanmu. Caranya dengan menggunakan otakmu. Belajarlah lebih giat. Mungkin kau telah terbiasa menjadi juru kunci, sehingga tak sadar bahwa sesungguhnya kau mampu berbuat banyak." "O, begitu," kata James, baru tahu tetapi hatinya senang kini. Lalu ia duduk dengan membantingkan dirinya ke kursi. Anak-anak sekelasnya sesaat bingung, tak tahu apakah harus marah atau tertawa mendengar mereka diadukan. Tetapi tiba-tiba mereka saling menggamit dan tersenyum. James pun berpaling serta ikut tersenyum. "Ada keluhan lain?" tanya Rita. "Ada, Rita," kata Elizabeth, berdiri begitu cepat sehingga kursinya hampir roboh. "Ada keluhan berat yang akan kusampaikan." Terdengar suara bisik-bisik menjalar di antara hadirin. Semua berdebar-debar menunggu. Apa yang akan dikatakan Elizabeth? Arabella jadi sedikit pucat. Apakah Elizabeth akan mengadukannya lagi? Julian dengan tajam melirik pada Elizabeth. Apakah Elizabeth akan mengadukannya? Ternyata memang betul! Elizabeth memulai pengaduannya. Ia begitu tegang sehingga kata-katanya meluncur seakan saling bertubrukan. "Rita, William, ini tentang Julian," katanya. "Untuk beberapa lama aku telah menduga bahwa ia sering mengambil barang-barang yang bukan miliknya. Dan kemarin malam aku telah memergokinya! Ia tertangkap basah olehku. Ia sedang mengambil suatu barang dari lemari olahraga di gang depan!" "Elizabeth, kau harus memberi keterangan yang jelas," kata Rita dengan nada serius. "Kau sedang melakukan suatu tuduhan yang sangat berat akibatnya. Ini harus kita selidiki sampai tuntas. Kalau kau merasa bukti-buktimu tidak cukup, maka kuharap kau segera mencabut pengaduanmu ini, dan membicarakannya dengan kami secara tertutup, tidak di depan umum." "Aku punya bukti!" kata Elizabeth. "Aku melihat sendiri Julian mengambil biskuit dari lemari olahraga. Aku tak tahu punya siapa. Mungkin punya Bu Ranger. Dan malam itu, sewaktu ia mengira semua telah tidur, perlahan-lahan ia keluar untuk mengambilnya. Aku mendengarnya. Aku melihatnya." Sunyi senyap. Anak-anak kelas satu saling pandang, dada mereka berdebar keras. Kini pesta tengah malam mereka akan terpaksa dibeberkan di depan anak banyak. Julian pasti akan terpaksa mengatakan rahasia mereka. William memandang Julian. Julian berlagak tak peduli, duduk seenaknya dengan tangan di saku dan tersenyum-senyum. "Berdirilah, Julian," kata William, "dan ceritakan pada kami bagaimana kejadian itu bisa terjadi." Julian berdiri. Tangannya masih di saku. "Jangan memasukkan tanganmu di saku," tegur William. Julian mengikuti perintah itu. Penampilannya tampak berantakan sekali. Matanya yang hijau bersinar tajam. "Maafkan aku, William," kata Julian. "Aku tak bisa memberikan keterangan, sebab rahasia itu juga menyangkut banyak sekali orang lain. Yang bisa kukatakan di sini adalah-aku tidak mencuri biskuit itu. Aku memang mengambilnya, tetapi tidak mencurinya." Julian duduk Elizabeth langsung berdiri dan berseru, "Kaulihat, Wiliam, dia tak bisa memberi alasan yang tepat!" "Duduklah, Elizabeth." kata William tegas. Ia memandang pada anak-anak kelas satu yang jadi sunyi dan gelisah, tak berani berisik ataupun saling pandang. Julian baik sekali, tidak membuka rahasia mereka. Tetapi betapa tak menyenangkan keadaan ini! "Anak-anak kelas satu," kata William, "aku harap bila ada di antara kalian yang bisa membersihkan Julian dari tuduhan ini, segeralah melakukannya, tak peduli apakah dengan begitu kau membuka rahasia seseorang atau tidak. Kalau Julian, karena rasa setia kawannya pada seseorang atau beberapa orang di antara kalian, tak bisa membela dirinya, maka kalian sendirilah yang harus mempunyai rasa setia kawan padanya dan membela dia." Sunyi sekali. Rosemary gemetar, tapi tak berani bergerak. Belinda sudah separo berdiri, tetapi duduk lagi. Martin diam, tegang, dan pucat pasi. Ternyata Arabella yang kemudian membuat kejutan. Tiba-tiba ia berdiri dan berbicara dengan suara rendah. "William, kurasa lebih baik aku mengatakan sesuatu," katanya. "Kami memang mempunyai suatu rahasia. Dan sungguh baik hati Julian tidak membuka rahasia tersebut. Sebab... sesungguhnya... kemarin ulang tahunku... dan... kami berpikir kami akan... mengadakan pesta tengah malam...." Ia berhenti. Begitu gugup sehingga tak tahu harus berkata apa lagi. Seisi ruangan mendengarkan dengan tegang, menunggu penuh perhatian. "Teruskan," kata Rita lembut. "Kami... kami harus menyembunyikan beberapa makanan dan minuman... di sana-sini...." Arabella melanjutkan. "Semua itu menyenangkan bagi kami. Kami tidak memberi-tahu Elizabeth karena dia seorang Pengawas, dan mungkin akan mencegah kami. Nah, Julian menyembunyikan biskuit kami di lemari olahraga. Dan tengah malam ia pergi untuk mengambilnya. Mungkin saat itulah Elizabeth memergokinya. Tetapi sesungguhnya yang diambil Julian adalah biskuitku. Dan akulah yang minta agar ia mengambilkannya, dan membawanya ke ruang bermain tempat kami akan berpesta. Aku kira sungguh jahat Elizabeth menuduh Julian mencuri. Ini memang pernah dilakukannya sebelumnya. Kami semua tahu apa yang didesas-desuskannya, ia mengatakan bahwa Julian mengambil barang-barang milik orang lain... uang dan permen." Panjang juga perkataan Arabella. Dan tiba-tiba ia menghentikannya, langsung duduk, hampir terengah-engah. Julian memandang padanya dengan penuh terima kasih. Julian tahu bahwa sangat berat bagi Arabella untuk menceritakan tentang rahasia pesta tengah malam itu, sebab ini akan menyudutkannya sendiri. Tetapi hal itu dilakukannya juga. Harga diri Arabella melesat naik di mata Julian-dan di mata anak-anak lain. William dan Rita mendengarkan dengan teliti. Begitu juga Elizabeth. Waktu didengarnya alasan Julian keluar malam itu, ia jadi pucat. Kakinya gemetar. Ia segera tahu bahwa paling tidak dalam satu hal ia telah melakukan sebuah kesalahan besar. William berpaling padanya dan berkata dengan nada tajam dan tegas, "Elizabeth, agaknya kau telah berbuat sesuatu yang tak bisa dimaafkan. Pertama, kau telah menuduh Julian di depan umum bahwa ia melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Bahkan aku merasa pasti, kau belum memintanya untuk memberi keterangan tentang kelakuannya itu, dan langsung memutuskan sendiri bahwa Julian berbuat salah." Elizabeth duduk bagaikan patung. Tak bisa berkata sepatah pun. "Arabella berkata bahwa ini bukannya pertama kalinya kau menuduh Julian dengan tuduhan yang sama. Karena tuduhan terakhirmu ini ternyata tidak benar, maka sangat mungkin tuduhan yang lain juga salah. Maka kami tidak akan mendengarkan tuduhan-tuduhan tersebut di depan umum. Kau harus menerangkannya pada aku dan Rita secara terpisah nanti." "Baiklah, William," kata Elizabeth dengan suara lemah. "Aku... aku sangat menyesal tentang apa yang baru saja kukatakan tadi... aku tidak tahu...." "Itu bukan alasan," tukas William. "Aku tak mengerti apa yang terjadi pada dirimu di semester ini. Semester yang lalu kau kami angkat sebagai Pengawas karena kami merasa yakin kau tepat untuk kedudukan itu. Tetapi ternyata semester ini kau sangat mengecewakan. Aku kira banyak di antara kita yang berpendapat bahwa kau sudah tidak pantas lagi jadi Pengawas." Beberapa orang anak menyatakan persetujuannya dengan mengentakan kaki "Dua kali kau sudah dikeluarkan dari kelas," kata William lagi, "dan dengan alasan yang sama-mengganggu ketenangan kelas dengan berulah nakal. Itu sama sekali bukan perbuatan seorang Pengawas. Elizabeth, kukira kami sudah tidak bisa mengharapkan bantuanmu sebagai Pengawas. Kau harus turun dan membiarkan kami memilih Pengawas baru sebagai gantimu." Ini sudah keterlaluan bagi Elizabeth. Ia tersedu keras, melompat turun dari panggung tempat para Pengawas duduk dan berlari ke luar ruangan. Ia telah gagal. Ia tidak bisa menjadi Pengawas yang baik. Oh, padahal ia begitu bangga akan kedudukan itu! William tidak mencegah Elizabeth lari ke luar. Dengan tegas ia berkata pada hadirin, "Sekarang kita akan memilih Pengawas baru. Harap kalian mulai memikirkan siapa yang harus menggantikan kedudukan Elizabeth." Semua hening. Berpikir-pikir. Rapat Besar itu kadang-kadang cukup mengerikan. Tetapi bagi setiap anak selalu ada pelajaran yang bisa dipelajari. Di Rapat Besar ini mereka tahu bahwa mereka tak boleh menuduh seseorang kalau mereka tak mempunyai bukti yang sangat kuat. Semua melihat betapa menyedihkan akibatnya. Dan mereka tahu hukuman untuk Elizabeth memang sudah pada tempatnya. Kasihan sekali Elizabeth. Selalu saja terjerumus dalam kesulitan karena kurang berpikir. Apa yang akan dilakukannya kini? 16. Elizabeth Menghadap Rita dan William Seorang Pengawas baru dipilih sebagai pengganti Elizabeth. Seorang anak kelas dua bernama Susan. Tak seorang pun anak-anak di luar kelas satu memilih anak kelas satu. Agaknya mereka berpendapat anak kelas satu harus diawasi oleh seseorang yang lebih tua dari mereka sendiri. "Arabella, sungguh berani kau memberikan pengakuan tentang pesta tengah malam itu," kata Rosemary dengan rasa kagum. Semua anak lain juga berpendapat serupa. Arabella merasa bangga akan dirinya. Ia telah melupakan kepentingannya sendiri. Dan ini memang suatu kejutan, bahkan bagi dirinya sendiri. Sungguh senang mengetahui bahwa seluruh kawannya merasa kagum padanya. Hanya satu anak yang gelisah. Julian. Ia merasa sangat marah pada Elizabeth karena menuduhnya begitu berat di depan umum. Tetapi ia juga sadar bahwa Elizabeth dikeluarkan dari dalam kelas karena tipu muslihatnya. bukan karena kenakalan Elizabeth sendiri. Ternyata Elizabeth dicopot dari kedudukannya sebagai Pengawas karena dikeluarkan dari kelas itu-bukan karena menuduhnya mencuri! "Secara tidak langsung mungkin William dan Rita mengatakan bahwa Elizabeth diturunkan dari kedudukannya sebagai Pengawas karena menuduhku dengan tuduhan tak benar," pikir Julian. "Tetapi semua mendapat kesan bahwa Elizabeth dicopot karena dua kali diusir dari kelas, sesuatu yang sesungguhnya bukan kesalahannya. Tapi biarlah. Apa peduliku. Kan dia memang tidak pantas untuk jadi Pengawas." Tetapi ia agak gelisah juga. Sebab seperti juga Elizabeth, ia selalu bersikap adil. Walaupun ia tidak suka pada Elizabeth, ia tak mau Elizabeth menderita karena sesuatu yang sesungguhnya tak dilakukannya. Masih untung ia selamat dari segala tuduhan berkat pembelaan Arabella. Tetapi Elizabeth ternyata paling menderita. Bahkan sahabat-sahabat terdekatnya, Harry, Robert, atau Kathleen, saat itu punya anggapan bahwa Elizabeth memang salah besar sebagai Pengawas. Rapat Besar dibubarkan setelah pemilihan Pengawas selesai. Anak-anak meninggalkan ruang senam, sibuk membicarakan apa yang baru saja terjadi. Selalu ada saja kejutan terjadi pada sebuah Rapat Besar. "Tak ada yang bisa disembunyikan di Sekolah Whyteleafe," kata Eileen, salah satu murid dari kelas tinggi. "Cepat atau lambat, kesalahan seseorang akan muncul dan dibetulkan. Cepat atau lambat suatu budi baik akan terlihat dan mendapat hadiah. Dan itu semua kita lakukan sendiri. Sungguh menyenangkan!" Bu Belle dan Bu Best yang juga hadir mendengarkan secara teliti semua yang terjadi. Waktu rapat selesai, William dan Rita mendatangi kedua pimpinan sekolah itu. "Apakah kami sudah bertindak benar Bu Belle?" tanya William. "Kukira begitu," kata Bu Belle. Dan Bu Best juga mengangguk. "Tetapi, William, harap kau berbicara dengan Elizabeth segera. Biarkan ia mencurahkan segala isi hatinya, apa saja yang dipikirkannya tentang Julian. Ada sesuatu yang mengherankan. Biasanya Elizabeth tak bersikeras tentang sesuatu kalau tidak ada alasan untuk itu. Ada sesuatu yang masih belum kita ketahui." "Ya, kami akan memanggil Elizabeth sekarang juga," kata Rita. "Entah dia ada di mana." Elizabeth berada di kandang kuda. Di kegelapan. Menangis tersedu-sedu memeluk kepala kuda yang biasa ditungganginya. Kuda tersebut mengendus-endusnya, seakan ikut merasakan kesedihan majikan kecilnya. Kemudian Elizabeth mengeringkan air mata, duduk di sebuah ember yang terbalik, di sudut kandang. Ia heran. Ia menyesal akan apa yang telah dikatakannya tentang Julian. Ia malu. Ia kecewa karena telah kehilangan kedudukannya sebagai Pengawas. Ia merasa ia takkan berani menghadapi teman-temannya lagi. tetapi mau tak mau itu harus dilakukannya. "Apa yang terjadi pada diriku?" pikirnya. "Aku telah bertekad untuk menjadi Pengawas yang baik dan membantu siapa saja. Dan ternyata yang terjadi sebaliknya. Aku kehilangan kesabaran dan berbuat buruk sekali. Dan kini semua membenciku, terutama Julian. Aneh juga. Aku melihat sendiri, dialah yang memiliki uang yang kuberi tanda itu. Aku melihat sendiri permenku jatuh dari sakunya. Karenanya waktu kulihat dia mengambil biskuit, aku yakin ia mencurinya. Tetapi ternyata tidak. Lalu, apakah bukan dia juga yang mengambil barang-barang lainnya itu?" Seseorang lewat dekat kandang kuda, dan memanggilnya keras-keras. "Elizabeth! Di mana kau?" Beberapa orang anak telah disuruh mencarinya, memanggilnya untuk menghadap Rita dan William. Seluruh bagian sekolah telah diselidiki. Ia belum ditemukan. Maka Nora pergi ke luar gedung sekolah untuk mencarinya, dengan membawa senter. Mula-mula Elizabeth tak ingin menyahut. Ia sama sekali tak berani kembali ke sekolah dan menghadapi semua anak. Kemudian sedikit keberaniannya timbul. Ia berdiri. "Aku bukan pengecut," pikirnya. "William dan Rita telah menghukumku, tetapi kesalahan yang dituduhkan mereka padaku hanya separo yang benar. Aku memang dikeluarkan dari kelas, tetapi sesungguhnya aku tak melakukan apa-apa. Aku memang menuduh Julian, tetapi saat itu aku mengira bahwa Julian betul-betul berbuat salah. Maka aku harus menghadapi apa pun yang akan terjadi. Tak boleh aku menyerah begitu saja." "Elizabeth, kau di situ?" terdengar suara Nora lagi, dari kejauhan. Kali ini Elizabeth menjawab, "Ya, aku akan datang." Ia keluar dari dalam kandang, menggosok-gosok matanya. Nora menyorotnya dengan senter. "Anak tolol," kata Nora hangat dengan rasa persahabatan. "Kucari kau ke sana kemari. William dan Rita menunggumu." "Baiklah," Elizabeth menghela napas panjang. Apakah ia akan dimarahi lagi, dicerca lagi? Apakah belum cukup ia mendapat malu di depan umum, dan kini harus ditegur lagi secara pribadi? Diusapnya mukanya dengan saputangan, dan ia berlari ke gedung utama sekolah. Ia langsung menuju kamar William dan mengetuk pintunya. "Masuklah," terdengar suara dari dalam. Elizabeth masuk. Dilihatnya Rita dan William duduk dan menunggunya dengan wajah serius. "Duduklah, Elizabeth," kata Rita dengan lembut. kasihan juga ia melihat gadis cilik keras kepala ini, yang begitu sering mendapat kesulitan. Tenang juga hati Elizabeth mendengar suara lembut Rita. Ia duduk. "Rita," kata Elizabeth, "aku sungguh menyesal akan apa yang telah kukatakan tentang Julian. Benar-benar menyesal. Tetapi pada saat itu, kukira apa yang kukatakan betul." "Itulah sebabnya kau kupanggil sekarang ini," kata Rita. "Terangkanlah pada kami sekarang, apa yang tak boleh kaukatakan di depan umum tentang Julian-untuk menjaga kalau-kalau apa yang kaukatakan tidak benar." Elizabeth menceriterakan segalanya pada kedua Ketua Murid itu. Semuanya. Tentang uang Rosemary yang hilang, uang Arabella, dan uang shilling-nya yang telah ditandainya, yang juga hilang, kemudian muncul di tangan Julian. Juga tentang permennya yang hilang dan jatuh dari saku Julian. William dan Rita mendengarkan dengan bersungguh-sungguh dan penuh perhatian. "Apakah kau yakin benar tentang ini semua?" tanya William akhirnya, dengan nada khawatir. Satu hal telah jelas. Ada seseorang yang suka mencuri di kelas satu walaupun itu tidak harus berarti bahwa tuduhan Elizabeth pada Julian benar. Rita dan William sependapat tentang Julian-betapapun nakalnya, berandalnya, dan liciknya Julian, tetapi anak itu berhati jujur. "Saat itu, ya," Elizabeth menjawab. "Karenanya aku mengambil kesimpulan bahwa Julian-lah pelakunya. Dan karena kesimpulan itulah maka aku menuduh Julian mencuri waktu kudapati ia mengambil biskuit di tengah malam." "Elizabeth, mengapa kau berpikir bahwa kau bisa menyelesaikan sendiri persoalan itu waktu pertama kali kau dilapori Rosemary tentang uangnya yang hilang?" tanya Rita. "Itu bukan urusanmu. Tak seharusnya kau memasang jebakan. Seharusnya kau langsung datang pada kami, dan membiarkan kami menanggulanginya. Kau sebagai Pengawas berkewajiban melaporkan hal-hal seperti itu pada kami agar kami bisa memikirkan cara untuk menyelesaikannya.' "Oh, kukira adalah tugasku sebagai Pengawas untuk menyelesaikan persoalan yang ada, tanpa harus membawanya ke Rapat Besar-kalau memang bisa kuselesaikan sendiri," kata Elizabeth heran. "Elizabeth, kau mesti belajar membedakan antara perkara besar dan perkara kecil," kata Rita. "Pengawas harus mengawasi bahwa tak ada anak-anak yang berbicara lagi kalau lampu telah dipadamkan, memberi nasihat bila ada pertengkaran kecil, dan hal-hal semacam itu. Tetapi bila muncul persoalan berat, para Pengawas wajib untuk segera melaporkan kepada kami. Lihatlah apa akibatnya bila kau mencoba menyelesaikan persoalan-persoalan itu sendiri. Kau telah menuduh Julian untuk suatu perbuatan yang sangat keji. Kau memaksa Arabella membuka rahasianya. Kau terpaksa kehilangan kehormatan sebagai seorang Pengawas." "Aku tadinya begitu bangga dan merasa sangat penting karena menjadi Pengawas," kata Elizabeth perlahan, menghapus dua butir air mata yang mengalir di pipinya. "Ya, kau merasa terlalu bangga dan penting," kata Rita. "Begitu bangga, sehingga kau merasa bisa menyelesaikan suatu persoalan yang bahkan bagi Bu Belle sangat sulit untuk dipecahkan. Masih banyak yang harus kau-pelajari, Elizabeth, dan agaknya kau cenderung untuk mempelajarinya dengan cara yang paling sulit, bukan?" "Agaknya begitulah," kata Elizabeth. "Aku tak pernah berpikir panjang, kurang sabar dan terlalu cepat mengambil keputusan, akibatnya aku kehilangan teman-temanku. Dan semuanya!" ia mengeluh panjang. "Yah," kata William. "Tapi ada satu hal yang sangat baik pada dirimu, Elizabeth. Kau punya keberanian untuk mengetahui kesalahanmu, dan itu adalah langkah pertama untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Jangan terlalu khawatir. Kau bisa memperoleh kembali apa saja yang telah hilang darimu asal saja kau bisa menggunakan akal sehatmu." "Kupikir lebih baik kita panggil Julian kemari dan menceritakan padanya apa saja yang telah dikatakan Elizabeth," kata Rita. "Mungkin ia bisa memberi keterangan sedikit-paling tidak tentang uang shilling yang kauberi tanda itu, serta permenmu. Aku yakin bukan dia yang mengambilnya." "Oh, biarkan aku pergi dulu sebelum ia datang kemari," pinta Elizabeth, yang merasa bahwa Julian pasti akan sangat membencinya saat itu. Terbayang olehnya mata hijau anak itu mengutuk dirinya. Tidak, ia tak berani bertemu dengan Julian. "Tidak, kau harus tinggal di sini untuk mendengarkan apa katanya," kata Rita tegas. "Kalau Julian tidak mengambil barang-barang itu, maka ada sesuatu yang aneh dalam peristiwa ini. Kita harus menemukan apa yang aneh tersebut." Terpaksa Elizabeth duduk saja, menunggu kedatangan Julian. Oh, betapa mengerikan hari ini! 17. Berhati Emas Julian segera datang. Ia terkejut juga melihat Elizabeth sudah berada di situ. Ia melirik tajam pada gadis kecil tersebut dan berpaling hormat pada William dan Rita. "Julian, kami telah mendengar banyak sekali hal yang aneh dari Elizabeth," kata William. "Kami yakin kau bisa memberi keterangan. Nah, kini dengarkan apa yang tadi telah dikatakan oleh Elizabeth dan katakan apa pen-dapatmu." Julian mendengarkan saat William menceritakan apa yang didengarnya dari Elizabeth. Julian tampak heran dan bingung juga. "Kalau begitu kini aku mengerti mengapa Flizabeth menuduhku sebagai pencuri," katanya. "Sungguh aneh. Apakah benar aku mempunyai uang shilling yang diberi tanda itu? Dan apakah permen Elizabeth jatuh dari sakuku? Aku memang mendengar sesuatu jatuh, tetapi karena permen itu bukan punyaku, ya tidak kuambil. Aku memang melihatnya di lantai, tapi aku tak tahu kalau permen itu jatuh dari sakuku. Jelas aku tidak menaruhnya di dalam sakuku itu." "Lalu bagaimana bisa sampai di situ?" tanya Rita. "Sebentar, rasanya uang itu masih ada," tiba-tiba Julian berkata dan meraba-raba seluruh sakunya. Memang, uang shilling itu masih ada. Dikeluarkannya, lalu diperhatikannya. Di situ masih terlihat suatu tanda silang hitam yang sangat kecil. "Inilah shilling itu," kata Julian "Dan itu tanda silang yang kubuat," kata Elizabeth, menuding. Heran Julian memeriksa tanda tersebut. "Ya... pikir-pikir... kurasa memang bukan ini uang yang kudapat dari kotak sekolah minggu itu...? Bukan uang shilling baru.... Julian mencoba mengingat-ingat. "Kalau uang baru pasti aku ingat.... Ya, aku ingat sekarang. Yang kuterima adalah dua keping uang shilling lama. Jadi pastilah seseorang telah menaruh uang shilling baru ini di sakuku, dan mengambil yang lama. Mengapa, ya?" "Dan pastilah seseorang telah menaruh permen Elizabeth di sakumu juga," kata William. "Apakah ada orang yang sangat membencimu, Julian?" Julian berpikir sesaat. "Mmm... rasanya tidak ada ... kecuali Elizabeth, tentunya." Elizabeth seketika itu merasa sangat sedih mendengar semua ini. Semua kebenciannya pada Julian lenyap segera, begitu ia sependapat dengan William dan Rita bahwa tak mungkin Julian yang berbuat, bahwa kemungkinan ada orang lain yang mencoba memfitnah Julian. "Elizabeth memang membenci aku," kata Julian lagi, "tetapi aku yakin ia takkan sampai hati berbuat begitu." "Oh, Julian, tentu saja aku takkan melakukan itu," kata Elizabeth, hampir menangis lagi. "Julian, aku tidak membencimu. Aku lebih dari menyesal akan apa saja yang telah terjadi. Aku malu sekali pada diriku sendiri. Aku selalu berbuat tanpa berpikir. Aku tahu kau takkan memaafkan aku." Julian menatap Elizabeth dengan pandangan dingin mata hijaunya. "Aku telah memaafkan kau," katanya tiba-tiba. "Aku tak pernah mendendam. Tetapi aku tak menyukaimu, dan aku takkan bisa jadi sahabat baikmu lagi. Di samping itu... ada sesuatu yang harus kuakui di sini." Julian berpaling pada William dan Rita. "Kau berkata di Rapat tadi bahwa Elizabeth dua kali dikeluarkan dari kelas karena berbuat nakal," katanya. "Sesungguhnya ia tidak bersalah dalam dua peristiwa itu." Julian berpaling pada Elizabeth. "Elizabeth, kau jadi korban jebakanku dengan buku-buku itu. Di bagian bawah buku yang terbawah kupasang sebuah pegas. Secara otomatis pegas tersebut berputar dan mendorong buku-buku itu jatuh. Kemudian ku-tempelkan butir-butir di langit-langit di atas kursimu, sehingga air menetes tepat di kepalamu ketika zat kimia yang ada padanya berubah menjadi air. Dan kusebarkan bubuk obat bersin di halaman-halaman buku bahasa Prancis-mu." William dan Rita terheran-heran mendengarkan penuturan Julian. Mereka hampir tak mengerti apa yang diceritakan Julian. Tetapi Elizabeth tentu saja sangat mengerti, dan ia ternganga memandang Julian. Pegas di bawah buku-bukunya! Butiran air di langit-langit! Bubuk obat bersin di bukunya! Elizabeth hampir tak bisa mempercayai telinganya. Ternganga ia, tertegun memandang Julian, lupa akan air matanya. Dan tiba-tiba saja ia tertawa. Ia tak bisa menahan rasa gelinya. Teringat olehnya buku-bukunya yang meloncat. Teringat olehnya air yang tiba-tiba bisa menetes dari langit. Dan bersinnya yang tak habis-habis itu... semakin teringat, semakin geli, dan semakin ia tak bisa mengendalikan tawanya, lupa bahwa dulu ia memperoleh hukuman berat untuk itu semua. Ia terus tertawa terpingkal-pingkal, sampai tengadah kepalanya, sampai sakit perutnya. Dan ia tertawa terus. William, Rita, dan Julian memandang heran padanya. Dan tak terasa mereka pun ikut tertawa. Suara tawa Elizabeth memang mudah menular, membuat orang lain ingin tertawa juga. Akhirnya Elizabeth memaksa diri untuk berhenti, mengusap air mata tawanya. "Ya ampun!" katanya. "Tak tahu aku mengapa aku bisa tertawa begitu, padahal hatiku sangat sedih. Tetapi aku tak bisa menahannya. Kalau kuingat semua itu, terasa lucu sekali. Sungguh menggelikan membayangkan betapa herannya aku waktu itu." Julian tiba-tiba mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Elizabeth erat-erat. "Kau sungguh sportif," katanya. "Tak pernah aku berpikir bahwa kau akan tertawa seperti itu bila kuceritakan jebakan yang telah kubuat untukmu, untuk membalasmu. Kukira kau akan menangis, atau mengamuk, atau cemberut, tetapi tak pernah kukira kau akan tertawa! Kau sungguh sportif, Elizabeth. Aku kini kembali suka padamu!" "Oh," Elizabeth hampir tak percaya. "Julian, kau sungguh baik! Tapi, lucu juga kau, karena kembali senang padaku hanya karena aku tertawa!" "Sesungguhnya tidak lucu," kata William. "Orang yang bisa tertawa seperti itu padahal tahu bahwa dirinya telah dipermainkan, seperti kata Julian tadi, adalah seorang yang sportif, tahu menghargai kemenangan lawan dan kekalahan diri sendiri. Dan orang macam itu memang disukai orang banyak. Tawamu barusan telah menjernihkan sebagian besar persoalan ini, Elizabeth. Kini kita saling mengerti lebih baik tentang diri kita dan sifat kita masing-masing." Julian masih menjabat hangat tangan Elizabeth. Kulupakan semua tuduhan buruk yang kau-lontarkan padaku. Dan kaulupakan segala muslihatku yang mencelakakan kau. Jadi kini kita impas, seri," katanya. "Maka marilah kita mulai lagi. Maukah kau jadi sahabat baikku?" "Oh, ya, tentu saja, Julian," Elizabeth berseru gembira. "Aku senang sekali. Dan aku takkan peduli kau membuat hujan atau badai, atau bubuk apa saja di bukuku kini. Aku kini merasa bahagia kembali." William dan Rita saling pandang, tersenyum. Agaknya Elizabeth begitu mudah terlibat kesulitan, tetapi begitu mudah pula lolos dari kesulitan itu. Ia begitu sering melakukan hal-hal yang tolol, pemarah, sering berbuat salah- tetapi sesungguhnya baik hati. "Yah... agaknya sebagian besar dari persoalan ini sudah jelas," kata William. "Cuma kita masih belum tahu siapa sebenarnya yang jadi pencuri, dan ini cukup mengkhawatirkan sebab ia mungkin masih akan mencuri lagi. Kita harus segera mengetahuinya secepat mungkin, agar tidak timbul persoalan lain. O, ya, Elizabeth, bagaimana teman-temanmu bisa tahu tuduhan pertamamu pada Julian? Apakah kau mengatakannya pada seseorang?" "Tidak, sepatah kata pun tidak," kata Elizabeth. "Aku telah berjanji takkan mengatakan, maka tak kukatakan." "Aku pun tak mengatakan pada siapa pun," kata Julian. "Tapi, Julian, ada satu anak lagi yang tahu," kata Elizabeth tiba-tiba, tampak sedikit khawatir. "Martin Follett. Ia berada di dalam kandang kuda, ketika kita bertengkar di luar kandang itu. Ia kemudian keluar setelah kau pergi. Ia menawarkan akan memberiku satu shilling sebagai pengganti uangku yang hilang. Kukira baik hati benar ia menghiburku. Tetapi ia berjanji untuk tidak mengatakan pada siapa pun apa yang didengarnya." "Pasti ia tak menepati janjinya, bajingan kecil itu!" desis Julian yang entah kenapa memang tak pernah menyukai Martin Follett. "Tetapi, kurasa tak apalah. Dan... terima kasih, William, Rita, karena telah mendamaikan kami berdua, serta membuat kami bisa berpikir lebih jernih." Tiba-tiba ia menyeringai lucu, mata hijaunya berseri-seri. Elizabeth memandang pada Julian, dan hatinya merasa hangat. Bagaimana dulu ia sampai berpikir bahwa Julian mampu berbuat sekotor itu? Sungguh keji tuduhannya. Sungguh keterlaluan ia tak pernah memberi orang lain kesempatan untuk menjelaskan sesuatu. "Ia berkata bahwa ia akan melakukan apa saja yang disenanginya, tak peduli pekerjaan apa pun. Dan tak mau bekerja kalau ia memang tak merasa ingin. Ia tak peduli harus terlibat dengan kesulitan apa pun. Dan ia kaya dengan begitu banyak muslihat. Tetapi aku yakin seyakin-yakinnya bahwa ia berhati emas," pikir Elizabeth. Dan pada saat yang sama Julian menyeringai pada Elizabeth dan berpikir, "Ia begitu pemarah, begitu tak sabaran, suka bertindak tolol, mudah sekali menanam permusuhan- tetapi aku yakin seyakin-yakinnya bahwa ia berhati emas!" "Selamat malam, Para Pembuat Onar," kata William, dan dengan hangat dan ramah mendorong keduanya keluar dari kamarnya. 'Elizabeth, sayang sekali kau tidak lagi jadi Pengawas. Kau sendiri mengerti kini, bahwa kau harus mempunyai cara berpikir yang lebih matang agar anak-anak lain mempercayaimu lagi. Kau memang sering tak berpikir panjang kalau melakukan suatu maksud." "Aku tahu kini," kata Elizabeth. "Kali ini aku memang gagal. Tetapi aku akan berusaha untuk memperoleh kesempatan lagi. Dan pasti berhasil." Keduanya meninggalkan kamar William. William dan Rita saling pandang. "Kedua anak itu punya pribadi yang sangat menarik," kata William. "Ayo, kita buat minuman panas, Rita. Sudah malam ini. Heran. Siapa pencuri di kelas satu itu, ya? Pasti anak kelas satu juga. Bukan saja pencuri, tetapi juga tukang fitnah. Betapa menjijikkan ia, menimpakan segala kesalahannya pada Julian, dengan jalan menaruh uang shilling dan permen itu." "Ya, pastilah yang berbuat itu anak yang sangat jahat hatinya," kata Rita. "Anak yang sangat sulit untuk diinsyafkan. Entah seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan." Julian dan Elizabeth pergi ke ruang bermain mereka. Sudah hampir waktu tidur. Tinggal seperempat jam untuk bersantai. "Biarlah aku masuk ke ruang bermain bersamamu," kata Julian, dan Elizabeth meremas tangannya dengan rasa syukur. Julian telah merasa bahwa Elizabeth pasti akan menemui kesulitan bila muncul sendiri di depan semua anak kelas satu. Akan sangat berat baginya menghadapi mereka semua, pada saat ia mendapat malu dan bukan lagi seorang Pengawas. "Terima kasih, Julian," kata Elizabeth, dan dibukanya pintu ruang bermain. 18. Julian Berlaku Sangat Lucu Anak-anak kelas satu memang sedang membicarakan Elizabeth. Mereka saling tanya di mana kira-kira Elizabeth berada. Kebanyakan berkata bahwa Elizabeth memang sudah sepatutnya mendapat hukuman. Dan tak ragu-ragu lagi semuanya memihak pada Julian. "Akan kukatakan pada Julian apa pendapatku sebenarnya tentang Elizabeth," kata Arabella. "Aku memang tak pernah menyukainya. Bahkan pada waktu aku tinggal di rumahnya." "Sungguh sayang Elizabeth menuduh Julian tanpa bukti-bukti yang lengkap," kata Jenny. "Kukira ia memang takkan bisa memperoleh bukti. Itu dilakukannya hanya karena merasa iri. Iri tidak kuundang menghadiri pestaku," kata Arabella dengan ketus. "Karena itulah ia mencoba membalas pada Julian dengan menuduhnya secara membabi buta." "Tak mungkin. Aku kenal betul pribadi Elizabeth," kata Robert. "Ia memang sering berbuat salah, tetapi ia bukannya seorang pendendam." "Pokoknya aku tak mau berbicara sepatah kata pun padanya," kata Martin Follett. "Kukira ia terlalu jahat pada Julian." "Sssh, awas, dia datang," tiba-tiba Belinda berkata. Pintu terbuka. Elizabeth masuk Ia telah menduga bahwa ia akan disambut dengan pandangan masam. Bahkan beberapa orang anak langsung membuang muka. Tepat di belakangnya, Julian melangkah masuk. Sekilas ia melihat betapa anak-anak kelas satu itu agaknya telah sepakat untuk menyiksa perasaan Elizabeth. "Julian," kata Arabella manis, "kami semua merasa kasihan padamu, harus menghadapi Rapat seperti itu tadi. Sungguh keterlaluan, bukan?" "Ya, kau pasti merasa sangat gusar tadi," kata Martin. "Aku sendiri sudah gusar sekali." "Aku tadi memang gusar," kata Julian dengan suaranya yang begitu enak didengar. "Sekarang tidak lagi. Ayo, Elizabeth, masih ada waktu sepuluh menit. Kita main dua-satu. Mana kartunya?" "Di laciku," kata Elizabeth, bersyukur dalam hati. Sungguh mengerikan memasuki ruangan itu, menghadapi sekian banyak pandang membenci. Untunglah jelas-jelas Julian membelanya, jelas-jelas Julian jadi sahabatnya kembali. Ia lalu mengambil kartu dari dalam laci. Anak-anak yang ada di ruang bermain itu ternganga keheranan. Kenapa Julian itu? Apakah ia sudah gila? Ia berbaik hati pada anak yang tadi menuduhnya dengan tuduhan yang begitu keji? Sungguh tak mungkin! Tak mungkin terjadi! Tetapi jelas hal itu terjadi. Julian membagikan kartu, dan berdua mereka sudah tenggelam dalam keasyikan permainan kartu tersebut. Hening sekali ruangan itu Tak ada yang bisa berbicara melihat keanehan tersebut. Akhirnya Arabella-lah yang memecahkan kesunyian, "Julian, kau ini bagaimana sih? Apakah kau tidak tahu bahwa Elizabeth musuhmu yang paling jahat?" "Kau salah, Arabella," sahut Julian dengan nada ramah. "Ia adalah sahabat terbaikku. Ternyata semua tadi terjadi hanya karena salah paham." Ada sesuatu pada cara Julian berbicara yang memperingatkan ia tak mau diganggu. Karenanya mereka pun sibuk kembali dengan berbagai permainan mereka sendiri. "Terima kasih, Julian," bisik Elizabeth. Ceria mata hijaunya menatap Elizabeth. "Tenang-tenang saja," katanya. "Kau bisa mengandalkan aku kalau ada kesulitan. Musuh yang Paling jahat!" "Oh, Julian!" seru Elizabeth, setengah tertawa setengah menangis. Lonceng waktu tidur berbunyi. Semua merapikan barang masing-masing dan pergi ke ruang tidur di atas. Beberapa hari setelah itu Elizabeth masih merasa tertekan jiwanya. Anak-anak lain tak semudah Julian dalam memaafkan dan melupakan kesalahannya. Mereka dingin terhadapnya. Hanya beberapa yang benar-benar bersikap manis, di antaranya Kathleen, Robert, dan Harry. Yang lain mendiamkannya, tak menganggapnya hadir di dekat mereka, dan tampak merasa gembira karena ia sekarang sudah bukan Pengawas lagi. Joan dari kelas dua, yang dahulu sahabat karib Elizabeth di semester satu, datang menemuinya. Dijabatnya tangan Elizabeth erat-erat dan berkata, "Aku belum bisa mengetahui dan memastikan yang mana yang salah dan yang mana yang benar dalam perkara ini. Tetapi aku yakin bahwa kau takkan mengatakan apa yang kaukatakan itu, bila kau tak merasa yakin bahwa kau benar. Sudahlah, tak usah kaupikirkan lagi. Sebentar saja peristiwa itu akan dilupakan. Dan kau akan bisa terpilih jadi Pengawas lagi." Elizabeth gembira sekali mendengar kata-kata menghibur dari sahabat-sahabatnya. "Kini bisa kurasakan betapa bahagianya seorang yang sedang menghadapi kesulitan mendapat hiburan dari orang lain. Aku harus selalu ingat saat-saat ini, dan harus bersedia memberikan kata-kata penghiburan pada mereka yang menderita-bila kelak keperluan untuk itu muncul." Elizabeth tampak agak pendiam. Ia belajar dan belajar terus. Suara tawanya yang begitu riang jarang sekali terdengar. Dan Julian sering menggoda hal ini. "Kalau kau terus-terusan begini, bisa-bisa kau jadi seperti Rosemary nanti," kata Julian. "Ayolah, Elizabeth, tertawalah sedikit. Aku tak ingin punya sahabat yang selalu berwajah murung." Tetapi Elizabeth baru saja memperoleh guncangan batin. Sulit juga ia melewati masa ini. Julian selalu memikirkan apa yang bisa dilakukannya untuk mengembalikan pribadi ceria Elizabeth. Dirancangkannya beberapa muslihat lucu. Ia bercerita pada teman-teman sekelasnya. "Dengar," katanya, "kalau Pak Leslie, guru IPA kita nanti membawa kita berpraktek di laboratorium, aku akan membuat beberapa suara. Tapi kalian sama sekali tak boleh menunjukkan bahwa kalian mendengar suara-suara itu. Mengerti? Kalian harus pura-pura tak mendengar apa-apa. Dan pasti lucu nanti jadinya." Pelajaran IPA memang agak membosankan semester itu. Pak Leslie juga membosankan, di samping kadang-kadang terlalu keras. Anak-anak tak begitu menyukainya, karenanya mereka sangat setuju akan rencana Julian. Dengan harap-harap cemas, pagi itu dengan penuh semangat mereka pergi ke laboratorium. "Kau akan membuat suara apa?" tanya " Belinda. "Tunggu saja nanti," kata Julian menyeringai. "Pasti lucu, dan Pak Leslie akan keheranan." Pak Leslie masuk, berjalan dengan kaku. Ia mengangguk membalas hormat anak-anak dan mempersilakan mereka duduk. "Pagi ini, anak-anak," katanya, "kita akan mengadakan percobaan menyelidiki terjadinya molekul kanji pada kentang. Kalian akan menerima irisan tipis-tipis kentang ini dan..." Ia terus berbicara sambil membagikan irisan-irisan tipis kentang. Tak lama anak-anak sudah mulai tekun melakukan percobaan mereka. Tiba-tiba suatu suara aneh berangsur-angsur mulai terdengar. Bagaikan suara peluit bernada tinggi, begitu tinggi sehingga mungkin sangat mirip dengan decitan kelelawar yang berkepanjangan, atau suara gesekan biola pada senar yang paling tegang. "Iiiiiiiiiiiii," begitu suara itu. "Iiiiiiiiiiiii...." Diam-diam anak-anak melirik pada Julian. Tetapi Julian tampak sibuk bekerja, dan tak terlihat gerakan sedikit pun pada mulut, bibir, ataupun lehernya. Aneh. Mereka tahu pasti Julian yang bersuara itu. Tetapi bagaimana? Pak Leslie mengangkat muka, memandang tajam. "Suara apa itu?" tanyanya segera. "Suara?" tanya Jenny dengan air muka heran. "Suara apa, Pak?" "Suara bernada tinggi itu," sahut Pak Leslie tak sabar. Jenny memiringkan kepalanya, bagaikan seekor burung, berbuat seolah-olah serius mendengarkan sesuatu. Anak-anak lain berbuat serupa. Dan pada saat itu sebuah pesawat terbang, terbang melintas. "Oh, itu suara pesawat terbang, Pak Leslie," kata Jenny cepat. Semua tertawa mendengar ini. Pak Leslie mengerutkan kening. "Jangan bercanda, Jenny. Aku tahu benar suara pesawat terbang. Dengar, itu dia terdengar lagi." "Iiiiiiiiiiiiiiii...." Semua orang mendengar suara itu, tetapi berbuat pura-pura tak mendengar. Mereka semua menundukkan kepala, melakukan penyelidikan, sambil menyembunyikan tawa mereka. Julian mengubah suaranya. Dan terdengar kini suara geram anjing besar. Pak Leslie sangat terkejut. "Apakah ada anjing di sini? Masuk?" tanyanya. "Anjing, Pak Leslie?" Belinda pura-pura heran, melihat berkeliling. "Rasanya tak ada." Elizabeth susah payah menahan tawanya. Lalu ia pura-pura terbatuk-batuk. Suara geraman anjing itu terdengar terus, kadang-kadang keras, kadang-kadang pelan. Pak Leslie sama sekali tak mengerti. "Apakah kau tak mendengar?" tanyanya pada salah seorang murid di dekatnya. "Seperti suara geraman." "Tadi Pak Leslie berkata ada suara bernada tinggi," kata Harry, tampak sangat heran. "Sekarang suara geraman. Mana yang benar? Suara bernada tinggi yang menggeram, ataukah suara bernada geram yang tinggi?" Tawa Elizabeth meledak lagi. Jenny menutupi mulutnya dengan saputangan. Pak Leslie sudah hampir marah besar. "Tak ada yang harus ditertawakan," hardiknya. "Ya ampun! Apa lagi itu?" Julian telah mengganti suaranya. Kini terdengar suara berdebam-debam. Rasanya suara tersebut datang dari arah yang tak tentu. Yang jelas tidak datang dari tempat Julian. Pak Leslie mulai ketakutan. Ia memperhatikan anak-anak. Tak seorang pun di antara mereka yang terlihat mendengar suara tadi. Aneh. Kalau begitu pasti kupingnyalah yang tak beres. Ditutupnya kupingnya. Mungkin ia sakit. Kalau orang sakit memang biasa mendengar suara-suara aneh di telinganya. Debam. Debam. Debam. Suara aneh itu terdengar terus. "Apakah kau mendengar suara berdebam-debam?" tanya Pak Leslie perlahan pada anak yang kebetulan dekat dengannya. Anak itu, Harry, pura-pura mencoba mendengarkan dengan teliti. Dimiringkannya kepalanya, dibengkokkannya telapak tangannya di belakang telinga, dan didengarkannya dengan kedua telapak tangan di belakang kedua telinganya. Tak tertahankan tawa Elizabeth meledak sesaat. Jenny juga tertawa kecil. Pak Leslie memandang tajam pada keduanya. Kemudian ia berpaling kepada Harry "Kalau kau tak bisa mendengarnya, pasti ada yang tak beres dengan telingaku. Teruskan pelajaran kalian. Jangan tertawa, Jenny!" Suara berikutnya adalah suara mirip pintu pagar berderit terbuka. Ini sudah keterlaluan bagi Pak Leslie. Sambil mengguman bahwa ia tak enak badan, ia bergegas keluar kelas sambil menyuruh anak-anak melanjutkan pekerjaan mereka. Melanjutkan pekerjaan? Mana mungkin! Kelas langsung ribut dengan suara tawa terpingkal-pingkal, tak ada yang terkecuali, semua tertawa tak henti-hentinya. Air mata mengalir di pipi Jenny. Harry sampai terguling-guling di lantai, menekan perutnya yang sakit karena tertawa. Elizabeth tertawa terus-menerus, dan menularkan tawa itu pada siapa pun yang mendengarnya. Julian tenang-tenang saja berdiri di tengah keributan tersebut, menyeringai puas. "Oh, bagus sekali tadi itu," kata Elizabeth akhirnya, menghapus air matanya. "Belum pernah aku tertawa seperti itu. Oh, Julian, kau benar-benar hebat. Harus kaulakukan sekali lagi. Luar biasa!" Semua jadi riang gembira kembali. Tawa yang bagaikan badai itu telah menjernihkan udara kelas satu dari segala permusuhan dan kebencian. Tiba-tiba saja semua merasa bersahabat kembali. Betapa menyenangkan untuk bisa tertawa bersama, bermain bersama, dan bersahabat. Tiba-tiba saja menyenangkan sekali berada di kelas satu itu. 19. Julian Mendapat Guncangan Batin Keberhasilan Julian di kelas Pak Leslie membuat ia semakin merajalela. Ia mencoba beberapa suara di kelas Mam'zelle dan juga di kelas melukis. Di kelas Mam'zelle ia menirukan suara sapi, tanpa ia tahu bahwa Mam'zelle sangat takut pada sapi. Kasihan Mam'zelle. Ia benar-benar mengira bahwa ada sapi berjalan di gang di luar kelas. Gemetar ia ketakutan berdiri di sudut kelas. "Ada sapi!" katanya gemetar. "Ada sapi di luar!" "Moooooooooooo!" seru sapi itu. Tubuh Mam'zelle tampak sekali menggeletar. Ia memang sangat takut pada sapi. Dan selalu berusaha menjauhinya bila ada sapi di mana pun. "Biarkan aku mengusir sapi itu, Mam'zelle," kata Jenny. Ia bergegas keluar dan tak lama terdengar suaranya seolah-olah mengusir sapi. Ini membuat seluruh isi kelas tertawa tak henti-hentinya. Dan kemudian Mam'zelle jadi curiga. Ia ingat bahwa tak mungkin ada sapi berjalan di gang sekolah, la memandang tajam pada Julian. Apakah anak nakal itu menggodanya dengan keahliannya meniru suara? Anak kelas satu mendapat banyak sekali hiburan dari suara-suara yang dibuat Julian. Juga muslihat-muslihatnya. Rasanya tak habis-habisnya siasatnya untuk membuat seluruh kelas tertawa. Otaknya yang cemerlang menemukan tipuan demi tipuan lucu dan begitu cerdik, sehingga tak pernah ada seorang guru pun yang bisa dengan pasti menentukan bahwa Julian-lah yang berbuat. Julian mempergunakan lagi bubuk bersin. Kali ini untuk mengganggu Pak Lewis, guru musik, waktu mengajar menyanyi. Pada pelajaran tersebut dua atau tiga kelas biasanya digabung dan tak terkirakan ributnya gabungan kelas tersebut saat semua terlanda badai tertawa melihat Pak Lewis bersin tak henti-hentinya setiap kali membuka halaman buku musik Dalam waktu singkat Julian menjadi sangat terkenal di sekolah itu oleh ulahnya yang luar biasa lucu dan aneh. Tetapi di pandangan mata para guru ia tidak mempunyai nama baik. Mereka sering membicarakannya, kadang-kadang dengan marah, kadang-kadang dengan sedih. "Sesungguhnya ia adalah murid terpandai yang pernah ada di Whyteleafe ini," kata Bu Ranger. "Tak ada yang menandinginya. Kalau saja ia mau bekerja keras, dan belajar tekun, dengan mudah ia bisa memenangkan bea siswa apa pun juga yang ada. Tetapi ia hanya mempergunakan otaknya yang cemerlang untuk bermain-main saja." "Ia tak pernah menggunakan otaknya itu untuk belajar," kata Pak Leslie gusar. Ia kini sudah merasa yakin bahwa suara-suara aneh yang didengarnya di pelajaran IPA dibuat oleh Julian. Setiap kali teringat hal itu, selalu timbul rasa marahnya pada Julian. Tetapi anak itu, seolah-olah untuk mengganti suasana belajar yang dirusaknya di laboratorium, telah membuat suatu karangan ilmiah yang sangat cemerlang, yang bahkan Pak Leslie sendiri akan bangga bila bisa menulisnya. Tak pelak lagi memang Julian seorang anak yang aneh. Di Rapat Besar berikutnya, di mana Elizabeth sudah tidak duduk lagi di antara para juri, gadis kecil itu minta waktu untuk berbicara. "Aku ingin berkata di sini bahwa segala tuduhanku pada Julian ternyata tidak benar," katanya dengan nada menyesal. "Hal ini telah kukatakan padanya dan ia menerima permintaan maafku dengan baik. Kami berdua kini sudah bersahabat kembali, sebagai bukti bahwa ia memang telah memaafkan aku. Aku minta maaf pula pada kelasku, bahwa aku berlaku buruk sebagai seorang Pengawas. Kalau kelak aku memperoleh kesempatan lagi, aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi Pengawas yang baik." "Terima kasih, Elizabeth," kata William saat Elizabeth selesai berbicara. "Kita semua gembira bahwa Julian telah bersih dari segala tuduhan, dan gembira pula bahwa ia telah berlapang dada untuk memaafkanmu dan menerimamu sebagai sahabatnya lagi." William berhenti sejenak. Julian menyeringai pada Elizabeth dan Elizabeth tersenyum. Kemudian William melanjutkan perkataannya, kali ini suaranya bernada tajam. "Tetapi aku harus mengatakan sesuatu pada Julian," katanya. "Sesuatu yang mungkin tak enak. Julian, semua gurumu merasa tidak senang atas kelakuanmu. Bukan saja karena kau berbuat berbagai ulah di kelas yang cukup mengganggu pelajaran, tetapi mereka menyayangkan bahwa kau menggunakan otakmu yang cemerlang hanya untuk melucu. Semua guru sependapat bahwa kecerdasanmu jauh di atas rata-rata. Kau sering menemukan sesuatu yang sama sekali baru serta sangat berguna. Kecerdasan semacam itu akan sangat berguna kelak bagi dunia, kalau mulai sekarang telah dipupuk untuk memikirkan hal-hal yang bermanfaat, dan bukannya untuk bercanda dan berbuat berbagai hal yang sama sekali tak ada gunanya." William berhenti sesaat. Merah wajah Julian. Ia memasukkan tangannya dalam-dalam ke saku. Ini sesuatu yang tak dikehendakinya, ditegur di depan anak banyak. "Memang menyenangkan untuk membuat seluruh kawanmu tertawa, memang menyenangkan untuk jadi pahlawan karena leluconmu," kata William, "tetapi akan lebih baik lagi bila itu kausertai dengan kerja keras agar kelak kau bisa jadi pahlawan pula di bidang ilmiah atau di bidang penemuan." "Oh, aku tak peduli apakah kelak bila dewasa aku terkenal atau tidak," kata Julian agak kurang ajar. Ia memang selalu bersikap kurang ajar bila merasa tersinggung. "Aku hanya ingin bersenang-senang, mengerjakan apa yang aku sukai dan membiarkan orang lain melakukan apa yang mereka sukai. Kerja keras bagiku hanyalah untuk mereka yang tolol saja...." "Berdirilah bila kau berbicara dan keluarkan tanganmu dari saku," sela William. Julian mengerutkan kening. Tetapi akhirnya berdiri juga dan mengeluarkan tangannya dari saku. "Maaf, William," katanya dengan mata hijaunya bersinar agak marah, "tak banyak yang akan kukatakan lagi. Otakku kan milikku sendiri. Biarkan aku menggunakannya semauku. Segala nasihatmu tak berarti apa-apa bagiku." "Bisa kulihat itu," kata William, "dan sayang sekali. Agaknya kau hanya memperhatikan dirimu sendiri, memperhatikan apa yang kauingini saja. Suatu hari kau akan berpikiran lain. Tetapi entahlah apa yang akan mengubah pendirianmu. Kurasa hanya sesuatu yang mengguncangkan batinmu saja yang bisa membuat kau berubah pendirian," Julian duduk. Wajahnya merah. Enaknya saja, pikirnya. Untuk apa menggunakan otaknya untuk bekerja keras, padahal ia masih punya begitu banyak waktu untuk bersantai, bermain, dan membuat kawan-kawannya tertawa. Tidak, terima kasih. Masih ada waktu baginya untuk menggunakan otak itu kelak, bila ia sudah harus mencari nafkah sendiri. Elizabeth tak berkata apa-apa pada Julian tentang pembicaraan William. Dulu ia juga pernah mengatakan hal seperti itu, waktu ia masih menjadi Pengawas. Dan tanpa hasil. Sesungguhnya itu bukanlah nasihat asal nasihat saja. Itulah akal sehat. Sungguh keterlaluan Julian tak mau bekerja keras. Ia bisa memenangkan berbagai bea siswa yang luar biasa dan bisa melakukan berbagai karya besar bila dewasa nanti. Sungguh aneh bahwa ia tak punya cita-cita seperti itu. Satu-satunya akibat dari nasihat William adalah bahwa Julian semakin rendah lagi nilainya di kelas. Biasanya ia hanya dekat dengan kedudukan paling bawah, tetapi pada minggu berikutnya kedudukannya begitu rendah, bahkan Julian sendiri merasa heran sewaktu angka-angka hasil pekerjaan mereka dibacakan. Tapi Julian kemudian hanya menyeringai gembira. Ia sama sekali tak peduli apakah berada di tempat paling bawah atau tidak. Hari-hari berlalu. Segera juga pertengahan semester hampir tiba. Anak-anak mulai berbicara tentang orangtua mereka yang diperkenankan datang menjenguk pada pertengahan semester. Elizabeth berbicara dengan Julian tentang hal itu. "Apakah ayah-ibumu datang, Julian?" tanya Elizabeth. "Kuharap begitu," kata Julian. "Aku ingin memperkenalkanmu dengan ibuku. Manis sekali! Benar! Selalu riang, gembira, dan manis!" Julian tampak hangat bila berbicara tentang ibunya. Tak ragu lagi pastilah anak itu sangat mencintai ibunya. Tentu saja ia mencintai ayahnya juga, namun ia lebih mencintai ibunya yang cantik dan periang-menurut katanya. "Karena ibukulah aku memanjangkan rambutku ini," kata Julian pada Elizabeth. "Ibu menyukai cara bercukurku yang aneh ini, serta rambut panjang yang selalu terurai ke dahi ini. Karenanya aku takkan mengubahnya agar ia senang. Dan ia juga sangat suka pada lelucon, muslihat, ataupun suara-suara yang kubuat." "Apakah ia tidak akan kecewa bila tahu bahwa kau selalu berada di urutan paling bawah?" tanya Elizabeth ingin tahu. "Ibuku akan sangat malu kalau nilaiku turun." "Oh, ibuku hanya ingin agar aku bersenang-senang," kata Julian. "Ia sama sekali tak peduli aku berada di urutan keberapa, atau apakah aku nomor satu dalam ujian." Elizabeth berpikir bahwa aneh juga ibu Julian. Seperti Julian juga-menyenangkan tetapi aneh. Hari yang ditunggu itu tiba. Para orangtua murid pun berdatangan. Nyonya Allen langsung memeluk Elizabeth. "Kau kelihatan sehat sekali, Sayang," kata Nyonya Allen. "Ayolah, kita harus mengajak Arabella juga, bukan? Kasihan kan, tak ada yang mengajaknya jalan-jalan...." "Oh, Ibu," kata Elizabeth agak muram, "apakah kita harus mengajak dia?" Terpandang olehnya Julian, dan dipanggilnya anak itu, "Julian! Ini ibuku. Ibumu sudah datang?" "Belum," kata Julian, tampak khawatir. "Ibuku belum datang. Padahal ia berjanji akan datang agak awal. Mungkin mobilnya mogok di jalan?" Tepat saat itu telepon di ruang depan berbunyi keras. Pak Johns menerima telepon tersebut. Beberapa saat kemudian ia memanggil Julian, mengajaknya masuk ke sebuah kamar terdekat. Elizabeth bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi. "Ibu, aku harus menunggu sampai Julian keluar sebelum kita berangkat nanti," katanya. Ternyata ia tak harus menunggu lama. Pintu terbuka. Julian keluar. Tetapi alangkah jauh bedanya dengan Julian yang selalu periang! "Julian! Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Elizabeth. "Pergilah," kata Julian kasar. Wajahnya pucat dan matanya seakan menderita, dan seolah tak melihat ia mendorong Elizabeth minggir, dengan kepala tunduk menuju ke kebun. Heran Elizabeth tertegun. Dan berpaling pada Pak Johns. "Pak Johns! Pak Johns! Apa yang terjadi? Tolong katakan, apa yang terjadi dengan Julian," desak Elizabeth. "Ada berita dari rumahnya," kata Pak Johns. Ibunya sakit keras. Keadaannya gawat. Kau tahu, ayahnya seorang dokter, dan kini sedang mencoba merawat ibu Julian dengan bantuan beberapa orang dokter ahli lainnya. Keadaannya gawat sekali, sehingga bahkan Julian sendiri tak diperkenankan mengunjunginya. Sungguh suatu pukulan keras bagi Julian. Mungkin kau bisa membantunya, Elizabeth. Kau sahabatnya, bukan?" "Benar," kata Elizabeth. Hatinya penuh kehangatan ingin menghibur Julian. Julian begitu bangga akan ibunya, begitu cinta pada ibunya. Bagi dia ibunya itu merupakan orang yang paling manis di seluruh dunia. Dan kini ibunya sakit keras!. Elizabeth lari ke ibunya, tergesa-gesa berkata, "Ibu, maaf, aku tak bisa keluar hari ini. Ibu Julian sakit keras, aku sebagai sahabatnya harus menghiburnya. Bagaimana kalau Ibu pergi bersama Arabella saja. Kukira aku terpaksa harus di sini saja dengan Julian." "Baiklah," kata ibu Elizabeth, dan pergi mencari Arabella. Elizabeth sendiri sudah berlari mencari Julian. Entah ke mana anak itu tadi bersembunyi. Pasti bagaikan seekor binatang yang terluka, ia mencoba mencari tempat untuk bersembunyi dan menyembuhkan lukanya itu. Kasihan sekali Julian. Apa yang bisa dikatakannya untuk menghiburnya? 20. Julian Berikrar Di mana-mana Julian tak tampak. Ke mana ia pergi? Elizabeth bertanya pada Harry, "Harry, kaulihat Julian?" "Ia tadi lari menghambur ke luar pagar," kata Harry. "Kenapa sih dia?" Elizabeth tidak menjawab. Ia berlari ke luar pagar. Mungkinkah Julian pergi ke stasiun dan mencoba untuk naik kereta api, mengunjungi ibunya? Elizabeth kebingungan di tepi jalan. Memandang jauh-jauh ke ujung jalan itu. Dan... di kejauhan tampak seorang anak lelaki. Itu pasti Julian! Elizabeth menghambur lari. Ia harus mengejar Julian. Julian sedang sedih. Ia harus bisa menolongnya. Anak di kejauhan itu, yang juga berlari, telah lenyap di tikungan. Elizabeth mempercepat larinya. Di tikungan ia berhenti. Tak tampak ada anak di jalan itu. Bagaimana Julian bisa lenyap dalam waktu yang begitu cepat? Tak mungkin ia telah mencapai tikungan yang jauh di depannya itu! Ragu-ragu Elizabeth berlari terus. Ia sampai di tikungan kedua. Di jalan utama juga tak tampak seorang pun. Ke mana Julian pergi? Cepat Elizabeth berlari kembali. Mungkin Julian memasuki padang rumput, menerobos pagar di sisi jalan itu. Dengan kebingungan Elizabeth terus berlari, tak memperhatikan telepon umum di boks kecil di pinggir, jalan yang dilewatinya. Ia sangat terkejut saat tiba-tiba didengarnya pintu boks telepon umum itu terbuka dan terdengar suara Julian memanggilnya tergesa-gesa. "Elizabeth! Oh, Elizabeth! Kau bawa uang kecil?" Elizabeth berhenti, berpaling. Ternyata Julian berada di dalam boks telepon umum itu. Ia segera berlari mendekat, tergopoh-gopoh mencari uang kecil di sakunya. "Ya. Ini uang enam penny" katanya. "Kau sedang apa?" "Menelepon ayahku," kata Julian. "Kata Pak Johns aku tak boleh menelepon, sebab ayahku berkata ia tak ingin diganggu oleh telepon atau apa pun juga. Memang kukira benar juga. Tetapi aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan saja. Tetapi aku tak punya uang cukup untuk menghubunginya." Elizabeth memberikan semua uangnya. Julian menutup pintu tempat telepon, dan Elizabeth menunggu di luar. Lama juga ia menunggu. Seperempat jam kemudian telepon ke ayahnya baru tersambung. Julian nampak gelisah. Hal itu kelihatan dari luar, di mana ia berulang kali menaikkan rambutnya yang terurai ke depan. Wajahnya begitu pucat dan menderita hingga ingin sekali Elizabeth ikut masuk ke dalam boks telepon itu dan segera menghiburnya. Akhirnya Julian berhasil juga bicara dengan ayahnya. Elizabeth dapat melihat Julian bertanya dengan gaya tegang. Lima menit Julian berbicara dengan ayahnya. Kemudian ia meletakkan telepon. Dan keluar dengan wajah pucat pasi. "Aku ingin muntah," katanya, sementara wajahnya yang putih tampak kehijau-hijauan. Digandengnya tangan Elizabeth, berjalan terhuyung masuk pagar di tepi jalan, ke padang rumput. Ia duduk. Mukanya masih hijau. Tapi agaknya tak jadi muntah. Perlahan kesan hijau di wajahnya lenyap. "Aku sungguh tolol," katanya kemudian dengan kepala tunduk tanpa melihat Elizabeth, "tetapi aku tak bisa berbuat lain. Tak ada yang tahu betapa aku mencintai ibuku. Betapa manis dan penuh kasih sikapnya padaku." Elizabeth melihat bahwa Julian berusaha keras untuk tidak menangis. Ia sendiri juga ingin menangis. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya duduk rapat-rapat pada Julian, memegang tangannya. Tapi akhirnya berkata juga Elizabeth dengan suara lemah, "Apa kata ayahmu?" "Katanya-katanya-sedikit sekali kemungkinan Ibu bisa sembuh." Julian berkata terbata-bata, kemudian ia menggigit bibir. "Hanya sedikit sekali kemungkinannya. Elizabeth, aku tak tahan memikirkan hal itu." "Julian... dokter zaman ini sangat pandai," kata Elizabeth. "Aku yakin ibumu pasti tertolong. Mereka pasti berusaha keras untuk menolongnya." "Kata ayahku mereka mencoba mengobatinya dengan obat baru," gelisah Julian mencabuti rumput di dekatnya. "Katanya, ia dan dua orang dokter lain telah bertahun-tahun mengembangkan obat baru itu. Kini obat itu hampir siap. Ia sedang menyiapkan sejumlah obat tersebut kini untuk dicobakan pada Ibu. Kata ayahku obat itulah satu-satunya harapan terakhir. Dengan obat itu ada sedikit kemungkinan bagi ibuku untuk sembuh." "Julian, ayahmu pasti pandai sekali," kata Elizabeth. "Oh, Julian, pasti senang sekali untuk bisa menjadi sepandai itu, menemukan obat-obatan yang bisa menolong orang lain. Bayangkan saja... bayangkan saja... obat penemuan ayahmu berhasil menolong nyawa ibumu! Aku yakin kepandaian ayahmu menurun padamu, Julian. Kau juga cerdas. Mungkin suatu hari kau akan berhasil menyelamatkan nyawa seseorang yang kaucintai dengan obat penemuanmu sendiri!" Elizabeth menyatakan itu semua untuk menghibur Julian. Tetapi ia jadi sangat terkejut sewaktu Julian malahan mengempaskan diri ke rumput dan menangis tersedu-sedu. "Ada apa? Jangan begitu," pinta Elizabeth. Tetapi Julian tidak memperhatikannya. Setelah beberapa lama ia bangkit, duduk, dan mencari saputangan di sakunya. Ia tak menemukan saputangan itu. Terpaksa ia menggunakan tangannya untuk menghapus mukanya yang kotor. Elizabeth mengulurkan saputangannya dan diterima oleh Julian, dipakai untuk mengusap muka. "Kalau obat penemuan Ayah yang menyembuhkan ibuku, maka itu karena kerja kerasnya selama bertahun-tahun, karena ia menggunakan otaknya sebaik mungkin," kata Julian, seakan-akan pada dirinya sendiri. "Tadinya ku-f pikir sungguh tolol ia bekerja begitu keras, hampir tak pernah bersantai atau berlibur." Ia mengusap matanya lagi. Elizabeth mendengarkan penuh perhatian, tak berani menyela. Julian berbicara dengan bersungguh-sungguh. Mungkin inilah saat yang paling penting da-lam hidupnya, saat ia harus memilih jalan yang nanti akan ditempuhnya: jalan santai yang selama ini dianutnya, atau jalan kerja keras yang telah ditempuh ayahnya, kerja keras tak mengenal lelah dan tak mengharapkan upah demi bisa menolong sesamanya. Julian berbicara lagi, masih seolah-olah pada dirinya sendiri, "Aku juga dikaruniai otak yang cemerlang. Tetapi aku telah menyia-nyiakan-nya. Dan karenanya sudah sewajarnyalah aku menerima hukuman seperti ini. Dan ayahku, ia telah menggunakan otaknya sebaik mungkin selama bertahun-tahun. Mungkin untuk itu ia akan menerima imbalannya-dengan berhasil menyembuhkan ibuku. Imbalan yang paling indah baginya! Oh, kalau saja ibuku selamat, aku akan bekerja keras selalu, takkan mengenal istirahat lagi. Ini memang hukuman bagiku. William telah berkata suatu hari aku akan mengubah pendirianku, dan itu hanya akan kulakukan bila aku mendapat guncangan hebat. Mungkin inilah yang dimaksudnya." Julian menyisihkan rambutnya, mengatupkan bibirnya yang gemetar. "Otakmu sangat cemerlang, Ju," kata Elizabeth perlahan. "Sering kudengar guru-guru berbicara tentangmu. Mereka berkata kau bisa melakukan apa saja yang kaukehendaki, apa saja di dunia ini. Dan kupikir, kalau seseorang mempunyai suatu bakat atau otak yang cemerlang, maka ia akan merasa sangat bahagia bila bisa menggunakannya. Dan ia juga akan membawa kebahagiaan bagi orang lain. Aku bukannya mau sok menasihati, Julian. Sama sekali bukan!" "Aku tahu," kata Julian. "Kau memang benar, dan perkataanmu memang masuk akal. Oh, mengapa tak kutunjukkan pada Ibu apa yang bisa kulakukan, pada waktu aku bisa melakukannya? Ia akan begitu bangga padaku. Ia memang selalu berkata bahwa ia tak peduli apa saja yang kulakukan, bahkan bermalas-malasan pun aku diperkenankannya-tetapi tentu saja ia akan bisa lebih bangga bila aku tidak berbuat itu, tidak bermalas-malasan dan bercanda terus-menerus. Kini sudah terlambat bagiku untuk membuatnya bangga." "Tidak, tidak terlambat," kata Elizabeth. "Kau tahu masih ada harapan bagi ibumu untuk sembuh. Ayahmu sendiri yang berkata begitu. Betapapun, tak peduli apa yang akan terjadi, kau toh bisa saja bekerja keras dan menggunakan otakmu sebaik-baiknya dan melakukan sesuatu untuk umat manusia. Kau bisa jadi apa saja yang kaukehendaki!" "Aku akan jadi ahli bedah," kata Julian, mata hijaunya bersinar-sinar. "Aku akan mencari pengobatan terbaik untuk menyembuhkan orang. Aku akan bekerja keras melakukan ratusan percobaan. Aku akan menemukan obat-obat yang bisa membuat jutaan orang sehat kembali." "Kau pasti bisa melakukannya, Julian. Cita-citamu itu pasti terkabul!" kata Elizabeth. "Aku yakin itu." "Tetapi bila cita-citaku itu terkabul lalu untuk apa? Ibuku toh tak bisa menyaksikannya," kata Julian, dan tiba-tiba bangkit, pergi ke pagar. "Oh, Elizabeth, aku mengerti kini mengapa ini semua terjadi padaku. Hanya dengan cara beginilah aku bisa mengerti bahwa aku salah, bahwa selama ini .perbuatanku sungguh memalukan diriku.... Aku ingin... aku ingin..." Ia berhenti berbicara. Ingin sekali Elizabeth mengetahui apa yang diinginkan oleh Julian. Sesungguhnya Julian ingin berkata bahwa sebenarnya pelajaran sekeras itu tak perlu dijatuhkan padanya, toh ia akan mengerti. Tetapi kemudian ia ragu-ragu. Apakah benar ia bisa mengubah pendiriannya kalau tidak ada kejadian seperti itu? Perlahan Julian meninggalkan padang rumput tadi. Diikuti oleh Elizabeth. Mereka berdua berjalan perlahan menuju sekolah, lewat jalan besar. Dan kebetulan mereka melewati sebuah gereja kecil. Pintunya terbuka. "Aku akan masuk ke sana," kata Julian. "Aku akan mengikrarkan sesuatu. Rasanya sangat tepat bila aku berikrar di dalam gereja. Ikrar yang akan mengikatku seumur hidup. Jangan ikut masuk, Elizabeth," Ia memasuki gereja yang bercahaya remang-remang itu. Elizabeth duduk di bangku kayu di depan gereja, dengan mata kosong memperhatikan bunga-bunga dafodil pertama yang beterbangan ditiup angin. "Lebih baik aku berdoa juga," kata Elizabeth dalam hati. "Mudah-mudahan ibu Julian cepat sembuh. Tetapi aku mendapat firasat itu suatu hal yang tidak mungkin. Kasihan Julian. Ia akan terpaksa harus bekerja keras tanpa ibunya bisa merasa bangga akan dia, tanpa dorongan kasih sayang ibunya untuk mencapai cita-citanya yang begitu mulia." Beberapa saat kemudian Julian keluar. Kini ia tampak lebih tenang. Matanya yang hijau seolah memancarkan kedamaian dan kekerasan hati. Elizabeth yakin bahwa apa pun yang diikrarkan Julian di dalam gereja itu, pasti akan dipenuhinya dan takkan pernah diingkarinya. Otak Julian tak akan dipakai hanya untuk bercanda lagi. Kini seluruh hidupnya akan disumbangkannya untuk keperluan umat manusia, seperti yang telah dilakukan oleh ayahnya. Mungkin seperti yang dikatakannya tadi ia akan jadi ahli bedah, atau seorang dokter yang mampu berbuat berbagai mukjizat ilmiah. Tanpa berkata sepatah pun keduanya berjalan menuju sekolah. Sekolah itu sepi. Anak-anak telah pergi dengan sahabat atau ayah-ibu mereka, berjalan-jalan. Julian mengembalikan saputangan Elizabeth yang kini telah sangat kotor. "Sayang sekali kau tak jadi jalan-jalan," katanya dengan tersenyum. "Tetapi rasanya tanpa kau entah apa jadinya dengan diriku." "Mari kita bawa makanan ke padang rumput, dan berpiknik sendiri," usul Elizabeth. Julian menggelengkan kepala. "Tidak," katanya. "Aku ingin berada di sini. Siapa tahu ada kabar untukku. Mungkin hari ini tak ada. Kata ayahku, ia baru bisa memberi kabar setelah satu-dua hari. Tetapi siapa tahu...." "Ya," kata Elizabeth, "baiklah. Biar kutemani kau. Mari pergi ke kebun. Kita bekerja saja di sana. John mungkin tak ada, tetapi aku tahu apa yang bisa kita kerjakan. Ada beberapa benih selada yang harus ditanam. Dan ada beberapa lubang yang harus digali. Kaukira kau bisa melakukan itu?" Julian mengangguk. Mereka ke luar, ke kebun, dan segera sibuk bekerja di bawah terik matahari dan embusan angin. Betapa menyenangkan bekerja seperti itu. Betapa menyenangkan punya sahabat yang siap mendampinginya terus bila kesulitan tiba. 21. Pengakuan Martin Hari itu tak ada berita dari ayah Julian. Hanya sebuah pesan bahwa keadaan ibunya tetap saja tidak membaik dan tidak pula memburuk Anak-anak lain ikut bersedih mendengar keadaan ibu Julian. Mereka berusaha keras untuk menghiburnya. Dan sungguh aneh, tampaknya Martin yang paling sedih di antara semua anak kelas satu. Ia pun tampak gelisah. Aneh juga, pikir Elizabeth. Martin bukanlah sahabat Julian. Bahkan Julian tak begitu menyukai Martin, serta sering menunjukkan perasaan itu di depan yang lain. Lalu mengapa? Seakan menjawab pertanyaan Elizabeth itu, tiba-tiba Martin mendekatinya. "Bisakah aku berbuat sesuatu untuk membantu Julian?" tanya Martin mula-mula. "Sesuatu... apa saja... yang bisa kulakukan untuk mengurangi kesedihannya?" "Kurasa tidak ada," kata Elizabeth. "Sungguh baik hatimu punya maksud seperti itu, Martin, tetapi bahkan aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa baginya." "Bagaimana pendapatmu? Ibunya akan sembuh?" tanya Martin lagi. "Aku khawatir... hal itu sulit sekali terjadi," kata Elizabeth. "Pasti akan sangat berat bagi Julian bila berita buruk itu akhirnya datang. Kurasa lebih baik kita tidak mengganggunya, Martin, walaupun maksud kita sesungguhnya baik." Martin makin gelisah, bermain-main tak keruan dengan buku dan pensil. Elizabeth jadi terganggu juga melihat tingkah Martin. "Kau ini kenapa sih, Martin? Gelisah sekali tampaknya," katanya. "Kau membuat meja ini terguncang-guncang! Diamlah. Aku ingin menulis." Di ruang bermain itu hanya ada seorang anak lain kecuali Martin dan Elizabeth, yaitu Belinda. Tetapi Belinda agaknya sudah selesai dengan entah apa yang sedang dilakukannya. Ia berdiri dan keluar. Martin menutup pintu dan makin mendekat pada Elizabeth. "Aku ingin minta nasihatmu tentang sesuatu, Elizabeth," katanya tiba-tiba. Gugup. "Jangan padaku," kata Elizabeth segera. "Aku bukan lagi seorang Pengawas. Aku bukan orang yang tepat bagimu untuk dimintai nasihat. Pergilah ke Pengawas-mu yang baru. Ia lebih bisa berpikir tenang." "Aku tidak kenal Susan, aku hanya kenal kau," kata Martin. "Ada sesuatu yang sangat mengacaukan pikiranku, Elizabeth-dan kini karena Julian sedang mendapat kesulitan, pikiranku semakin kacau saja. Aku juga sangat mencintai ibuku. Aku tahu bagaimana perasaan hati Julian. Dengarkanlah apa yang ingin kukatakan, Elizabeth." "Martin, jangan katakan padaku," kata Elizabeth. "Aku betul-betul takkan bisa menolongmu. Bahkan aku tak yakin pada diriku sendiri lagi Aku selalu saja berbuat keliru. Lihat saja betapa aku menuduh Julian mencuri. Aku akan merasa malu seumur hidupku bila teringat hal itu. Apalagi ternyata Julian begitu baik, mau memaafkanku. Lebih baik kau pergi saja ke Susan." "Aku tak bisa minta nasihat seseorang yang tidak kukenal dengan baik," kata Martin. "Aku tak ingin minta bantuanmu atau minta pertolonganmu. Aku hanya ingin menceritakan sesuatu, agar tak lagi terlalu berat terasa di hatiku," "Baiklah, baiklah," kata Elizabeth akhirnya. "Apakah kau telah melakukan suatu kesalahan? Sudahlah. Jangan bergerak terus begitu, Martin, kenapa sih kau ini?" Martin duduk Menopang kepalanya dengan kedua tangannya. Menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya. Elizabeth melihat wajahnya menjadi merah. Kenapa Martin? Dan waktu Martin berbicara, mukanya masih ditutupinya dengan telapak tangan. Suaranya tak begitu jelas terdengar. "Aku... akulah yang mengambil uang... banyak sekali... dari Arabella... dan Rosemary... dan kau... dan banyak lagi yang lain.... Aku juga mengambil permen dan cokelat... dan biskuit dan kue...." Elizabeth ternganga. Terpaku. Heran. Terkejut. "Kau... kau pencuri!" katanya kemudian dengan sangat gusar. "Kau pencuri tak tahu malu! Huh! Sok berlagak pemurah segala! Kau bahkan menawarkan untuk memberiku uang satu shilling sebagai pengganti uangku yang hilang. Padahal kau sendiri yang mengambilnya! Dan kau juga bermaksud memberi Rosemary uang, sehingga ia begitu senang padamu. Martin Follett, kau betul-betul jahat. Palsu. Tak tahu malu. Munafik... pura-pura pemurah tetapi sebetulnya pencuri!" Martin tak berkata sepatah pun. Terus saja bertopang dagu menutupi mukanya. Elizabeth begitu marah. Dan jijik. "Untuk apa kauceriterakan ini padaku? Aku tak ingin mendengarnya. Aku telah menuduh Julian yang malang itu untuk perbuatan yang sesungguhnya kaulakukan! Dan, Martin, pasti kau juga yang menaruh uang shilling bertanda itu di saku Julian dan juga permen itu, agar aku mengira bahwa dialah yang berbuat. Bagaimana kau bisa begitu kejam?" Martin mengangguk. Dan masih menutupi mukanya. "Ya, aku yang berbuat itu. Aku begitu ketakutan waktu kulihat bahwa uang shilling itu bertanda. Lagi pula aku tak pernah merasa suka pada Julian, karena ia tidak me-nyukaiku. Aku takut kalau sampai kesalahanku kauketahui, maka takkan ada yang mau bersahabat denganku lagi. Padahal aku ingin sekali punya banyak kawan. Hampir tak ada seorang pun yang benar-benar menyukaiku." "Astaga!" kata Elizabeth gusar. "Sudah terlalu buruk kelakuanmu, mengambil uang dan yang lain. Masih juga kautambah dengan memfitnah orang. Itu bukan saja jahat, tetapi juga sangat pengecut! Aku tak tahu mengapa kau menceritakan ini semua padaku. Mestinya kau-ceritakan langsung pada William dan Rita. Bukan aku!" "Aku tak sanggup," keluh Martin. "Pikirkan akibat perbuatanmu itu!" kata Elizabeth keras, makin lama makin marah bila teringat akibat perbuatan Martin. "Kau membuatku menuduh Julian mencuri. Ia marah, dan membalas dengan berbagai tipuan sehingga aku dikeluarkan dari kelas, sehingga aku dicopot dari kedudukanku sebagai Pengawas. Martin Follet, kau ini anak yang paling busuk hatinya yang pernah kutemui. Alangkah baiknya kalau kau tidak menceritakan ini semua padaku." "Aku... aku tak tahan memikirkan bahwa akulah yang telah menjerumuskan Julian dalam kesulitan... dan makin tak tahan lagi aku kini, saat Julian begitu merasa sedih," kala Martin. "Karena itulah kuceritakan ini semua padamu, agar lega sedikit hatiku. Agaknya hanya inilah yang bisa kulakukan untuk Julian." "Lebih baik lagi bila kau tidak memberi pengakuan ini padaku," Elizabeth bangkit berdiri. "Aku tak bisa menolongmu, dan walaupun bisa aku tak sudi menolongmu. Kau busuk hati, pengecut, dan jahat. Tak pantas kau bersekolah di Whyteleafe ini. Lagi pula, aku kini sedang sibuk memikirkan Julian, tak punya waktu untuk memikirkan kau!" Dengan marah Elizabeth meninggalkan ruangan itu. Sungguh menjijikkan! Bayangkan... berbuat serupa itu! Mencuri! Memfitnah! Membiarkan orang lain menderita! Tepat saat Elizabeth keluar, Rosemary masuk. Elizabeth langsung pergi ke ruang musik, mengeluarkan buku musiknya dan mulai berlatih sambil berpikir tentang Julian, dirinya sendiri, dan Martin Follett. Beberapa lama kemudian, pintu ruang berlatih itu terbuka. Rosemary menjenguk ke dalam. Mukanya yang lembut manis itu tampak agak ketakutan saat Elizabeth melotot padanya. Tetapi kali ini agaknya Rosemary berhasil memberanikan diri. Walaupun kening Elizabeth berkerut, masuk juga ia, dan menutup pintu. "Mau apa kau?!" kata Elizabeth kasar. "Kenapa Martin?" tanya Rosemary. "Apakah ia sakit? Tampaknya ia sangat menderita waktu aku masuk tadi." "Bagus," kata Elizabeth, meneruskan berlatih kembali. "Syukur!" "Kenapa?" tanya Rosemary heran. Elizabeth tak mau menceritakan sebabnya. "Aku tidak suka pada Martin," katanya, sambil terus bermain. "Kenapa tidak?" tanya Rosemary. "Ia kan baik hati. Kau tahu, ia selalu memberi permen dan sebagainya. Dan kalau ada yang kehilang-an uang, ia sering bersedia memberi sedikit uangnya. Aku pikir ia anak yang paling murah hati. Ia tak pernah makan permen. Ia mengumpulkan begitu banyak permen hanya untuk dibagi-bagikan. Ia anak yang paling tidak pernah memikirkan dirinya sendiri." "Pergilah, Rosemary, aku sedang berlatih," kata Elizabeth yang merasa tak senang karena Martin dipuji-puji. "Tetapi, Elizabeth, sebenarnya Martin yang malang itu kenapa?" desak Rosemary, untuk kali ini lupa pada sifat pemalunya. "Kasihan betul dia. Apakah kau baru saja mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya? Kau tahu betapa kejinya kau terhadap Julian. Kau tak pernah memberi kesempatan pada anak yang kau kira berbuat salah, ya?" Elizabeth tidak menjawab. Rosemary keluar, dan di luar kebiasaannya ia mengempaskan pintu sampai berdebam tertutup. Ia marah sekali pada Elizabeth. Ia tak mau kembali pada Martin, sebab tadi Martin juga tak mau berbicara dengannya dan malah akhirnya menyuruhnya pergi. Sungguh membingungkan. "Aku merasa pasti Elizabeth bertengkar dengan Martin," katanya dalam hati. "Tetapi ternyata tak ada gunanya bagiku untuk menanyakannya langsung pada Elizabeth." Tetapi sesungguhnya ada juga gunanya. Sebab begitu Rosemary pergi, Elizabeth merenungkan kembali kata-kata Rosemary tadi tentang Martin. Tiba-tiba saja terasa betapa anehnya kata-kata tersebut. "Rosemary berkata Martin anak pemurah hati, melebihi siapa pun yang dikenalnya," pikirnya. "Ia berkata Martin tak pernah makan permen, selalu memberikan permennya pada anak lain. Dan bila seseorang kehilangan uang, ia selalu bersedia untuk menggantinya. Memang benar, ia bermaksud memberiku uang dan permen. Aneh sekali. Mencuri kemudian memberikan hasil curiannya pada anak lain. Sungguh ajaib!" Elizabeth berhenti berlatih. Berpikir terus tentang Martin. Bagaimana Martin bisa jahat tetapi juga murah hati? Bagaimana ia tega membuat orang lain sedih dengan jalan mengambil barang-barang mereka, tetapi mampu membuat orang lain senang dengan memberi mereka uang dan barang lainnya? Sama sekali tak masuk akal. Tetapi ini memang terjadi! Tak salah lagi! "Ia mencuri bukan untuk dirinya sendiri," pikir Elizabeth. "Aneh. Alangkah senangnya kalau aku bisa bertanya pada seseorang tentang ini. Tetapi aku tak mau pergi ke Susan. Dan yang pasti aku tak mau sekali lagi menghadap William dan Rita. Aku tak mau mereka berpikir aku ini suka ikut campur urusan orang. Lagi pula aku sekarang kan bukan Pengawas. Sialan juga si Martin itu, pakai cerita segala padaku." Beberapa hari lamanya ia berpikir-pikir terus. Kemudian sesuatu membuatnya lupa pada persoalan Martin yang terus menghantuinya. Sesuatu yang terjadi di kelas matematika. Anak-anak sedang tekun belajar waktu itu. Tiba-tiba jauh di ruang depan terdengar telepon berbunyi. Dua-tiga kali baru diangkat oleh seseorang. Kemudian terdengar langkah bergegas sepanjang gang, makin lama makin dekat. Terdengar ketukan di pintu. Seorang pelayan sekolah masuk, berbicara pada Bu Ranger. "Maaf, Bu, ada telepon penting untuk Tuan Julian. Interlokal. Karenanya saya tidak langsung menghubungi Bu Belle, takut kalau terputus sebelum Tuan Julian bisa menerimanya." Bagaikan terbang Julian meninggalkan bangkunya, sebelum pelayan itu menyelesaikan kalimatnya. Dengan wajah pucat pasi ia berlari di gang, ke ruang depan. Jantung Elizabeth bagaikan berhenti berdenyut. Akhirnya! Suatu berita buat Julian! Tetapi apakah berita buruk? Berita baik? Seisi kelas menunggu. Hening. "Semoga kabar baik... semoga kabar baik...," pikir Elizabeth berulang-ulang. Begitu gelisah, sehingga ia sama sekali tak merasa penanya membuat noda-noda tinta besar di halaman buku yang sedang dihadapinya. 22. Martin Semakin Mengherankan Lamat-lamat terdengar suara gagang telepon ditaruh. Kemudian suara langkah mendekat tergesa-gesa kembali ke ruang kelas. Pintu kelas terbuka. Julian masuk Wajahnya berseri-seri. Dengan mata bersinar. Dan bibir tersenyum. "Kabar gembira!" ia berseru. "Ibuku membaik!" "Horeeeeee!" tak terasa Elizabeth berteriak, dengan perasaan gembira meluap, tetapi entah kenapa ia juga ingin menangis. "Oh, bagus sekali!" seru Jenny. "Hebat!" teriak Harry mengentak-entakkan kaki ke lantai. Anak-anak lain juga ribut sekali, seolah-olah mereka merasa harus berbuat ribut untuk menyatakan kegembiraan hati mereka. Jenny tanpa alasan menghantam punggung Belinda. Beberapa orang anak bertepuk tangan. Semua merasa gembira! "Syukurlah, Julian," kata Bu Ranger. "Sungguh tegang tadi kami menanti. Sekarang kekhawatiran kita bersama telah lenyap. Bagaimana ibumu?" "Sangat baik," kata Julian dengan wajah cerah. "Dan ini karena obat ajaib ciptaan Ayah dan kedua orang rekannya, yang telah merek, kembangkan selama beberapa tahun! Harapan bagi ibuku. Tetapi ternyata memang harapan itu menjadi kenyataan. Pagi ini masa krisis telah dilewati. Dan ia pasti membaik! Wah, rasanya aku tak bisa belajar lagi pagi ini!" Bu Ranger tertawa. "Tinggal lima menit sebelum istirahat. Baiklah. Semua boleh menyimpan buku masing-masing. Dan pelajaran ini kita anggap selesai saja, untuk melepaskan rasa tegang kalian. Semua ikut bergembira atas kabar baik ini, Julian!" Maka kelas satu pun keluar, beristirahat sebelum waktunya, ribut bergembira, berhamburan ke taman, membuat kelas-kelas lain merasa heran. Elizabeth menyeret Julian ke sebuah sudut yang sepi. "Julian! Luar biasa sekali, bukan? Kau sekarang tak usah bersedih hati, bukan?" katanya. "Tentu! Aku merasa sangat berbahagia," kata Julian. "Aku merasa bahwa aku diberi kesempatan sekali lagi untuk menunjukkan pada ibuku bahwa ia bisa bangga akan aku. Wuah! Betapa aku akan bekerja keras nanti. Aku akan merebut semua nilai tertinggi! Aku akan merebut semua bea siswa yang bisa kudapat! Aku akan menempuh ujian kedokteran pada usia semuda mungkin! Aku akan menggunakan otakku seperti belum pernah kugunakan sampai saat ini!" "Dalam minggu ini kau pasti nomor satu," kata Elizabeth. "Tetapi kau akan tetap lucu, bukan?" "Yah... aku tak tahu tentang itu," kata Julian. "Mungkin di waktu-waktu senggangku aku masih bisa memikirkan beberapa lelucon. Tetapi aku takkan membuang-buang waktuku atau waktu orang lain untuk itu. Aku akan mengubah pribadiku. Aku akan menjadi anak baik seperti yang selalu kauinginkan." "Tidak, bukan itu yang kuinginkan," kata Elizabeth. "Aku hanya ingin kau bersikap wajar saja, tidak sok baik. Tetaplah berbuat lucu, Julian, sebagai imbangan kerja kerasmu." Julian tertawa, dan berdua mereka menyertai kawan-kawan mereka yang lain bermain. Anak itu bagaikan gila oleh rasa gembira. Semua rasa takutnya lenyap. Ibunya membaik Ia akan segera bertemu dengan ibunya. Masih ada waktu tersisa di semester ini untuk membuat ibunya bangga akan hasil kerjanya! Untuk beberapa saat Elizabeth lupa akan Martin. Kemudian ia melihat Martin muncul dengan wajah penuh penderitaan, seperti kata Rosemary. Martin punya kebiasaan aneh kini. Ia selalu mengikuti ke mana saja Julian pergi, sehingga Julian sering merasa kesal, tak bisa melepaskan diri dari Martin. "Sial, aku lupa tentang Martin!" kata Elizabeth dalam hati. "Aku tak boleh mengatakan apa yang dikatakannya dulu itu pada Julian. Julian sedang berbahagia hari ini. Cerita tentang Martin, akan merusak kegembiraannya. Lagi pula, aku sudah begitu sering berbuat kesalahan hanya karena berpikir bahwa aku bisa menyelesaikan persoalan-persoalan sendiri, tanpa minta nasihat orang lain. Aku tak boleh mencoba menangani persoalan ini. Jangan-jangan malah aku sendiri nanti yang mendapat kesulitan lagi." Maka ia mencoba untuk tidak memikirkan Martin. Tetapi Martin berbuat makin aneh. Ia tidak lagi membuntuti Julian, ganti membuntuti Elizabeth. Ia tampak sangat bingung. Elizabeth merasa gembira waktu jam tidur datang dan Martin terpaksa tak bisa mengikutinya lagi. Kegembiraan yang meluap hari itu membuat Elizabeth sukar tidur. Berbalik ke sana, berbalik kemari, digemburkannya bantal, dibuangnya selimut, diambilnya selimutnya lagi... tetapi masih juga ia tak bisa tidur. Ia terpaksa berpikir tentang Martin. Sungguh aneh. Bagaimana seseorang bisa punya dua kepribadian sekaligus? Bagaimana seseorang bisa keji tapi juga baik hati? Bertabiat buruk tapi juga bertabiat baik? Diingat-ingatnya semua Rapat Besar sekolah yang pernah diikutinya. Diingat-ingatnya berbagai perbuatan aneh anak-anak yang diungkapkan setiap kali Rapat. Penyebab perbuatan itu dicari dan diketemukan, kemudian ditunjukkan jalan keluar, dan menyembuhkan perbuatan aneh tersebut. "Harry, misalnya. Ia suka berbuat curang di kelas. Mencontek. Tetapi ternyata itu dilakukannya karena takut pada ayahnya, takut bila dapat nilai rendah," pikir Elizabeth. "Kemudian Robert. Semester yang lalu ia suka menindas anak-anak kecil. Tetapi ternyata itu karena dulunya ia iri pada adik-adiknya dan ia melampiaskan rasa irinya itu dengan menyiksa anak-anak kecil. Kemudian aku. Aku dulu juga berkelakuan buruk sekali. Tetapi kini aku sudah cukup baik, walaupun harus kehilangan kedudukanku sebagai Pengawas." Ia teringat akan buku besar tempat William dan Rita mencatat apa saja yang terjadi dalam sebuah Rapat Besar. Di situ tercatat berbagai cerita tentang anak-anak yang nakal atau melanggar peraturan di Whyteleafe, dari tahun ke tahun. Semua kesalahan dicatat, cara penanggulangannya pun dicatat, juga cara mencari sebab kesalahan tersebut. "Aku tak yakin ada cara untuk menyembuhkan sifat Martin," pikir Elizabeth. "Mungkin di Buku Besar William ada suatu peristiwa yang mirip kisah Martin. Ingin sekali aku melihat buku besar itu. Oh, kenapa hari tidak cepat pagi agar aku bisa memeriksa buku itu." Anak-anak memang diperkenankan membaca buku tersebut, yang saat ini mereka namakan Buku Besar William. Banyak sekali pelajaran yang bisa didapat dari buku itu. Elizabeth makin gelisah. Akhirnya ia bangkit, duduk "Aku akan melihat buku itu sekarang juga," pikirnya. "Aku toh takkan bisa tidur sebelum pertanyaanku ini terjawab. Paling tidak aku bisa melewatkan waktu dengan lebih berguna." Elizabeth memakai gaun kamar dan sandal. Kemudian ia menyelinap keluar kamar tidur, membawa senter. Semua sudah tidur lelap. Tanpa bersuara Elizabeth berjalan di gang, dan turun ke ruang senam. Di bagian depan ruang itu terdapat semacam panggung tempat para hakim dan juri duduk Dan di situ terdapat meja. Di laci meja itulah disimpan Buku Besar William. Elizabeth mengeluarkan buku tersebut. Ia menggunakan senternya, sebab tak berani menyalakan lampu di ruangan itu. Dibukanya buku tadi. Penuh dengan berbagai macam tulisan-sebab buku tersebut sudah dipegang oleh tiga atau empat orang Ketua Murid yang berbeda-beda selama Sekolah Whyteleafe ini berdiri. Sekilas Elizabeth melihat di sana-sini di buku tadi. Namanya tercatat. Ini dia. Disebut si Cewek Paling Badung, si Badung Bandel Bengal, seperti yang disebutkan oleh Harry. Dan ini lagi. Ia diberi kehormatan untuk menjadi Pengawas karena berhasil membuktikan dirinya bisa berkelakuan sangat baik. Dan oh, ini lagi. Dicopot dari kedudukan Pengawas karena dianggap tidak becus! "Elizabeth Allen kehilangan kedudukannya sebagai Pengawas karena tanpa beralasan menuduh seorang teman sekelasnya mencuri. Juga kelakuannya di kelas menunjukkan bahwa ia tidak pantas menjadi Pengawas", demikian tertulis dengan tulisan kecil dan rapi, tulisan William. "Aku cukup sering muncul di buku ini," pikir Elizabeth dan terus membuka-buka halaman buku tersebut ke arah depan, ke masa-masa Sekolah Whyteleafe yang telah lewat. Tercatat di situ anak-anak Whyteleafe yang berkelakuan buruk ataupun berkelakuan begitu baik sehingga mendapat kehormatan khusus- anak-anak yang telah lama meninggalkan sekolah itu kini. Dan perhatiannya terpaku pada kisah seorang anak perempuan. Cukup mirip dengan kisah Martin! Dibacanya dengan teliti sampai selesai. Kemudian ditutupnya buku itu. Termenung. Berpikir keras. "Sungguh kisah yang aneh," katanya dalam hati. "Sungguh mirip Martin. Anak ini, Tessie, juga mencuri uang. Tetapi tak pernah ia membelanjakan uang tersebut. Ia segera memberikannya pada anak lain. Dan ia mengambil bunga dari taman sekolah. Memberikannya pada guru-guru, mengatakan bahwa bunga-bunga tadi dibelinya. Dan ternyata ini karena ia merasa tak ada yang menyukainya. Ia ingin membeli persahabatan dengan bersikap murah hati. Ia mencuri agar bisa memberi, agar disenangi. Mungkinkah Martin juga begitu?" Elizabeth kembali ke kamar tidurnya. "Alangkah menderitanya tak punya sahabat. Apalagi kalau kemudian terpaksa harus berbuat begitu itu," kata Elizabeth dalam hati lagi. "Rasanya aku harus mengatakan sesuatu pada Martin besok Hari ini ia memang tampak menderita. Tetapi... aku sudah begitu sering ikut campur urusan orang. Aku tak boleh memutuskan sendiri apa yang harus kuperbuat pada Martin. Biarlah kutanyakan saja beberapa hal. Kemudian terserah padanya ia ingin berbuat apa. Aku tak peduli." Ia langsung tidur. Ia begitu lelah hingga tidurnya lelap sekali dan hampir terlambat bangun. Begitupun ia masih terus- menerus menguap waktu makan pagi. Apa yang membuatnya gelisah tadi malam? Bahasa Prancis? Tidak Ia sudah mempelajari bahasa Prancis dengan baik Julian? Tidak juga. Kekhawatirannya tentang Julian sudah lenyap. Oh, ya. Martin. Martin-lah yang memenuhi pikirannya. Ia berpaling pada anak itu. Pucat sekali wajahnya. Dan tampak kurus. "Ia berhati busuk," pikir Elizabeth. "Sangat busuk. Tak seorang pun-menyukainya. Juga Rosemary tidak, walaupun semua anak berkata bahwa ia murah hati dan suka memberi. Aneh juga ia tak punya sahabat akrab satu pun. Walaupun aku nakal, dan pada suatu saat banyak sekali anak membenciku, tapi aku masih punya setidaknya seorang sahabat baik yang menyukaiku." Elizabeth mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Martin segera setelah sarapan. Elizabeth harus memberi makan kelincinya, dan Martin memelihara marmut. Kandang hewan-hewan peliharaan mereka itu bersebelahan, dan kedua anak itu pun segera sibuk. "Martin," kata Elizabeth langsung pada persoalannya, seperti kebiasaannya, "mengapa kau memberikan uang dan barang-barang yang kaucuri pada anak-anak lain, dan bukannya kaupakai sendiri? Mengapa kau mencurinya kalau toh kau sesungguhnya tak memerlukannya?" "Hanya karena aku ingin orang lain menyukaiku," kata Martin dengan suara pelahan. "Kita takkan bisa membuat orang lain menyukai kita" kalau kita tidak baik hati dan murah hati. Itulah yang dikatakan ibuku padaku. Sesungguhnya itu bukanlah mencuri, Elizabeth. Aku toh langsung memberikan apa yang kuambil pada orang lain. Seperti... seperti Robin Hood." "Tidak, sama sekali tidak sama," kata Elizabeth. "Mencuri adalah mencuri, dari mana pun kita melihatnya. Bagaimana kau bisa begitu tidak jujur dan keji, Martin? Kalau aku, bisa mati aku karena malu." "Rasanya aku juga sangat malu, setelah kau berbicara begitu keras padaku kemarin," kata Martin dengan suara gemetar. "Aku sama sekali tak tahu harus berbuat apa." "Ada satu hal yang bisa kaulakukan. Tetapi seorang pengecut tak tahu malu seperti kau takkan berani melakukannya," kata Elizabeth tegas. "Kalau kau memang menyesal, maka lebih baik kauakui semua perbuatanmu di Rapat Besar mendatang. Kalau kau ingin membantu Julian, kau harus mengatakan bahwa kau yang memfitnah dia. Itu yang harus kaulakukan." 23. Pertandingan Sekolah dan Hal-hal Lain Waktu pun berlalu dengan lebih menyenangkan. Ada pertandingan lacrosse, melawan regu sekolah lain yang datang berkunjung. Seluruh warga Sekolah Whyteleafe datang ke lapangan untuk menonton. Dan Elizabeth ikut bermain. Julian juga ikut main. Ia pandai segala jenis permainan. Ia pandai berlari dan menangkap bola. Robert juga ikut main. "Kita pasti bisa menang," kata Eileen, kapten regu Whyteleafe saat membawa regunya itu ke lapangan. "Semester ini kita punya banyak pemain kuat dari kelas satu. Cuma, Elizabeth bersikaplah tenang. Cepat membagi bolamu, dan jangan langsung mengamuk bila tongkat lawan mengenaimu, atau lawan menendangmu. Julian, kaubayang-bayangi Elizabeth terus, agar ia bisa melemparkan bola padamu bila ada kesempatan. Kau paling bagus dalam menangkap bola." Seru sekali pertandingan itu. Regu tamu juga sangat kuat. Pertandingan seimbang. Elizabeth tersambar tongkat lawan, sakit sekali, hingga hampir saja ia merasa harus keluar dari lapangan. Tetapi dari jauh Julian berteriak, "Enak, ya! Ayo, Elizabeth, gempur terus! Sebentar lagi kita pasti memperoleh satu gol!" Elizabeth terpaksa tersenyum. Hilang sedikit rasa sakitnya, dan ia menyerbu maju. Regu tamu memasukkan tiga. Whyteleafe juga tiga. Para penonton mulai gelisah melihat arloji masing-masing. Tinggal satu menit! Elizabeth menerima bola. Ia melaju ke arah gawang. "Lempar padaku!" teriak Julian. "Musuh di belakangmu!" Elizabeth cepat melempar. Bola ditangkap tepat oleh Julian. Seorang anggota regu lawan mengejarnya, mencoba menjatuhkan bola dalam jaringnya. Julian melempar bola ke arah Elizabeth. Elizabeth menerimanya. Tetapi seorang lawan berlari kencang ke arahnya, agaknya bermaksud menubruknya agar bolanya terjatuh. Takkan bisa dihindarkannya! Dengan putus asa Elizabeth melemparkan bola kuat-kuat ke arah gawang lawan. Suatu lemparan yang sedikit ngawur. Tetapi entah bagaimana, mencapai sasaran! Bola dibelokkan arahnya oleh serumpun rumput di lapangan, melejit melewati penjaga gawang dan masuk ke sudut gawang! Seluruh warga Sekolah Whyteleafe bagaikan gila bersorak-sorai. Peluit bertiup tanda pertandingan selesai. Kedua regu keluar dari lapangan. Julian menepuk punggung Elizabeth begitu keras sehingga ia terbatuk-batuk "Hebat, Elizabeth!" serunya. "Tepat pada waktunya pula! Bagus sekali!" "Sesungguhnya tak sengaja," kata Elizabeth dengan jujur. "Aku tak bisa melihat ke mana aku harus melempar. Aku hanya melempar saja. Dan -ternyata masuk!" Teman-teman sekelasnya mengerumuninya, menyorakinya, menepuk-nepuk punggungnya. Sungguh menyenangkan. Kemudian kedua regu yang bertanding itu dijamu dengan mewah. "Kupikir kau harus dijadikan Pengawas sekali lagi," kata Rosemary. "Belum pernah aku merasa begitu bangga seperti saat kau memasukkan gol terakhir itu tadi, Elizabeth. Hampir bersamaan dengan berakhirnya waktu! Aku sampai tak bisa bernapas." Elizabeth tertawa. "Kalau kita bisa dijadikan Pengawas hanya karena dapat memasukkan gol, alangkah mudahnya!" Malam itu semua anak begitu gembira, sehingga rasanya malas untuk belajar. Julian ingin sekali bercanda, membuat suara-suara lucu. Saat itu Pak Leslie sedang mengawasi anak-anak tadi belajar, dan semua sering memandang pada Julian, menunggu-nunggu ia akan berbuat entah apa. Julian ingin sekali menyenangkan anak-anak itu. Ia berpikir-pikir. Suara apa yang akan ditirukannya? Mesin jahit? Kumbang? Terpandang olehnya bukunya. Ia belum belajar bahasa Prancis. Ia teringat ikrarnya, yang dibuatnya di gereja kecil beberapa hari yang lalu. Ia berjanji tak akan melupakan ikrar tersebut. Julian menutup kedua telinganya dengan tangan, dan mulai belajar. Mungkin nanti bila masih ada waktu ia akan berbuat sesuatu. Tetapi kini ia harus belajar lebih dahulu. Belajar sangat mudah bagi Julian. Otaknya cerdas, daya ingatnya tinggi. Ia telah banyak membaca buku dan banyak yang diketahuinya. Dengan mudah ia bisa mengalahkan siapa saja di kelasnya, asal saja ia mau mencobanya. Namun memang sungguh sulit untuk memulai lagi, setelah begitu lama ia bermalas-malasan. Tetapi di akhir minggu itu telah tampak hasilnya. Julian berada di urutan teratas! Ia meraih satu angka lebih tinggi daripada Elizabeth yang juga belajar dengan tekun. Semua merasa heran, terutama Bu Ranger. "Julian, tampaknya kalau tidak paling bawah, maka kau berada di tempat paling atas," katanya saat ia membacakan nilai-nilai minggu itu. "Minggu lalu kau begitu dekat dengan juru kunci, hingga sesungguhnya kukira kau takkan punya angka lagi untuk dibacakan minggu ini. Tetapi ternyata kau malah satu angka di atas Elizabeth yang juga mengumpulkan angka-angka luar biasa baiknya! Aku sangat bangga pada kalian berdua." Elizabeth berseri-seri senang. Julian pura-pura tak peduli. Tetapi Bu Ranger tahu bahwa anak itu hanya berpura-pura. Sesuatu telah mengubah Julian. Kini ia peduli akan apa saja. Ia menggunakan kecemerlangan otaknya untuk melakukan hal-hal yang benar dan bukan hanya gurauan belaka. "Mungkin keadaan ibunyalah yang menyebabkan ia berubah," pikir Bu Ranger. "Kuharap perubahan ini berlangsung selamanya. Sangat menyenangkan mengajar anak seperti Julian kalau kebetulan ia menaruh minat untuk belajar. Kuharap saja angkanya tidak turun minggu depan." Tetapi Julian tak pernah lagi kehilangan angka. Ia bertekad menepati janjinya. Ia bertekad tidak akan menyia-nyiakan otaknya. Hanya Martin yang mendapat nilai buruk minggu ini. Bahkan lebih buruk dari nilai yang biasa diperoleh Arabella! Martin berada tepat di urutan paling bawah. Bu Ranger terpaksa berbicara tajam padanya. "Kau bisa memperoleh nilai yang lebih baik dari ini, Martin," katanya. "Belum pernah nilaimu serendah ini. Minggu ini kau tampak terlalu banyak melamun." Sesungguhnya Martin bukan melamun. Ia khawatir. Kini ia merasa memang lebih baik tidak mengatakan rahasianya pada Elizabeth. Elizabeth ternyata malah menghardiknya dengan kata-kata pedas yang takkan terlupakan olehnya seumur hidup. Ia sama sekali tak membantunya! Bu Ranger juga merasa harus berkata tajam pada Arabella. "Arabella, bosan aku mengatakan bahwa kau harus berusaha lebih keras. Kau salah satu yang tertua di kelas ini- bahkan memang yang tertua! Kalau saja kau lebih memperhatikan pelajaranmu, dan bukan memperhatikan dandananmu, pakaianmu, aku yakin kau bisa berbuat lebih baik." Merah wajah Arabella. Baginya Bu Ranger terlalu kejam. "Bila ia berbicara padaku, selalu tajam. Bila pada anak lain, lembut," keluhnya pada Rosemary. Ini memang benar, karena Bu Ranger mengetahui bahwa satu-satunya cara untuk menembus kekeraskepalaan Arabella adalah dengan cara berbicara langsung, di depan anak banyak Arabella yang pesolek dan pembual itu tentu saja sangat benci bila dimarahi atau dipermalukan di depan teman-temannya. Arabella bertekad untuk memperbaiki nilainya. Ia tak lagi terlalu sering membetulkan kerapian rambutnya, letak gaunnya. Paling tidak itu tak dilakukannya lagi di dalam kelas. "Tak lama kau akan jadi anak manis tetapi wajar, Arabella," goda Robert, yang biasanya tak pernah punya minat untuk berbicara dengan gadis cilik pesolek itu. "Hari ini sama sekali belum terdengar kau bertanya pada Rosemary apakah rambutmu rapi. Itu pertanda bagus!" Dan sekali ini Arabella ikut tertawa mendengar olokan ini. Ya, kini ia bertambah manis secara wajar. Rapat Besar berikutnya tiba. "Kurasa tak akan lama," kata Elizabeth pada Julian, "tak ada perkara penting. Begitu selesai, kita cepat-cepat menduduki meja kecil di ruang bermain itu. Aku baru dapat kiriman puzzle. Bisa kita kerjakan berdua." "Baik," kata Julian. Tetapi ternyata ada "perkara" yang cukup penting di Rapat Besar itu, hingga Elizabeth tak punya waktu untuk mengerjakan puzzle. Sesuatu yang sama sekali tak terduga muncul. Dan Elizabeth merasa paling terkejut di antara semua hadirin. Rapat mula-mula berjalan seperti biasa. Tak banyak uang yang diserahkan, walaupun beberapa orang anak telah menerima pos wesel. Kemudian uang saku dibagikan. "Ada permintaan tambahan?" "Ya, William," seorang anak kecil bernama Quentin berdiri. "Kandang marmutku kemarin jatuh. Salah satu sisinya rusak. Bolehkah aku minta uang tambahan untuk membeli kandang baru?" "Tapi... harganya cukup mahal," kata William. "Saat ini tak begitu banyak uang di kotak kita. Tidak dapatkah kau memperbaikinya?" "Telah kucoba, tetapi hasilnya tidak begitu baik," kata Quentin. "Tadinya kurasa sudah benar, ternyata marmutku bisa keluar. Kini terpaksa kutitipkan dalam kandang marmut Martin. Tetapi marmut kami berkelahi." "Akan kubetulkan kandang marmut itu," kata Julian, dan kali ini ia ingat untuk berdiri serta mengeluarkan tangannya dari sakunya. "Kurasa takkan memakan waktu lama." "Terima kasih, Julian," kata William. "Saat ini memang begitu sedikit uang kita. Tetapi kurasa sebentar lagi akan ada beberapa orang yang berulang tahun, minggu mendatang mungkin sekali uang kita akan banyak kembali. Ada lagi?" Rasanya tidak ada yang ingin meminta uang tambahan, mengingat keadaan keuangan seperti yang dikatakan William itu. "Ada keluhan?" tanya William. Tak ada. "Baiklah. Rasanya tak ada lagi yang bisa kita bicarakan minggu ini. Kecuali sesuatu yang cukup menyenangkan untuk diketahui: Julian minggu ini berada di urutan teratas di kelasnya, padahal minggu lalu di urutan terbawah." Tiba-tiba William tersenyum, "Teruskan begitu, Julian." Itulah salah satu hal yang menyenangkan di Sekolah Whyteleafe, pikir Elizabeth. Bila berbuat salah, dikutuk. Tetapi bila berbuat baik juga dipuji. Sungguh menyenangkan! "Kukira Rapat Besar ini bisa dibubarkan. Kalian boleh keluar," kata William lagi. Semua bangkit berdiri dan siap keluar. Tetapi di antara keributan kaki-kaki bergerak itu, terdengar sebuah suara berseru, "William, ada sesuatu yang ingin kukatakan." "Semua duduk!" kata William segera. Dan dengan heran anak-anak kembali ke tempat duduk masing-masing. Siapa yang berbicara? Hanya satu yang berdiri. Martin Follett! Wajahnya pucat, dan tampak sekali ia gemetar. "Apa yang ingin kaukatakan, Martin?" tanya William. "Bicaralah agak keras." 24. Martin Memperoleh Kesempatan Ternganga Elizabeth memandang Martin. Gilakah anak itu? Beranikah ia membuka rahasianya di depan anak banyak? Beranikah ia berkata bahwa dialah yang mencuri uang serta memfitnah Julian? "Ia seorang yang berhati busuk," pikir Elizabeth, "dan sangat pengecut. Apakah yang akan dikatakannya?" Martin menelan ludah satu-dua kali. Sulit sekali baginya memulai bicara. William melihat bahwa anak itu ketakutan, maka ia berkata lebih lembut kini, "Apa yang ingin kaukatakan, Martin? Jangan takut. Kita selalu siap untuk mendengarkan apa saja di Rapat seperti ini." "Ya, aku tahu," kata Martin memperkeras suaranya, seolah-olah dengan begitu ia bisa mendapatkan keberanian. "Aku tahu... aku... aku yang mengambil uang itu... dan barang-barang lainnya. ... Dan aku menaruh uang Elizabeth di saku Julian, juga permennya, agar tak ada yang mengira bahwa akulah yang berbuat... Orang-orang akan mengira bahwa yang berbuat Julian...." Ia berhenti berbicara. Tetapi ia masih berdiri. Tak seorang pun bersuara. Dan tiba-tiba Martin berkata lagi, "Aku tahu perbuatanku busuk. Dan aku merasa aku takkan mengaku di hadapan kalian kalau saja tidak terdorong oleh dua hal. Pertama, aku tak tahan melihat Julian sedih karena ibunya sakit. Maksudku sungguh keterlaluan jahatnya bila seseorang yang sedang sedih harus pula menderita oleh perbuatanku. Dan kedua-seseorang telah menuduhku pengecut. Dan aku yakin aku bukan pengecut." "Kau memang bukan pengecut, Martin, karena kau begitu berani berdiri di sini dan mengaku bahwa kau telah berbuat suatu kesalahan besar. Tetapi mengapa kau mencuri?" tanya Rita. "Aku tak tahu," jawab Martin. "Sesungguhnya sama sekali tak ada alasan bagiku untuk mencuri." Elizabeth mendengarkan itu semua dengan rasa heran yang tak terhingga. Bayangkan! Martin berani mengatakan rahasianya di depan Rapat! Kini Julian sama sekali terbebas dari tuduhannya dulu. Elizabeth melihat pada Martin. Dan hatinya jadi merasa iba pada anak itu. "Ia begitu ingin agar orang lain menyukainya, dan ternyata tak ada yang menyukainya," pikir Elizabeth. Dan kini ia harus mengakui sesuatu yang pasti akan membuat orang makin tidak menyukainya. "Sungguh suatu perbuatan yang berani!" William dan Rita saling berbisik Begitu juga para Pengawas. Apa yang harus dilakukan pada Martin? Bagaimana perkara ini bisa ditanggulangi? Tiba-tiba Elizabeth teringat akan apa yang dibacanya di Buku Besar. Ia segera berdiri. "William, Rita, kukira aku bisa mengerti Martin. Ia memang tak punya alasan untuk setiap kelakuannya yang salah itu. Tetapi di balik semua itu ada sebuah alasan, dan alasan itu bukannya sesuatu yang buruk Pencuriannya bukanlah pencurian biasa." "Apa maksudmu, Elizabeth?" tanya William heran. "Mencuri adalah mencuri." "Ya, aku tahu. Tetapi pencurian Martin aneh," kata Elizabeth. "Ia mengambil barang orang lain agar ia bisa memberikan sesuatu pada orang lain pula. Tak pernah ia menggunakan hasil curiannya untuk keperluannya sendiri." "Iya, memang betul," tiba-tiba Rosemary ikut berdiri, lupa akan rasa malunya. "Ia memberiku uang, dan ia sering membagi-bagikan permen. Tak pernah ia makan permen itu sendiri." "William, ada suatu perkara yang mirip perkara ini di Buku Besar.... Ya, buku di depanmu itu...," kata Elizabeth bersemangat. "Aku merasa sangat heran akan pribadi Martin. Jahat tetapi baik hati. Berlaku buruk tetapi murah hati. Pokoknya pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan. Nah, kulihat Buku Besar itu. Dan ada suatu peristiwa yang mirip dengan peristiwa sekarang ini." "Di mana?" tanya William. Elizabeth maju, naik ke panggung dan membuka-buka halaman buku tersebut sampai ditemukannya tempat yang dicarinya. "Ini," katanya menunjuk. "Bagaimana kau tahu ini semua?" tanya Rita. "Martin telah bercerita padaku apa yang dilakukannya. Aku merasa jijik tadinya, tetapi aku juga merasa heran," kata Elizabeth. "Karena ingin tahu jawabannya, maka akhirnya kucari-cari di buku ini. Ternyata memang ada." William membaca bagian itu. Dan memberikannya pada Rita. Mereka berbicara, berunding. Elizabeth kembali ke tempatnya. Martin tampak sangat menderita. Menyesal juga ia telah mengaku. Ia merasa semua orang memandang kepadanya. Rasanya tak enak diperhatikan seperti itu. William berbicara lagi dan semua mendengarkan penuh perhatian. "Mencuri adalah perbuatan yang sangat buruk, apa pun alasannya," katanya dengan suaranya yang jelas. "Apa pun alasannya. Alasannya bisa bermacam-macam, karena serakah, iri, dan tidak jujur. Semua alasan tadi sama sekali tak terpuji. Alasan Martin memang agak berbeda. Ia mencuri karena ingin membeli persahabatan. Ia ingin agar disukai orang, agar dipuji-puji murah hati." William berhenti sejenak. "Ia mengambil barang orang, agar bisa memberikannya pada orang lain. Mungkin ia berpikir bahwa memberi adalah baik, karenanya mengambil juga baik Tetapi yang diambilnya bukanlah miliknya. Dan tindakannya itu, apa pun alasannya, tetap mencuri." Setetes air mata mengalir di pipi Martin. "Aku ingin pergi dari sini," katanya dengan perlahan, tanpa berdiri lagi. "Aku tak pantas berada di Whyteleafe. Tak ada gunanya aku di sini terus. Di tempat lain pun tak ada gunanya." "Kau tidak bisa begitu saja melarikan diri," kata William. "Apa gunanya mencoba melarikan diri dari dirimu sendiri? Kau punya keberanian, kalau tidak kau takkan berdiri di sini dan mengakui segala perbuatanmu. Kita semua bisa saja berbuat salah, kadang-kadang kesalahan yang tolol dan sangat buruk. Itu tak penting, yang penting adalah apakah kita cukup punya keberanian untuk bertekad memperbaiki kesalahan kita tadi? Memang kau punya alasan untuk perbuatanmu. Sebuah alasan yang tolol. Dan kini kau tahu bahwa alasanmu tolol. Dan kau lihat bahwa perbuatanmu buruk. Nah, itulah hasil perbuatan burukmu." "Apa maksudmu?" tanya Martin sangat heran. "Hasil kebiasaan burukmu mengambil barang-barang yang bukan milikmu untuk membeli persahabatan," kata William. "Kini kau tahu bahwa takkan mungkin kau membeli persahabatan. Orang menyukaimu karena pribadimu, bukan karena pemberianmu. Nah, kalau kau sudah tahu itu, maka kau takkan mencoba untuk selalu berusaha memberi. Dengan begitu kebiasaanmu mengambil milik orang lain tidak ada lagi." "Yah... benar juga katamu," dan Martin duduk, tetapi kini mulai bersemangat kembali. "Aku telah merasa berdosa, aku telah merasa malu, aku akan mencoba memulai kehidupan baru." "Bagus," kata William. "Datanglah ke kamarku nanti malam, untuk membicarakan hal ini lebih mendalam. Tetapi kukira kau wajib membayar kembali berapa saja jumlah yang kauambil dari seseorang-bayarlah sedikit demi sedikit setiap minggu. Juga kau harus membelikan permen anak-anak yang permennya kauambil. Kukira itu adil." "Ya, baiklah," kata Martin. "Dan kita semua akan membantunya dengan memberinya kesempatan serta bersikap bersahabat padanya," tiba-tiba Elizabeth menambahkan, sangat ingin ikut membantu. Betapa ia dulu membenci Martin. Tetapi kini ia ingin ikut membantunya! Ada sesuatu di Whyteleafe yang bisa membuat seseorang berubah pandangan secara mendadak. Sungguh ajaib. "Agaknya," Rita berkata dengan suara pe-lahan tapi jelas, "agaknya Elizabeth jauh lebih bagus tindakannya sebagai seorang Pengawas pada saat ia sudah tidak jadi Pengawas." Semua tertawa keras. Elizabeth juga tersenyum. "Rita benar," pikirnya heran. "Agaknya aku lebih bijaksana pada saat aku bukan seorang Pengawas. Oh, betapa kacaunya pribadiku ini." Akhirnya Rapat berakhir. Martin mendekati Julian dan menggumam, "Maafkan aku, Julian," sambil menunduk dan tak berani menatap pandangan Julian. "Pandanglah aku," perintah Julian. "Jangan sampai kau punya kebiasaan untuk tidak berani memandang mata seseorang pada saat kau berbicara dengannya. Pandanglah aku, Martin, dan ucapkan kata-kata penyesalanmu." Martin mengangkat kepala, dan agak takut memandang Julian, mengira akan melihat pandang penuh marah dan jijik. Tetapi yang terlihat adalah kehangatan dan persahabatan. Lalu ia mengucapkan permintaan maafnya dengan sebaik-baiknya. "Maafkan aku. Aku telah bersikap amat memalukan. Aku telah menyesal. Dan takkan lagi bermuka dua serta mencuri," katanya sambil menatap mata Julian. "Bagus," kata Julian "Kini aku sedikit lebih menyukaimu daripada sebelumnya. Baiklah, aku memaafkanmu, kalau itu bisa menenangkan jiwamu. Lihat, itu William memanggilmu." Martin pergi dengan William. Apa yang dikatakan William padanya tak ada yang tahu. Tetapi Rosemary yang melihat Martin keluar dari kamar William melaporkan bahwa anak itu tampak jauh lebih berbahagia. "Aku akan bersahabat dengannya," kata Rosemary kemudian. "Ia membutuhkan sahabat. Aku tak pernah membencinya. Aku selalu berpikir dia baik hati. Jadi mudah saja, aku akan tetap menganggapnya baik hati." Elizabeth memandang heran pada Rosemary yang biasanya pendiam dan pemalu itu. Astaga, ini ada lagi anak yang pribadinya berubah! Siapa akan menduga bahwa Rosemary yang biasanya selalu akur saja pada pendapat orang lain, telah berkata sedemikian tegas bahwa ia akan menjadi sahabat Martin? "Kita takkan bisa mengerti perubahan yang bisa terjadi pada pribadi seseorang," pikir Elizabeth. "Kita tak bisa menarik kesimpulan bahwa seorang anak yang pemalu akan menjadi pemalu seterusnya, dan anak nakal akan tetap nakal. Mereka akan cepat berubah bila mendapat perlakuan yang tepat. Bahkan Arabella mungkin juga akan meninggalkan sifat pesolek dan pembualnya. Ah, tidak. Itu harapan yang terlalu berlebihan." Tak ada waktu lagi untuk mengerjakan puzzle. Waktunya hanya cukup untuk merapikan ruang bermain, dan kemudian waktu makan tiba. Setelah itu tidur. "Ada-ada saja, bukan?" kata Julian sambil menyeringai. "Yuk, kita makan." Di ruang makan Bu Ranger merasa terganggu terus oleh suara lalat hijau yang men-desis-desis. Tetapi ke mana pun ia mencari, lalat tersebut tak bisa ditemukannya. "Di mana lalat itu?" tanyanya. "Baru bulan begini kok sudah muncul. Cepat usir, jangan sampai bertelur di daging kita!" Lalat itu mendesis makin keras. Pak Leslie yang mejanya berdekatan dengan Bu Ranger jadi sibuk sendiri, mencari sampai ke bawah meja. Sungguh mengganggu. Elizabeth tiba-tiba melihat pada Julian. Julian menyeringai dan mengangguk "Oh, itu suara Julian!" pikir Elizabeth. Dan tiba-tiba ia tertawa. Semua orang jadi tahu. Dan mereka tertawa juga, bahkan Bu Ranger ikut tertawa. "Kukira tadi itu tepat sekali untuk bercanda," kata Julian sewaktu berpamitan dengan Elizabeth, karena waktu tidur telah tiba. "Kita sudah terlalu tegang di Rapat Besar tadi. Selamat malam, Elizzzzzzzzzzzabeth!" 25. Pengalaman Elizabeth Hari-hari berlalu cepat. Belajar, bekerja, bermain, naik kuda, berkebun, merawat hewan-hewan peliharaan, dan berjalan-jalan mengamati alam. Tak terasa betapa minggu demi minggu dilewati. "Tiba-tiba saja akhir semester sudah begitu dekat!" kata Elizabeth. "Rasanya tengah semester lewat begitu saja tanpa kesan." "Mari kita jalan-jalan mengumpulkan bahan untuk kelas pengetahuan alam," ajak Julian. "Tak usah kau membantu John sore ini. Ia sudah begitu banyak punya pembantu-satu pasukan anak-anak kecil itu. Dengan begitu kita punya waktu satu setengah jam sore nanti. Kita bisa menjelajahi bukit dan pergi ke telaga." "Baiklah," Elizabeth melihat ke luar jendela. Udara cerah di sinar matahari bulan April ini. "Akan indah sekali di perbukitan. Mungkin kita bisa menemukan mawar liar." Sore itu keduanya berangkat, membawa kaleng pengumpul bahan untuk kelas IPA mereka. "Kita bisa cari telur katak di telaga. Pasti banyak sekali," kata Julian. "Juga kecebong." Berdua mereka mendaki bukit. "Kita harus pulang sebelum saat minum teh," kata Elizabeth. "Itulah peraturan yang harus kita patuhi, kecuali kalau kita sudah mendapat izin. Jamku tepat. Aku tak ingin mendapat teguran. Selama dua minggu ini aku telah berusaha menjadi murid terbaik." Julian tertawa. Ia berpikir bahwa tak ada yang berusaha begitu keras untuk menjadi murid terbaik seperti Elizabeth. Namun ternyata ia lebih sering pula mendapat kesulitan. Tak pernah bisa diramalkan apa yang bisa terjadi pada Elizabeth. "Selalu saja ia jadi sumber suatu peristiwa," kata Julian dalam hati. "Ia begitu cepat naik darah, lugas, tapi jujur. Yah, kami berdua semester ini begitu sering terlibat dalam peristiwa menegangkan. Mudah-mudahan sisa semester ini tenang-tenang saja." Mereka menjelajahi perbukitan, memetiki bunga-bunga liar yang tumbuh di tempat-tempat terpencil. Matahari bersinar cukup terik. Elizabeth terpaksa mencopot jaketnya, dan membawanya saja. "Indah sekali pemandangan," kata Elizabeth. "Lihat danau itu, Julian! Indah, bukan?" Memang. Biru bening bagai kaca, memantulkan sinar matahari April. Danau itu sunyi. Tak seorang pun terlihat. Kedua anak itu gembira karena mereka bisa berburu telur kodok dan kecebong dengan bebas. Ternyata telur kodok tak mereka peroleh, tetapi kecebong sangat banyak, hingga tak lama botol yang mereka bawa telah penuh. "Aku capek sekali," kata Elizabeth. "Yuk kita istirahat dulu." "Istirahatlah. Aku akan naik bukit itu," kata Julian. "Mungkin ada lumut yang agak aneh. Duduklah di sini. Tunggu aku." Julian berangkat. Dan tak berapa lama Elizabeth mengira ia telah kembali. Tetapi yang datang ternyata bukanlah Julian-seorang anak kecil berumur sekitar enam tahun, berpakaian sangat bagus, dengan mata biru dan pipi merah sehat. Anak itu terengah-engah seakan baru saja lari jauh. Heran juga Elizabeth melihat anak itu sendirian. Begitu kecil sudah bermain-main sendirian dekat danau. Tetapi Elizabeth tidak memikirkannya lagi. Ia membaringkan tubuhnya dan memejamkan mata, menikmati hangatnya sinar matahari. Didengarnya anak kecil itu bermain-main sendiri di tempat tak jauh darinya. Kemudian ia mendengar suara sesuatu tercebur dengan keras, tepat bersamaan dengan terdengarnya suatu jeritan ketakutan. Elizabeth bangkit. Anak itu telah lenyap. Tetapi agak jauh dari tepi danau terlihat air bergelombang. Kemudian sebuah tangan kecil sekilas muncul. "Ya ampun! Anak itu tercebur!" seru Elizabeth. "Pasti ia merambat di dahan besar itu, kemudian jatuh ke danau. Mengapa ia di sini sendirian?" Seorang wanita muncul, berlari dan berseru, "Michael? Di mana kau? Kau tadi yang menjerit?" Kebingungan ia berpaling pada Elizabeth. "Ia lari dariku. Kau lihat dia? Seorang anak laki-laki kecil?" "Ia jatuh ke danau," kata Elizabeth. "Apakah ia dapat berenang?" "Oh, tidak, tidak! Ya ampun! Dia pasti terbenam! Cepat, cari pertolongan!" jerit wanita itu semakin kebingungan. Tak akan cukup waktu untuk minta tolong. Elizabeth cepat-cepat membuka sepatunya. "Akan kucoba mencari dia," katanya. Ia berjalan masuk air. Mula-mula masih bisa dijalani, tetapi tiba-tiba dasar danau jadi curam dan Elizabeth tercebur. Ia harus berenang. Ia dapat berenang dengan baik. Tetapi berat juga berenang dengan memakai pakaian. Gerakannya jadi berat. Namun ia bisa maju. Lagi pula ia tak harus jauh-jauh berenang, segera juga anak itu bisa dicapainya. Cepat ia mengingat-ingat cara menyelamatkan anak tenggelam. Dipegangnya anak itu, ditariknya mendekat. Langsung si anak mencengkeramnya, hampir membenamkannya. "Lepaskan!" teriak Elizabeth. "Lepaskan! Biar aku yang memegang kau, jangan kaupegang aku! Tetapi anak itu begitu ketakutan. Ia mencengkeram kuat-kuat. Elizabeth terbenam, megap-megap kemasukan air. Tetapi berhasil juga ia melepaskan rangkulan erat anak itu di lehernya, dan ia memegang si anak, membalikkannya dan berenang sambil menyeretnya mundur ke tepi danau. Segera ia mencapai bagian dangkal, dan ia mencoba berdiri. Si anak terlepas dari tangannya, terbenam lagi. Dan di dalam air tangannya langsung mencengkeram rumput di dasar danau, hingga tak bisa mengambang lagi. Elizabeth hampir putus asa. Ia menyelam. Dilihatnya kaki anak itu dan ditariknya kuat-kuat ke atas. Untung Si anak terlepas dari rumput-rumput di dasar itu. Tetapi kini ia sama sekali tak bergerak. "Ya ampun... dia pingsan!" pikir Elizabeth ketakutan, menariknya ke tepi. Lemas sekali. Tak bergerak Si wanita pengasuh anak tadi meratap-ratap, sangat ketakutan memeluk si anak Tolol benar, pikir Elizabeth. "Gerakkan lengannya ke atas ke bawah, ke atas ke bawah, seperti ini," katanya. "Itu akan membuat udara masuk kembali ke paru-parunya dan ia akan bisa bernapas kembali. Lihat! Nah, lakukan itu ...! Aku capek sekali." Dengan diawasi Elizabeth, pengasuh tadi mencoba melakukan apa yang dikatakannya. Kemudian Elizabeth juga turun tangan dan tiba-tiba si anak mulai bernapas lagi! "Oh. Dia hidup! Dia hidup!" seru pengasuh. "Michael! Mengapa kau lari dariku?" "Lebih baik cepat dibawa pulang," kata Elizabeth. Ia basah kuyup. Bisa masuk angin nanti!" Pengasuh tersebut menggendong si Kecil dan bergegas pergi. Ia menangis dan lupa mengucapkan terima kasih pada gadis kecil yang telah membantunya tadi. Elizabeth membuka pakaiannya, memerasnya agar kering. Badannya gemetar kedinginan. Tiba-tiba Julian muncul. Ia ternganga keheranan memandang Elizabeth. "Sedang apa kau? Kau basah kuyup!" katanya. "Aku baru saja menolong seorang anak. Ia hampir terbenam." kata Elizabeth. "Wah, aku bisa dimarahi Ibu Asrama. Untung tadi jaketku sudah kubuka. Paling tidak jaket ini bisa menutupi bajuku." "Kita harus cepat pulang," kata Julian, mengambilkan jaket Elizabeth. "Bisa terlambat nanti. Apalagi kau harus berganti baju! Oh, Elizabeth, jalan-jalan saja bisa membuatmu terlibat kesulitan seperti ini." "Masa aku harus membiarkan saja anak itu terbenam?" tukas Elizabeth. "Ia lari dari pengasuhnya." Mereka bergegas pulang. Lonceng minum teh berbunyi saat mereka mencapai halaman sekolah. "Aku akan ke ruang makan dulu dan mengatakan kau agak terlambat," kata Julian. "Tapi cepat-cepatlah!" Elizabeth berusaha bergerak cepat. Tetapi ia kedinginan dan menggigil, dan lagi pakaiannya yang basah sulit sekali dibuka. Ditaruhnya semuanya di lemari pemanas, dan berharap mudah-mudahan Ibu Asrama tak memperhatikan pakaian-pakaian itu. Mudah-mudahan bisa diambilnya sebelum Ibu Asrama tahu. "Ini bukan salahku," kata Elizabeth dalam hati. sementara ia mengeringkan diri dengan handuk. "Kalau tidak ku tolong, anak itu pasti terbenam." Ternyata Ibu Asrama memang tidak melihat baju basah Elizabeth. Ia bisa mengambilnya dengan diam-diam. Waktu minum teh, Bu Ranger memang menegurnya, tetapi tak apalah. "Oh, Julian, botol kecebongku ketinggalan di tepi danau," kata Elizabeth pada Julian selesai minun teh. "Tolol sekali aku, bukan?" "Kau bisa memakai sebagian punyaku," kata Julian. "Aku dapat banyak sekali. Memang, kalau kita sibuk dengan mencebur ke danau dan menolong anak kecil, pasti ada sesuatu yang kelupaan." "Jangan katakan pada orang lain," kata Elizabeth tertawa. "Ibu Asrama tak tahu bajuku basah. Anak-anak lainnya akan selalu menggodaku kalau tahu aku punya kebiasaan mencebur ke danau hanya untuk menolong seorang anak." Keduanya tertawa. Julian tidak melihat betapa sulitnya Elizabeth menarik anak itu ke tepi danau, betapa sulitnya ia mencoba memberikan bantuan pernapasan. Ia hanya menyangka bahwa ada seorang anak terlalu ke tengah, dan Elizabeth dengan berjalan di dasar yang dangkal menolongnya ke pinggir. Mungkin Elizabeth kemudian terpeleset sehingga bajunya basah semua. Demikian pikir Julian. Dan tentu saja karena ia mengira begitu ringan kejadiannya, ia tak berkata sedikit pun tentang itu pada siapa saja. Jadi tak seorang pun tahu. Elizabeth juga segera melupakannya, karena ia begitu rajin belajar kini agar tidak terlalu jauh kalah dari Julian. Karena Julian kini menggunakan otaknya sebaik-baiknya, Elizabeth harus juga bekerja dan belajar lebih keras dari biasanya, apalagi Julian dengan santai bisa mencapai nilai-nilai tertinggi. "Sungguh menyebalkan," kata Elizabeth, main-main menghantam punggung Julian. "Dulu aku berusaha keras membujukmu agar kau tidak bermalas-malasan, agar kau menggunakan otakmu, tapi apa yang terjadi? Aku kehilangan kedudukanku di urutan pertama! Aku akan mengadukanmu di Rapat nanti malam, Julian. Akan kutuduh kau mencuri kedudukanku, yang menjadi hakku di urutan pertama. Jadi hati-hatilah!" "Tak akan mengasyikkan Rapat Besar kali ini. Sobat," kata Julian. "Sayang juga akhir-akhir ini kita tak pernah berbuat keributan lagi. Kita kini bagaikan emas 24 karat!" Tetapi Julian keliru. Rapat Besar malam itu sungguh sesuatu yang tak terlupakan! 26. Akhir yang Membahagiakan Anak-anak Whyteleafe sangat menyukai Rapat Besar mingguan itu. Bahkan walaupun tak ada persoalan penting, senang juga berkumpul-kumpul dan mengetahui bahwa mereka saling membantu dengan uang saku, serta melihat ketua mereka memimpin Rapat, dibantu dengan para Pengawas yang berwajah bersungguh-sungguh. "Dengan ikut Rapat Besar kita merasa sebagai suatu kesatuan," kata Jenny. "Kita merasa menjadi bagian yang penting dari seluruh sekolah kita, dan kita merasa memiliki andil dalam menjaga nama sekolah kita." Tinggal dua minggu lagi semester itu berakhir. Tak ada yang memasukkan uang ke kotak. Tetapi dua-tiga minggu sebelumnya banyak yang berulang tahun, karenanya kotak uang itu cukup banyak berisi. Maka cukup banyak uang yang bisa diberikan, bila ada yang meminta tambahan. Setelah pembagian uang saku, William mengizinkan John memperoleh tambahan sepuluh shilling untuk membeli ember penyiram. Dua buah. Ukuran besar. "Ember penyiram yang ada telah bocor dan tak bisa diperbaiki," kata John. "Air cepat habis. Yang satu terlalu kecil, sehingga tak banyak membantu kami. Musim panas yang lalu banyak tanaman yang mati karena kekurangan air, maka kali ini aku ingin kita bersiap-siap. Dengan dua ember baru lagi, kurasa kesulitan air itu bisa teratasi." Di musim semi itu kebun sekolah tampak indah. Di lereng-lereng bunga-bunga krokus bagaikan kobaran api indah. Berbagai bunga lain juga merajalela, menyebarkan keindahan dan keharuman di mana-mana. John dan kawan-kawannya telah bekerja baik sekali. Seluruh warga sekolah merasa ikhlas untuk membelikannya ember, gerobak pendorong, sekop-apa saja. Mereka bangga akan John dan hasil kerja kerasnya. Tak ada lagi yang meminta uang tambahan. Juga tak ada yang mengajukan keluhan. Agaknya Rapat Besar itu akan segera ditutup. Tetapi, tidak. Tiba-tiba Bu Best, Bu Belle, dan Pak Johns meninggalkan tempat mereka di barisan paling belakang dan berjalan ke depan, ke panggung. Ada apa ini? Hening seketika ruangan itu. Semua heran. Apa yang akan dikatakan oleh para pimpinan sekolah itu? Tergopoh-gopoh William dan Rita menyiapkan kursi untuk kedua guru kepala serta Pak Johns. Semua juga bertanya-tanya dalam hati apa yang akan terjadi. Jarang sekali para pimpinan itu maju dan ikut berbicara. Apalagi tanpa diminta oleh Rapat. Tetapi agaknya yang akan disampaikan bukanlah sesuatu yang buruk, sebab Bu Best dan Bu Belle tampak tersenyum-senyum. Ketiganya duduk, berbicara sebentar, dan kemudian Bu Belle berdiri. "Anak-anak," katanya, "jarang sekali kami maju kemari dan berbicara pada kalian dalam Rapat Besar seperti ini- kecuali bila kalian yang meminta, tentu. Tetapi kali ini kami ingin mengatakan sesuatu. Sesuatu yang cukup menyenangkan, karenanya aku ingin mengatakannya di hadapan kalian semua." Semua menahan napas. Apakah kira-kira? tak ada yang tahu. Bu Belle mengambil sepucuk surat dari tasnya, membukanya. "Aku baru saja menerima sepucuk surat," katanya. "Dari Kolonel Helston yang tinggal tak jauh dari sekolah kita ini. Baiklah kubacakan isinya: Ibu yang terhormat-empat hari yang lalu anak saya Michael yang masih kecil, lari meninggalkan pengasuhnya. Ia kemudian jatuh ke dalam danau di dekat sekolah Anda. Pasti ia akan tenggelam kalau tidak ditolong oleh seorang murid perempuan dari Whyteleafe. Anak perempuan itu masuk ke dalam danau, dan berenang untuk mencapai Michael. Michael mencengkeramnya, dan hampir saja membuatnya ikut tenggelam. Tetapi ia berhasil membalikkan Michael serta menyeretnya ke tepi. Di tepi Michael lepas dari pegangannya, tenggelam di antara rerumputan di bawah air. Ia tersangkut di rumput-rumput itu dan tak diragukan lagi sudah benar-benar tenggelam. Tapi gadis dari Whyteleafe tadi tanpa rasa takut menyelam, membebaskannya dari rumput-rumput air, dan menariknya ke atas. Pada saat sudah berada di tepi, ia mengajari pengasuh Michael cara memberi bantuan pernapasan untuk Michael. Ia juga ikut membantu melakukannya. Akibatnya, Michael siuman kembali dan pada saat ini ia sehat walafiat bersama saya di rumah. Sewaktu peristiwa itu terjadi, saya sedang bepergian. Hari ini saya baru saja pulang dan diberi-tahu tentang kejadian luar biasa ini. Saya tak tahu siapa nama gadis kecil dari Whyteleafe itu. Pengasuh Michael hanya berkata bahwa jaketnya sudah pasti jaket Whyteleafe. Karenanya dengan surat ini saya mohon agar Anda mengatakan nama anak tersebut pada saya, agar saya bisa mengucapkan terima kasih secara pribadi, serta memberinya hadiah untuk tindakannya yang cepat dan tepat itu. Ia telah menyelamatkan nyawa anak saya- anak satu-satunya keluarga kami-dan saya akan selalu merasa berutang budi pada gadis kecil dari Whyteleafe itu, siapa pun namanya. Hormat saya -Edward Helston Semua mendengar dengan penuh perhatian dan keheranan. Siapa anak Whyteleafe itu? Tak seorang pun tahu. Tetapi dia pastilah seseorang yang pulang dengan memakai pakaian basah kuyup. Dengan begitu pastilah menarik perhatian. Tetapi mereka tak pernah melihat salah seorang kawan mereka basah kuyup! Anak-anak itu saling pandang. Julian memandang Elizabeth dengan mata bersinar. Ia tahu. Elizabeth yang disebut di surat tadi. Ia menggamit sahabatnya itu. Muka Elizabeth merah. "Ah, peristiwa sekecil itu saja diributkan," pikirnya. "Nah," kata Bu Belle melipat kembali suratnya, "surat ini membuat aku dan Bu Best merasa bangga tak habis-habisnya. Kami tidak tahu siapa yang dimaksud. Kami telah bertanya pada Ibu Asrama, apakah ada yang datang memberinya pakaian basah untuk dikeringkan. Tetapi Ibu Asrama sama sekali tak bisa membantu kami. Tak ada anak yang datang dengan pakaian basah. Jadi sampai sekarang kami tak tahu siapa dia." Hening sekali. Elizabeth tak berkata apa-apa sepatah pun. Semua menunggu. "Aku ingin tahu siapa dia," kata Bu Belle. "Aku ingin mengucapkan selamat atas perbuatannya yang gagah berani itu, yang tak pernah dikatakannya pada siapa pun. Seluruh sekolah kita pasti merasa bangga padanya." Elizabeth diam saja. Ia tak sanggup berdiri dan berkata bahwa dialah yang telah melakukan perbuatan itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa malu. Ia toh tak berbuat banyak, hanya menyeret anak itu keluar dari air. Begitu saja kenapa harus diributkan! Isyarat Julian tak dihiraukannya. Hingga akhirnya Julian tak tahan lagi, dan ia berdiri! "Anak itu Elizabeth!" kata Julian, begitu keras hingga lebih mirip teriakan. "Siapa lagi kalau bukan Elizabeth kita? Sesuai sekali dengan kebiasaannya, bukan, masuk ke air tanpa berpikir lagi?" Semua berpaling pada Elizabeth. Elizabeth tak berani bergerak, wajahnya serasa panas. Julian menepuk-nepuk punggungnya, ikut merasa bangga. Dan tepuk tangan mulailah, makin lama makin gemuruh, diringi sorak-sorai dan berbagai suara keras lainnya. Begitu ribut, hingga terasa atap akan terbang karena gemuruh suara mereka. Elizabeth memang pernah nakal. Suka marah. Sering berbuat salah. Tetapi semua anak tahu, hatinya lembut dan manis, bagaikan apel segar yang ranum. Plok, plok, plok, horeee, horeee, bang, bang, plok, plok, plok! Suara gemuruh itu seakan tak henti-hentinya. Gemuruh menggetarkan gedung. Ribut memekakkan telinga. Sampai akhirnya Bu Belle mengangkat tangannya. Dan suara itu pun berkurang. Berhenti. "Jadi anak itu... Elizabeth!" kata Bu Belle. "Mestinya sudah kuduga dari semula. Ada-ada saja yang terjadi pada Elizabeth, bukan? Majulah ke depan, Elizabeth." Dengan sangat malu Elizabeth berjalan maju. Dan benar-benar Bu Belle, Bu Best, dan Pak Johns menjabat tangannya secara resmi, serta berkata bahwa mereka bangga padanya! "Kau mengharumkan nama Whyteleafe, Elizabeth," kata BuBelle dengan mata cemerlang, "dan kau juga membuat dirimu memperoleh suatu kehormatan. Kami juga ingin memberimu hadiah untuk keberanianmu itu. Apakah ada sesuatu yang sangat kauinginkan?" "Mmmm.. " Elizabeth berpikir-pikir, "mmm..." Ia tak bisa memutuskan. Semua menunggu. Julian menunggu, bertanya dalam hati apa kira-kira yang akan diminta Elizabeth. Mungkinkah ia akan meminta jadi Pengawas lagi? "Aku ingin agar Anda memberi satu hari liburan tambahan bagi sekolah kita," kata Elizabeth akhirnya, ragu-ragu sejenak ketika merasa bahwa permintaannya mungkin terlalu besar. "Begini... di kota tetangga kita akan diadakan sebuah Pasar Malam besar-besaran. Kalau Anda memberi kami libur sehingga kami bisa mengunjunginya, alangkah senangnya! Kudengar sebetulnya banyak sekali yang ingin mengunjungi Pasar Malam itu, sayang tidak ada liburan. Jadi... mungkinkah Anda memberi liburan itu?" Sorak-sorai gemuruh tiba-tiba bagaikan meledak lagi. "Hidup Elizabeth!" seru beberapa orang. "Sungguh baik hatinya memintakan sesuatu untuk seluruh murid, dan bukannya untuk dirinya sendiri," seseorang berkata. Bu Belle tersenyum dan mengangguk. Dan ketika semua sudah tenang kembali ia berkata, "Kurasa kita bisa mengabulkan permintaan Elizabeth itu. Bukankah demikian. Bu Best?" Bu Best mengangguk pula. Elizabeth tersenyum. Merasa sangat puas. Mungkin saja ia pernah mendapat malu besar, mungkin saja pernah sebagian besar murid Whyteleafe menganggapnya berhati buruk, tetapi sekarang ia telah menghapus nama buruk itu dengan memberi hadiah sehari liburan ke Pasar Malam! Elizabeth mengucapkan terima kasih dan berpaling untuk berjalan kembali ke tempatnya. Tetapi seseorang berdiri, minta waktu untuk berbicara. Julian. "Ada apa, Julian?" tanya Bu Belle. "Saya berbicara atas nama seluruh anak kelas satu," kata Julian. "Kami ingin tahu, apakah Elizabeth bisa dipilih kembali menjadi Pengawas, malam ini juga? Kami berpendapat bahwa ia pantas menerima hadiah lain. Dan kami ingin ia menjadi Pengawas kami. Sekarang kami mempercayainya dan menyukainya." "Setuju! Setuju! Setuju!" seru Jenny dan beberapa orang anak kelas satu lainnya. Mata Elizabeth cemerlang bagaikan bintang. Betapa senangnya dipilih sebagai Pengawas oleh suara mufakat seluruh kelasnya, karena seluruh temannya menghendakinya, sangat menghendakinya! Oh, sungguh indah semua ini! "Tunggu, Elizabeth," kata Bu Belle pada Elizabeth yang tadi telah melangkah pergi. Dipegangnya tangan gadis kecil itu, ditariknya mendekat, dan ia pun bertanya, "Apakah kau ingin menjadi Pengawas lagi?" "Oh, tentu saja," kata Elizabeth dengan kegembiraan meluap. "Aku yakin sekarang aku bisa berbuat lebih baik. Berilah aku kesempatan lagi untuk mencobanya. Aku takkan mengecewakan siapa pun lagi. Aku akan bersikap baik dan berpikir lebih matang." "Baiklah. Aku percaya padamu," kata Bu Belle. "Kita tidak akan melakukan pemilihan seperti biasanya. Kau boleh jadi Pengawas mulai saat ini juga. susan masih tetap sebagai Pengawas juga. Sekali ini bolehlah kita mempunyai seorang Pengawas tambahan. Seorang Pengawas yang sangat istimewa!" Maka Elizabeth pun duduk di meja Pengawas, bangga dan bahagia. Semua juga merasa senang, termasuk Arabella. Bagaimana tak akan senang bila sudah jelas Elizabeth lebih mementingkan keinginan seluruh murid Whyteleafe daripada kepentingannya sendiri. Bukannya meminta hadiah untuk dirinya, Elizabeth malah meminta hadiah untuk seluruh murid! "Sungguh menyenangkan Rapat tadi," kata Julian saat anak-anak keluar dari ruang senam, ribut berbicara dan tertawa. "Semester ini memang cukup mengasyikkan. Aku gembira telah masuk ke sekolah ini. Aku yakin Whyteleafe sekolah terbaik di dunia." "Ya, memang," kata Elizabeth. "Oh, Julian, aku merasa sangat bahagia!" "Sudah sepantasnya begitu," kata Julian. "Kau ini memang anak aneh. Kau anak paling nakal. Tetapi juga anak paling baik Kau musuhku terbesar. Tetapi juga sahabatku terakrab. Tapi apa pun dirimu, Elizabeth, kau selalu Elizabeth kami, dan kami bangga punya teman kau." Djvu: kiageng80 Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net